"Astaga, nih orang kapan sih nggak marah-marah! udah lewat jam kantor, aturan nggak usah aku angkat!" gumamku dalam hati.
"Hey! kamu dengar tidak, sih!" suara laki-laki itu membuat telinga panas.
"Iya, Pak. Saya dengar..." aku duduk sambil nyalain tivi.
"Kamu lagi dimana, sih? kok rame banget suara anak kecil? kamu bisa keluar dulu karena saya terganggu dengan suara tawa mereka!" kata pak Karan.
"Maaf, Bapak jangan ngadi-ngadi, ya! Saya tau kalau saya salah udah memakai cincin yang ternyata milik Bapak! tapi kan sudah saya kembalikan jadi harusnya udah nggak ada masalah, dong?"
Aku penakut dan paling nggak suka ditakut-takuti. Orang disini nggak ada suara kok! cuma ada suara tivi acara masak, itu juga volumenya lirih.
"Ngapain saya bohong! ini suara anak kecilnya bukan cuma satu, kamu coba keluar sebentar!" kata pak bos sewot.
"Sekali lagi Bapak Karan Perkasa yang terhormat, disini cuma ada saya dan nggak ada tuh suara anak kecil, lha wong saya masih single. Jangankan anak, pacar aja saya nggak punya!"
"Hem, ya sudah! lupakan, sekarang saya minta kamu keluar!"
"Keluar? keluar gimana nih maksudnya wahai netizen?" dalam hati aku mulai panik.
"Emh, m-maksud Bapak saya dipecat? m-maaf, Pak! tadi saya nggak bermaksud ngebentak Bapak. Saya reflek bilang seperti itu soalnya ... lagian, siapa suruh bapak nakutin saya..." aku mencari pembelaan diri.
Aku gigit guling, aku takut kalau emang bener aku dipecat saat ini juga. Gimana aku bisa survive bulan depan? Aih, kenapa juga tadi aku bentak tuh bos judes? Bego banget emang!
"Saya bilang, kamu keluar sekarang! saya ada di depan kos kamu yang sempit ini. Saya tunggu!" kata pak Karan sebelum mematikan sambungan telepon.
Aku melongo mendengar apa yang diucapkan pak bos barusan.
"Dia di depan kos? ngapain? kan cincin udah aku balikin, apa lagi sih?" aku ngedumel sambil pakai celana jeans dan sweater panjang.
"Beneran nggak, sih? jangan-jangan cuma di prank? tapi suaranya, galaknya itu persis banget sama pak Karan," Aku masih mikir dan sesaat aku melihat panggilan yang tadi aku terima.
"Oh, ya? kan kemaren doi bilang kalau semalem nelfon aku tapi nggak diangkat. Coba aku cek, nomornya sama nggak sama yang nelfon aku barusan," gumamku sambil mengambil hape yang ngegeletak di kasur.
"Nomornya sama! Mampuuuus!" aku langsung ngibrit ke bawah.
Tapi setelah sampai, aku nggak nemuin ada mobil di depan kos. Nggak ada, beneran! Tapi hape aku bunyi lagi.
"Ya, halo?"
"Reva! cepat keluar, kamu mau bikin saya nunggu berapa purnama di depan?"
"T-tapi, nggak ada mobil Bapak!" keringat mulai mengucur di pelipisku. Apa iya yang nelfon aku ini bukan pak Karan yang sebenarnya?
"Kamu pikir mobil saya parkir di depan kosan kamu yang halamannya sempit seperti itu? jalan ke depan, saya di depan minimarket!" perintah pak bos.
Aku benafas lega, ternyata emang pak Karan yang nelfon, "Tapi ngapain juga ya dia dateng kesini?"
Daripada nanti disemprot lagi, aku pun segera berjalan menuju minimarket dekat kosanku. Dan bener itu mobil mewah ngejogrog disitu. Aku pun mengetuk kaca mobilnya.
Dan seketika kaca mobil itu bergerak ke bawah, memperlihatkan wajah jutek pak Karan, "Masuk!"
