Rumah Aam sangat rindang, mirip Vila. Di sekelilingnya rumput tumbuh dengan rapih, mulai dari halaman depan ada kolam ikan yang tidak terlalu besar tapi cukup untuk menampung beberapa ikan mas dan koi.
Begitu masuk kedalam rumah, ruang tamunya sudah berkeramik dengan bangku rotan, tamu biasa duduk disini sepertinya, antara ruang tamu dan ruang keluarga disekat dengan lemari hias yang lebar dan tinggi, hingga kita tidak bisa melihat sisi ruang keluarga. Aku duduk di ruang tamu sambil minum kopi hitam, wangi pedesaan sungguh wangi yang sudah lama aku rindukan, wangi rumput yang berembun, wangi tanah liat yang terkena sinar matahari dan wangi pohon-pohon yang tertiup angin, wangi yang membuat paru-paruku menari saat bernafas. wangi ini hanya bisa aku nikmati saat di rumah mama dan disini.
Sesaat aku menikmati wangi ini, tiba-tiba si belang Tiga dan si Putih muncul, bertepatan dengan munculnya Mang Engkus dari dalam rumah.
“Kenapa?” Aku bertanya pada Panglima, kenapa mereka muncul.
“Terlalu banyak, terlalu bahaya, Ayi belum siap.” Panglima menjawab.
“Ayi sudah jalan-jalan sama Aam?” Mang engkus bertanya dan duduk menyapaku.
“Sudah Mang, Aam sudah ajak jalan-jalan, rasanya segar sekali bisa menghirup udara pedesaan.”
“Bagus kalau begitu, Aam itu anaknya baik, polos, tapi cukup pintar dan berbakti, kalau Ayi main kesini sama Aam aja ya.”
“Mang, Aam kan pinter, kenapa ga kuliah aja dulu? Seina ajah udah hampir lulus, ga kerasa lah Mang sebenarnya.”
Kulihat raut muka Mang Engkus menegang, dia lalu menghembuskan nafas panjang lalu mengeluarkannya dengan kasar.
“Mang kalau masalah biaya aku bisa bantu, maksudnya Aam kan pintar, jadi kita bisa carikan beasiswa, masalah biaya hidup di Ibukota nanti aku carikan pekerjaan yang tidak mengganggu kuliahnya, gimana Mang?” Aku masih berusaha meyakinkan, walau rautnya tak berubah, seperti menahan amarah.
“Ayi mohon maaf, bolehkah urusan keluarga saya tidak Ayi turut campuri?” sepertinya aku sudah membuat Mang Engkus tersinggung.
“Maaf mang.” Lalu aku keluar bermaksud kembali ke rumah Ayah, ini sudah hari kedua aku di sini.
“Dasar Kebo Belis!” Ku dengar Panglima menggerutu, sesaat setelah kami keluar dari rumahnya Aam.
“Panglima, siapa coba yang ngajarin ngomong kasar kayak gitu? oh, itu kebonya dia, pantes setiap ketemu ada kebo dibelakangnya.” Panglima hanya mengangguk.
Ternyata peliharaannya Mang Engkus berbentuk kerbau, panglima menyebutnya kebo belis, sebenarnya panglima menghinanya, dengan mengatakan kebo iblis.
“Raden mau kopi lagi nggak?” Aku menyapa si Putih, dia mengangguk. Mungkin lama-lama asam lambungku naik karena kebanyakan minum kopi, tak lama kami berjalan ada warung kopi disana, dia menjual gorengan dan aneka lauk pauk sederhana, aku mampir ke warung, kebetulan karena warung ini pun dekat dengan rumah Ayah.
“Ayi, mau pesen kopi?” Eh, kok dia manggilku Ayi, apa semua orang disini tahu aku siapa?
“I-iya Teh.” Aku kikuk.
“Ayi mau tambah bunga melati atau daun pandan. Itu Si Belang biasanya suka daun pandan.”
“Hah, Teteh bisa liat Panglima sama Raden?”
“Ayi, didesa ini semua orang bisa liat miliknya masing-masing, tapi kami tidak bisa liat pasukan Ayi.” Pasukan? Ah aneh, pasukan apalah yang dia maksud, aku tidak mau cari tahu, toh dia juga tidak melihat pasukan itu, untuk apa aku mau tahu. Semakin sedikit yang kau ketahui, semakin baik.
“Oh begitu, kopi aja ga usah dikasih topping.”
“Topping? Topping teh naon?” Si Teteh bingung.
“Itu melati ama pandan, lagian aku sukanya gitu, kalau Panglima mau yang pake topping minum sendiri lah.” Ku lihat panglima mengaum dan menghilang, kesal mungkin.
