Kek sidang apa gitu ya. Duduk di samping Ridho, plus ditatap sama pak Karan yang siap menerkam kapan saja.
"Kalian tahu kenapa kalian saya panggil kemari?" tanya pak Bos.
"Tidak, Pak..." kata Ridho tenang.
"Kalau kamu?" pak Bos nunjuk muka ku.
"Tidak juga, Pak..." aku nunduk.
"Kalau diajak bicara tatap lawan bicaranya, bukan malah nunduk seperti orang yang sedang mencari koin yang jatuh!" pak Bos mulai merong.
Aku angkat wajah, "Maaf, Pak..."
"Sebelumnya saya mau mengingatkan, kalau di perusahaan ini dilarang menjalin cinta antar sesama karyawan yang berimbas pada penurunan kinerja kalian," kata pak Karan menumpangkan satu kaki nya di atas kaki yang lain menatap kita berdua secara bergantian.
"Maaf, Pak. Tapi kami tidak punya hubungan spesial. Saya dan Ridho hanya rekan kerja," aku buru-buru menjelaskan sebelum aku dipecat.
Ridho nengok ke aku. Tatapannya nggak kalah tajem, aku naikin satu alis. Lalu, cowok disamping aku ini menatap pak Karan lagi.
"Sebenarnya ada apa kami disuruh datang kemari, Pak?" tanya Ridho.
"Aku menginginkan cincin itu kembali, jadi tolong berikan cincin batu merah itu," kata pak Karan padaku.
"Bukankah cincin itu milik saya sekarang? kenapa Bapak memintanya kembali?" aku menjawab dengan takut-takut.
"Reva?" Ridho langsung memutar kepalanya menatapku. Aku memberi isyarat kalau aku akan menjelaskannya nanti
"Cepat kembalikan!" kata pak Karan menegadahkan tangamnya meminta cincin itu kembali.
"Tapi barang itu..." belum juga aku selesai ngomong, pak Karan langsung membentak.
"Kamu ini! Astaga ... kembalikan saja. Tidak usah banyak alasan!" suara pak Karan menggelegar di ruangan ini.
"Saya memanggilmu kesini karena aku lihat cukup dekat. Maka bujuklah temanmu yang satu ini agar mau mengembalikan cincin batu merah milik saya,"
"Memangnya ada apa dengan cincin itu? maaf, jika Bapak begitu menginginkannya kembali makan Bapak harus memberikan penjelasan pada Reva..." kata Ridho adem banget dah.
"Berikan saja sebelum teman kamu ini bisa jadi gila!" kata pak Karan.
"Iya tapi itu bukan jawaban, Pak. Dan apa buktinya jika cincin ini memang benar milik Bapak?" beraninya Ridho bicara menantang sang pemilik perusahaan, nyalinya gede banget.
"Di dalam lingkaran itu ada nama ibu ku, Ilena..." kata pak Karan.
"Jika benar ini miliknya maka kamu harus mengembalikannya," kata Ridho, lalu aku mengangguk.
Ridho merogoh sakunya dan mengangkat cincin itu di depan wajahnya.
"Mari kita buktikan," kata Ridho.
Pria itu kemudian memegang cincin itu dengan kedua tangannya, lalu ia memutar dan memusatkan perhatiannya pada benda berbentuk lingkaran itu.
Setelah beberapa saat Ridho memberikannya padaku.
"Hmm?" aku menautkan kedua alisku, dan Ridho menyerahkan cincin itu sambil bilang, lihat sendiri dengan suara yang lirih.
Aku jujur aja deg-degan pakai banget, serasa mau ketemu sama mas crush!
"Kalau iya cincin ini ternyata punya pak Karan, Ridho pasti nyuruh aku buat balikin..." batinku.
Aku tarik nafas dan menghembuskannya perlahan sebelum akhirnya menerima kenyataan bahwa cincin itu memang bertuliskan nama Ilena. Tulang belulangku mendadak lunglai tak berdaya. Mataku menangkap 5 huruf yang disebutkan pak Karan
"Bagaimana?" tanya pak Karan entah pada siapa. Yang jelas, aku mengangguk pasrah. Ridho mengambil benda yang ada di genggamku saat ini.
"Lepaskan dan kembalikan pada pemilik aslinya..." kata Ridho yang lagi kesurupan setan mana, karena nada bicaranya yang lembut, mengayomi dan ulala syalalala membuat aku begitu saja menyerahkan cincin itu pada Ridho.