Aku pun mengikuti apa yang diperintahkan pria yang tajir melintir ini. Setelah duduk di dalam, pak bos langsung tancap gas ngebelah jalan raya. Aku nggak ngerti ngapain dia ngajak aku muter-muter nggak jelas kayak gini, mana mata udah capek dan pengen tidur. Apalagi besok hari sabtu pengen banget me time, itung-itung nyenengin diri sendiri yang udah kerja bagaikan kuda.
"Maaf, Pak? ini kita mau kemana ya, Pak? saya nggak dipecat kan, Pak?"
"Haish! siapa yang bilang saya mau mecat kamu?" kan bukannya ngejawab malah marah-marah. Heran, ngidam apa sih emaknya dulu?
"Kenapa kamu meminta dijemput Ridho saat ada di rumahku?" pak bos tiba-tiba nanya.
"Saya hanya merasa tidak nyaman," jawabku. Namun pak bos malah beranggapan lain.
"Jadi maksud kamu rumah saya yang megah itu kamu bilang tidak nyaman?"
"B-bukan seperti itu, Pak! tapi..." ucapku menggantung, ragu harus berkata jujur atau nggak sama pak Karan.
"Tapi apa?" pak bos nggak sabaran.
"Maksud saya, saya tidak enak kalau harus merepotkan Bapak,"
Pak Karan mendadak menghentikan laju mobilnya.
"Kamu yakin hanya itu alasannya?" tanya pak Karan yang menoleh padaku.
"I-iya, Pak! h-hanya itu," aku menjawab dengan sedikit tergagap saat ditatap mata pak bos yang tajam itu.
"Jawab yang jujur. Dan jangan ada yang ditutupi!"
Aku cuma bisa menelan salivaku dengan susah payah, apa aku harus bilang kalau di rumahnya itu aku mengalami sesuatu yang mistis.
"Apa yang sudah kamu lihat setelah memakai cincin itu?" pertanyaan pak bos mulai menjurus.
"Apa kamu melihatnya juga di rumahku?" tanya pak Karan lagi.
"I-iya, Pak..."
"Jadi, alasan kamu meminta teman kamu itu menjemput kamu itu karena kamu diganggu di rumah saya?" tanya pak bos sambil memiringkan sedikit badannya sementara satu tangannya memegang stir. Dia masih memakai jas yang sama seperti tadi pagi, kemungkinan nih orang belum pulang dan langsung nyamperin aku ke kosan.
"Jawab Reva!" pak bos merong lagi.
"Benar, Pak..."
"Lantas, kenapa sepertinya kamu tidak rela melepaskan cincin itu?" tanya pak Karan.
"Saya tidak tahu, Pak. Mungkin karena bentuknya yang indah makanya saya langsung tertarik,"
"Yakin? bukan karena berliannya?" sindir pak Karan.
"Jadi sebenarnya apa tujuan Bapak menyuruh saya untuk menemui Bapak?" aku gantian nanya.
Pak Karan madep ke depan sebelum menjawab pertanyaan yang barusan keluar dari mulutku.
"Cincin itu peninggalan ibu. Sejak saya menyimpannya beberapa waktu ini saya mulai mengalami hal-hal yang diluar akal sehat. Mereka selalu menampakkan dirinya dimanapun saya berada, bahkan sampai sulit berkonsentrasi untuk bekerja. Kenapa aku membuangnya? ya karena alasan tadi..." jelas pak Karan.
"Lalu, mengapa anda mengatakan semua ini pada saya? sejujurnya saya tidak mengerti,"
"Karena kamu sudah memakainya," jawab pak Karan.
Aku nggak ngerti sama apa yang dikatakan pak Karan, kok kesannya dia malah curhat. Dia pikir aku ini jasa konsultasi?
Ketika tak ada lagi yang pak Karan katakan, aku sekilas melihat ke arah spion dan melihat sinar lampu. Ketika aku menoleh ke arah pak Karan, tiba-tiba wajahnya berubah pucat dan sangat menakutkan.
"Kau pikir kami akan melepaskanmu begitu saja, hahahahhaha..."
"Aaaaaaaaaaa..." aku menjerit.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 361 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
serem...
2023-11-10
0
Zuhril Witanto
mau ngapain si Karan
2023-11-10
0
Aqiyu
nah kan
2022-10-01
0