“Mbak.” Kulihat mas Ridho sedang berjalan menuju warung dengan Mbak Ayu. Mereka sepertinya akan pergi ke suatu tempat, karena saat melihatku di warung ini, mereka baru berbelok.
“Mas, Mbak, mau kopi?” Aku menawari mereka minum.
“Nggak, Mas mau ke Wetan ya, mau ketemu Abah Ijang.”
“Mau ngapain Aden?” Si Teteh warung bertanya.
“Nggak, cuma mau minta air aja, biar si Ayu bisa cepet hamil.”
“Loh kan ada Ayi, kok .... ”
“Teh!” Mas Ridho menyela kata-kata si teteh pemilik warung.
“Hampura Aden.” Teteh itu buru-buru minta maaf, ada apa sih, nggak biasanya Mas Ridho galak.
“Mbak ikut ya Mas.” Aku mengekor.
Kami berjalan ke arah yang mas Ridho tunjuk, saat ini kami sedang berada di jembatan sebuah kali, nama kali cirutam, jembatan yang bisa memacu adrenalin, kami berjalan pelan, karena jembatan ini hanya terbuat dari kayu-kayu yang disusun rapih sebagai alasnya, diikat dengan tali tambang besar, bertumpu pada tiang-tiang yang terbuat dari kayu juga.
Saat berjalan di jembatan ini, tidak sengaja aku melihat sebuah baru kali besar yang bejejer, bentuknya mirip seperti di mimpiku, batu itu adalah 2 batu yang kududuki dengan Abah dalam mimpi, aku memperhatikan sekitarnya, betul! Ini adalah lokasi mimpiku, bagaimana bisa aku datang kesini dalam mimpi, tempat yang belum pernah aku datangi sama sekali.
“Mas, pegangin mbak Ayu, ini jembatannya udah jelek banget, kenapa nggak di benerin sih.”
“Ya Maklum lah, perangkat desa kan punya Apbd nya sendiri, yang kadang cukup kadang tidak.” Mas Ridho menimpali.
“Bahaya tahu, soalnya banyak yang lewat tuh, untuk pada ngerti ngantri, jadi ayng sebrang lewat dulu, baru yang arah sebaliknya nyebrang, kalau mereka nggak sabaran kan bisa ambruk ni jembatan.” Aku khawatir.
“Ya itulah bedanya, antara Ibukota dan pedesaan, mereka hanya perlu untuk kehidupan sehari-hari, sisanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang atur, nggak kayak Ibukota Mbak, semua serba cepat, semua diukur dengan uang, tidak ada yang memikirkan keselamatan orang lain, mereka cenderung egois, kalau bahasa gaulnya, gue dulu, elu bodo amat.” Mas Ridho berkata.
“Iya sih, makanya kenapa aku juga lebih suka tinggal di rumah Mama, kalo nggak gara-gara Malik pasti aku juga udah pindah dari kapan tau.”
“ya gitu deh si Mbak mah, nggak bisa jauh dari Aa Malik.” Mas Ridho meledekku.
“Bukan gitu mas, masalah kerjaan tau.” Aku menyangkal.
Kami sudah di ujung jembatan, melewati deretan pohon bambu, dan sekarang hamparan sawah yang harus kami lewati, kami berjalan di jalan setapak yang memang di buat untuk pejalan kami di hamparan sawah ini.
“Mas inget nggak, dulu kita masih kecil pas main kerumah Nenek, Ibunya Mama, kita suka main di sawah kayak gini ya Mas, trus kita nyari tutut, udah dapet seplastik pulang, trus di rebusin sama mama, abis itu di makan pake tusukan gigi, rasanya waktu itu Tutut sawah tuh makanan paling enak yang kita makan ya Mas?”
“Iya, iya, Mas inget. Kamu tuh paling nakal, kalau main sukanya di sawah, kalau nggak di pohon asem, nanti akarnya yang pada keluar dijadiin ayunan, pada main deh tuh, nggak takut kalau tu akar nanti putus bisa bocor tu kepala jatoh di tanah.”
“Masih inget aja yang itu.” Kami tertawa bersama, sementara deretan sawah sudah kami lewati.
Tak lama kami sampai dirumah Abah Ijang, rumahnya luas tapi masih beralas tanah dan atapnya jerami.
“Assalamualaikum Abah.” Mas mengetuk dan memberi salam.
“Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban dari dalam dan tak lama Si Pemilik suara keluar.
“Abah Ijang ini Ridho.”
“Ayi!!!” Lelaki itu duduk bersimpuh dengan kepala menghadap ke lantai.
“Loh, loh Bah, udah jangan begini, ga boleh begini, kita cuma boleh sujud sama Allah.”
“Abah cari Ayi kemana-mana,”
“Kenapa cari saya?” Aku bingung.