Pak Karan meminta benda berbentuk lingkaran itu pada Ridho. Dan sekarang benda itu sudah meluncur bebas masuk ke kantong jas pak Bos.
"Kalau begitu kalian boleh pergi," kata pak Karan yang seenaknya ngusir dengan nada songongnya.
"Permisi, Pak..." Ridho berdiri begitu juga aku yang membungkukkan sedikit badanku memberi hormat kemudian berbalik.
"Reva!" tiba-tiba memanggil namaku. Sontak aku dan Ridho kompak memutar badan.
"Saya ingin bicara dengan kamu sebentar," kata pak Karan lagi.
"Kamu tungguin di depan, ya? jangan tinggalin aku..." ucapku lirih. Ridho ngangguk dan kemudian meninggalkan ruangan itu.
Sedangkan aku? Lanjut sidang kedua face to face dengan pemimpin perusahaan ini.
"Duduk," perintah pria berusia 30 tahun itu.
Mau buang nafas nggak bisa, mau tarik nafas juga susah. Itulah apa yang aku rasakan saat ini, satu menit berasa 1 abad.
Aku duduk di depan pria dingin, galak, judes, bossy, ups tahan jangan emosi.
"Tentunya otak kamu yang kecil itu bertanya-tanya kenapa saya minta cincin itu balik," si Bos mulai ngomong. Aku diem, anteng.
"Ayo tanya kenapa?" sambungnya gregetan.
"Iya kenapa, Pak?"
"Saya tau jiwa miskinmu pasti meronta saat melihat barang bagus seperti ini," kata pak Karan, sambil ngeluarin cincin dan menunjukkan di depan mataku.
"Jika bukan karyawanku sendiri yang menemukannya pasti aku tidak akan peduli. Sebenarnya saya paling malas untuk menjelaskan, tapi demi kepalamu yang bebal itu dan semua hal buruk yang terjadi padamu maka saya lakukan ini," kata Pak Karan yang kemudian menggenggam benda itu di tangannya.
"Kamu pasti sudah merasakan hal yang aneh saat benda ini sudah berpindah padamu. Iya, kan?"
"Jadi, sebelum kantor ini heboh karena hal tak masuk akal yang dialami oleh kamu, maka lebih baik saya ambil cincin ini dan akan saya buang ke tengah samudera atau dimana pun itu, yang sekiranya tak akan bisa berpindah ke tangan manusia lain,"
"Sampai disini kamu, paham?" tanya pak Karan.
"Paham," aku manggut-manggut aja, kalau aku menggeleng udah pasti kena sempriit.
"Baguslah kalau kamu paham. Kamu boleh pergi sekarang," kata pak bos.
"Kalau begitu saya permisi, Pak..." sejujurnya sedih melihat cincin yang bertahtakan berlian itu kembali pada pemiliknya, tapi mau bagaimana lagi?
Aku beranjak dan melangkah menuju pintu, tapi suara pria satu itu menggema lagi dan otomatis menghentikan langkahku yang hampir menjangkau pintu.
"Kalau ada panggilan masuk, angkat! jangan kau abaikan begitu saja! membuat orang kesal saja!" ucap pak Karan.
"Maksudnya?" aku men
"Semalam yang meneleponmu itu saya!"
"Oh," jawab ku singkat.
"Astaga!" aku terperanjat dan langsung merogoh ponsel yang dari semalam belum aku check.
Dan jeng jeng jeng banyak panggilan tak terjawab dari nomor baru.
"Maaf, Pak. Semalam hape saya senyapkan,"
"Ya sudah! sekarang kamu boleh kembali ke divisi mu," perintah doi, eh pak Karan elaaah.
"Permisi, Pak..."
Aku pun melangkahkan kaki ke arah pintu dan keluar dari ruangan itu.
"Dho..." aku memanggil pria kini yang sedang bersandar pada dinding kesengsaraan. Yang dipanggil pun kini menoleh dan berjalan menghampiri ku.
"Udah?" tanya Ridho. Aku mengangguk, nggak ada tenaga buat nyap-nyap.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 361 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
apa nanti Reva bakalan di ganggu lagi setelah cincinnya kembali
2023-11-10
0
Zuhril Witanto
🤣🤣🤣
2023-11-10
0
Yuli
lantas kalau udah di kembalian, apakah masih ada gangguan kepada Reva, hanya author yg tau readers, yuk baca kelanjutannya 🤣🤣🤣
2022-10-02
0