"Saya ada keperluan di luar. Jika perlu sesuatu kamu bisa memanggil mbok Sri," kata pak Karan judes. Ternyata yang masuk si Bos galak
Aku jalan dengan menahan nyeri kaki ku, aku lebih baik numpang hidup di kontrakan Ridho. Minimal disana aku nggak melihat makhluk yang aneh-aneh.
"P-pak! s-saya i-ikut saja, Pak..." aku mendekat tapi tetap menjaga jarak. Kalau yang di depanku Ridho pasti aku udah nemplok duluan.
"Kamu kenapa? seperti orang yang sedang ketakutan?" tanya pak Karan yang melihat aku dengan wajah pucat pasi.
"Ng-nggak, Pak! muka saya kayak gini emang bentukannya," aku berusaha setenang mungkin, tapi gagal.
Intinya aku nggak mau lama-lama disini, jangankan sehari satu menit aja udah nggak betah. Buat apa mewah kalau ada setannya.
Melihat aku yang gelisah, pak Karan naikin satu alisnya, heran.
"Memangnya ada apa di ruangan ini?" tanya pak Karan sambil melihat ke sekeliling.
"Reva, ada satu hal yang ingin saya tanyakan," pria gagah di depanku ini tak sedikit pun melembut.
"A-apa itu, Pak?"
"Tidak perlu tegang begitu, kamu duduklah disana," dia nunjuk satu sofa yang ada di ujung ranjang.
"Muka situ yang bikin aku tegang, Pak!" aku puter badan sambil ngedumel dalam hati.
"Apakah pak Karan akan memintaku menjadi istrinya? Sepertinya mimpi itu nggak mungkin. Apa dia akan memberiku SP karena keluyuran di tangga darurat saat jam kerja? bisa jadi sih kalau yang itu dan lebih masuk akal. Oh maygot, jujur tatapannya saat ini bikin nyaliku ciyut!" batinku meronta, penasaran dengan apa yang akan pak Bos katakan. Banyak spekulasi yang berseliweran di otak, kemungkinan terburuk pun hadir dalam ketegangan ini. Tanganku menyentuh sofa sebelum aku mendudukinya.
Pak Karan berdiri menatapku dengan tatapan mematikan, kemudian matanya beralih pada jari jemariku yang saling bertautan.
"Darimana kamu mendapatkan benda itu?" tanya pak Karan menunjuk jariku dengan dagunya, sedangkan tangannya dia lipet di depan dadanya.
"M-maksud Bapak cincin ini?" aku mengangkat tangan kananku dan menunjukkan sebuah cincin bermata merah.
"Iya, darimana kamu mendapatkannya? apakah itu memang milikmu?" tanya pak Karan.
"Kenapa dia tanyain ini barang? apa ini punya pak Karan? tapi ini cincin perempuan, loh! masa iya pak Bos ganteng-ganteng pakai barang beginian?" aku sibuk dengan pikiranku sendiri.
"Revaaa!" panggilan pak Bos membuyarkan semua lamunanku.
"I-iya, Pak. Bapak tanya apa barusan?"
Doi narik nafas, "Darimana kamu mendapatkan cincin itu?" ucapnya penuh penekanan, keliatan banget kalau dia kesel.
"Dari, dari..." aku bingung harus bilang apa.
"Darimana?"
"Saya nemu, Pak. Di acara gathering waktu itu..." ucapku takut-takut.
Prinsipku mengaku lebih baik daripada berbohong. Aku melepas cincin itu, dan mengangkatnya sejajar dengan mataku. Pak Karan melihat itu, ada raut kekhawatiran yang sangat kentara di wajahnya.
"Itu milikku, dan aku sudah membuangnya. Saat outbond di acara gathering kantor beberapa waktu lalu," kata pak Bos.
"Punya Bapak? tapi ini kan cincin wanita," aku lancang bertanya. Tapi nggak apa-apa lah, ada rasa penasaran di benakku melihat benda cantik berbatu merah itu.
"Apa aku harus menjelaskan sedetail itu padamu?" pak Karan mendorong jidatku dengan satu telunjuknya.
"Lebih baik kamu buang benda itu..." kata pak Karan yang berbalik dan berjalan menuju pintu.