“Ayi Istri Abah sakit, tolong Abah.” Loh bukannya dia Tetua disini? bukannya katanya kemampuannya paling tinggi? Bahkan katanya, Ayahku sering meminta bantuan dia, pasiennya bahkan banyak dari luar negeri, Abah Ijang bisa menyembuhkan penyakit medis dan non medis, tadi disepanjang jalan menuju kesini Mas Ridho cerita banyak tentang Abah.
“Aku bukan Dokter Bah, aku kesini malah anter Mas Ridho.”
“Ridho, Ayi masih tersegel?”
“Abah, sudah ya kami pulang.”
Mas Ridho menarikku dan Mbak Ayu mengikuti kami dari belakang.
Mungkin Mas Ridho mengira aku masih tidak ingat apapun tentang masa laluku, biarlah, kakakku memang baik, dia khawatir, kalau saja dia tahu pengalaman macam apa yang beberapa hari ini aku alami, mungkin aku dikunciin di kamar, seperti dulu kalau aku memberontak Mas Ridho pasti di depan rumah bawa hanger nungguin aku pulang.
...
Prang!!!
Ku dengar suara piring kaca dilempar begitu sampai di rumah Ayah.
“Ada apa tuh mas?” Aku kaget, kami sudah sampai di pekarangan.
Kulihat piring dan gelas kaca berterbangan, BERTERBANGAN!!! Ya, berterbangan seperti burung, sebentar, tidak ada sayap di benda-benda itu, lalu apa atau siapa yang menerbangkan mereka, kulihat semua piring dan gelas itu mengarah ke rumah Ayah, aku berlari, kakakku tidak bisa menahanku.
Begitu sampai pagar, semua melihat kearahku, aku mencarinya, pasti dia yang diincar, pasti!
“Aam!!!” benar saja firasatku, Ayahnya mengirim semua benda kaca ini untuk menghajar Aam.
Beraninya dia mengacau di tempat duka, walau aku tidak akur dengan Ayah, tapi tindakannya keterlaluan.
Aku berdiri didepan Aam, seketika semua benda kaca itu jatuh. Panglima dan Raden muncul, panglima melempar selendang hijau, kutangkap dan menarik selendang itu dengan kedua tangan di depan dadaku, seketika semua orang masuk kedalam, Aam tersungkur di kakiku memohon ampun.
“Ayi ampuni Ayah, ampuni Ayah Ayi.” Aam menangis seperti anak kecil.
“Kerbau!! keluar kau!!!” Aku berteriak, entahlah apa yang membuatku begitu berani, kulihat dari jauh Mang Engkus datang dengan muka yang sengit.
“Aku Ayi dari tanah sunda, berani kau melempar barang dan menatapku seperti itu? Tundukkan kepalamu atau kepalamu akan lepas dari badan.” Aku sadar aku berbicara tapi aku merasa bahwa aku bukanlah aku.
“Ayi, tujuanku bukan Ayi, Aam anakku Ayi.” kulihat Mang Engkus menunduk dan masih terlihat sengit.
“Panglima, berikan Karembo Hejo pada Cula Bagong, sematkan dibahunya.” Aku memerintah Si Belang Tiga, aku sadar tapi aku tetap merasa aku bukanlah aku dan aku tidak mengerti kenapa memerintah Panglima.
“Ayi!!” Mang Engkus berteriak, semua orang juga ikut berteriak.
“Cula Bagong, kamu sekutuku, apakah ada yang keberatan?” Semua menunduk dan bersimpuh.
“Aam, aku menyuruhmu menjadi pendampingnya, bukan menjadi pembantunya!!!” Mang Engkus berdiri dan bersiap menyerangku.
Aku menarik selendangku semakin keras, Raden menghantam si kerbau milik Mang Engkus, panglima menahan badan Mang Engkus dan aku menarik selendangku kearah lehernya, kujatuhkan badannya kebelakang dengan tarikan selendang, kakinya bersujud, tapi kepalanya tertarik ke belakang karena aku menarik lehernya dengan karembo, dia kehabisan nafas matanya melotot, kutarik kencang selendangku.
“Ayi, Aam mohon jangan bunuh Ayah Engkus, Ayi Aam mohon.” Aku tidak melepaskan ikatan selendangku, Mas Ridho memegang tanganku dan berteriak ....
“Ayi, hampura Ayi!!!” Kakakku berteriak diikuti oleh semua penduduk.
“A-ayi Hampu hampura Ayi.” Si Kebo Belis ini juga ikut meminta maaf disela sesak nafasnya, tapi aku enggan melepasnya, dia sudah berani menatapku dengan sengit.
“Ayi Hampura, Hampura.” Seina menangis memelukku.
“Sialan kau Kerbau Jejadian, lihat kau membuat adikku menangis!” kalua bukan karena Seina yang memelukku dan memohon, sudah kuhabisi dia, kulepas lehernya dan aku pergi masuk kerumah Ayah, semua menunduk.
“Am, ikut Ayi, Aam sekarang tanggung jawab Ayi, Kuputuskan hubungan darahmu dengan kerbau ini.” Aku keluar membawa ranselku dan kutunjuk muka Ayahnya, “ini hukuman untuk Ayah yang memaksa putranya menjadi seperti yang dia inginkan, kau merampas hak anakmu untuk bahagia, dia adikku sekarang, dia adalah adiknya Seina sekarang, mengerti!”
“Hampura Ayi.” Kulihat dia membalas kataku dengan santun dan pergi kerumahnya, langkahnya gontai, wajar, dia kehilangan anak lelaki satu-satunya.
Huft marahku belum selesai, aku ingin membunuhnya, aku ingin dia mati. Sepanjang jalan aku masih marah-marah, sementara Panglima, Raden, Aam dan Cula Bagong peliharaan Aam diam saja mengikutiku.
“Aku ingin membunuhnya!!!” Badanku panas, aku merasa mengeluarkan api dari seluruh tubuhku.
“Ayi kita kerumah Abah Ijang.” Panglima berkata
“Ngapain?” orang lagi marah disuruh-suruh.
“Ayi harus mengeluarkan amarah Ayi, kalau tidak sepanjang jalan semua pohon akan tumbang, jangan-jangan desa berikutnya akan Ayi bumi hanguskan.” Raden berbicara, suaranya ternyata imut, aku tertawa sejenak mendengar suara yang keluar dari tubuh buas itu, pantes Raden jarang bicara, kalau diingat-ingat itu adalah kali pertama dia bicara.
“Ok.” Aku berjalan kerumah Abah Ijang, dukun terkenal itu.
“Ayi!!!” Abah lagi-lagi bersimpuh. Begitu sampai rumahnya Abah Ijang sudah ada di depan pintu, sepertinya dia tahu kdatanganku.
“Minggir.” Aku menyuruhnya minggir, aku masuk kekamarnya, kulihat makhluk hitam lebih tinggi dari atapnya dan lebar, duduk di samping perempuan tua, perempuan itu berbaring saja matanya melotot dan tubuh itu sepertinya tidak bisa digerakan, kulihat si makhluk hitam sedang menghisap ubun-ubunnya. Di sekujur tubuh makhluk itu ada banyak kutil segede kepala bayi, menjijikan.
“Panglima, Raden, Aam, bersiap, mari kita tuntaskan emosiku yang belum tersalurkan." Mereka berdiri di belakangku, “Karembo Hejo.” Panglima melempar selendang hijauku, kutarik selendang itu selebar dada dengan kedua tangan, kutarik kain hijau sakti itu sekencang yang aku bisa, melilit sisi kanan kirinya ke tanganku, ini adalah tanda aku siap berkelahi dengan makhluk menjijikan ini.
Kusabet makhluk yang tidak menyadari kedatanganku karena terlalu asik dengan makanannya. Dia mengerang kesakitan karena sabetanku mengenai kepalanya, dia berdiri dan keluar rumah menahan sakit.
“Hideng Anyir, kaluar sia tong balik deui!” Aku sekali lagi menyabet kepalanya dengan selendangku, dia makin kesakitan dan ambruk, kuinjak kepalanya dan kusabet sekali lagi lehernya, kepalanya lepas dari lehernya. Lalu dia hancur hilang tidak berbekas.
“Ijang, berhenti praktek dukun kamu, lihat istrimu jadi korban, dia sudah lama jadi santapan belis, Aam bantu Istri Ijang menghadapi sakaratul mautnya, minta maaf kau pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bertobatlah jika masih ada umur.”
Aku berjalan menjauhi pondok Dukun Hitam itu, katanya Abah Ijang dulu adalah Guru Ayahku, pantas saja muridnya melenceng, Gurunya saja begitu, tidak dapat menolong Istri di akhir hayatnya karena bersekutu dengan setan.
___________________________________
Catatan Penulis :
Setiap manusia di bumi ini di beri pilihan untuk berbuat baik atau jahat, kita tidak pernah tau kapan kita mampu berbuat jahat atau memilih bertahan dengan kebaikan, tapi satu hal yang harus kau tahu, bahwa tidak ada manusia sepenuhnya jahat dan sepenuhnya bak malaikat tanpa dosa.
Kami manusia makanya kami penuh noda dan dosa, maka tobatlah obatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Kustri
dgn tidak sadar ayi bs melakukan smua
mantab thor
2024-05-28
0
Styaningsih Danik
aq boom like 20x biar trending ...
2024-02-03
0
Rikko Nur Bakti
jempol. .
2023-10-23
1