"Karena Bapak sudah membuang cincin ini dan kebetulan aku yang menemukannya. Jadi, sekarang akulah pemiliknya. Aku sudah terlanjur menyukainya mana mungkin aku membuangnya begitu saja. Cincin ini begitu indah, apalagi saat dilihat terus menerus membuatku jatuh hati," ucapku sambil memperhatikan benda yang sering aku pakai itu. Pria yang sedingin es batu itu menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Terserah! yang penting aku sudah memperingatkanmu," ucap pak Karan yang menatapku sebelum tertelan oleh daun pintu.
Sekarang aku ditinggal di kamar ini sendirian. Aku mulai mengambil baju yang ada di ranjang dan memakainya. Aku nggak mungkin kalau pergi dalam keadaan seperti ini. Keadaanku nggak memungkinkan untukku mengurus diri sendiri. Jadi, menginap disini menjadi pilihan terakhirku. Apalagi nggak ada kabar sama sekali dari Ridho.
Matahari sudah tenggelam. Aku melepas cincinku dan aku taruh diatas nakas. Dan sekelebat aku mendengar suara anak kecil yang berlari di depan kamarku.
"Hahahah ... hihihi,"
"Siapa, tuh?" aku melirik ke arah pintu.
"Apa mungkin anaknya pak Bos? eh, pak Bos kan belum nikah masa iya udah punya anak?"
Seseorang mengetuk pintu.
"Mbak Reva..." suara mbok Sri.
"Masuk aja, Mbok..." ucapku.
Namun pintu tak juga dibuka padahal aku sudah mengijinkannya masuk. Aku mengabaikan hal itu saat panggilan Ridho masuk ke ponsel genggamku.
"Ya, Dho? kamu nggak apa-apa, kan?" tanyaku cemas.
"Aku denger ada suara aneh sebelum kamu nutup telfon tadi siang..." aku langsung memberondong dia dengan banyak pertanyaan.
"Masa sih? salah denger kali," jawaban Ridho bikin aku menautkan kedua alisku.
"Masa iya salah denger?" batinku.
"Kamu masih di rumah pak Karan? emang separah itu ya sampai harus nginep di rumah bos sendiri?" sindir Ridho.
"Bisa jemput, nggak? hawanya nggak enak disini, Dho..."
"Sebagai apa aku jemput kamu? lagian nggak enak sama pak Bos, dia kan ngajak kamu kesitu. Minimal biar nggak cuma aku yang kamu repotin mulu," Ridho ngemengnya enak banget nggak ada rasa bersalah karena udah ninggalin aku.
"Cih! aku kira kamu nelfon itu karena kamu care sama temen! ternyata cuma mau ngledekin doang! punya temen kok nggak ada akhlak," aku ngomel.
"Hahaha, udah nikmatin aja. Kapan lagi tidur di kasur empuk dan makan enak. Gratis lagi,"
"Udah, ya? aku sama Mona mau beli nasi goreng, kamu baek-baek aja disitu. Jangan pecicilan," pesan Ridho sebelum mengakhiri percakapan kami di telepon.
Aku manyun sambil melihat beberapa status dari teman-teman dari aplikasi berwarna hijau. Aku melihat satu status yang baru saja diunggah oleh Karla.
"Masih di kampung rupanya. Dia nggak takut kalau dikasih surat peringatan karena libur kelamaan?" gumamku seraya men-scroll dan melihat beberapa status yang lain. Merasa nggak ada yang seru, aku pun meredupkan layar hape dan menaruhnya diatas ranjang.
Aku baru ingat kalau tadi mbok Sri sempat mengetuk pintu dan memanggil namaku.
"Kenapa dia nggak masuk? apa suaraku nggak kedengeran dari luar?" aku melihat ke arah pintu berwarna cokelat itu.
"Jangan-jangan mbok Sri masih nungguin di depan?" aku beranjak dan segera berjalan ke arah pintu dengan susah payah.
"Ternyata kamar gede nggak selalu enak..." kataku sambil buang nafas sebelum membuka pintu.
"Maaf ya, Mbok!" ucapku saat pintu sudah aku buka selebar-lebarnya.
Namun, nggak ada satu pun orang yang ada di depan pintu.
"Nggak beres, bisa gila aku lama-lama disini!"
Aku yang konsisten dengan jiwa penakut, langsung puter badan berniat masuk kamar. Tapi tiba-tiba sebuah suara wanita mencegahku.
"Mbak!"
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 361 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
mungkin itu cincin sengaja di buang karna mengganggu
2023-11-09
0
Zuhril Witanto
kok agak mencurigakan nih
2023-11-09
0
Aqiyu
buang Reva itu cincinnya
2022-10-01
0