Dalam keadaan terjepit otakku langsung berfungsi untuk minta tolong.
"Dho? kamu bisa jemput aku?" aku tanpa rasa bersalah nelpon satu-satunya teman yang mungkin bisa nolongin disaat genting.
"Bukannya udah di kantor? ngelayab kemana lagi? aku lagi banyak kerjaan,"
"Ini aku ada di depan lift di lantai paling atas..."
"Ngapain disana? ogah! turun aja sendiri,"
"Ya ampun, Dho ... jahatnya dirimu teganya dirimu..." aku mencoba memelas.
"Heh, lantai paling atas itu dekat ruangannya pak Bos!"
"Tadi aku lupa mencet tombol lift! ini juga kan salah kamu, Dho! main ninggalin aku sendirian, kan aku jadi nyasar kayak gini,"
"Otak kamu yang nyasar! tinggal turun pakai lift apa susahmya sih!"
"Ini liftnya mati combro!" aku gas lagi Ridho.
"Pakai tangga darurat!"
"Astaga nih orang ngeselin banget!" aku menyudahi acara ngotot-ngototan ini.
"Ya Allah lindungi Reva ya Allah..." lirihku sambil masukin hape ke dalam tas.
Aku pasrah, Ridho nggak mau bantuin. Aku narik nafas dulu sebelum aku akan ngap-ngapan setelah ini.
Langkah kaki yang mirip terseret itu pun bisa aku dengar. Ya jelas, lha wong itu suara kaki sendiri. Tapi jujur ini lantai sepi pakai banget. Persis kayak hatiku yang sunyi senyap belum ada yang ngisi. Cuma ada mbak Indri dan satu lagi asistennya pak Karan namanya mas Ranggi. Tapi mereka berdua aku liat tadi masuk ke ruangannya pak Karan sambil ngelirik aku yang susah payah jalan ke tangga darurat.
Aku berjalan mendekat dan melihat ratusan anak tangga yang siap membuat kakiku gempor.
"Semangat, tolong jangan pada ganggu aku ya? kaki ku belum sembuh, nih! nggak sanggup kalau harus lari-lari," ucapku yang lebih mirip gumaman seraya menyentuh pegangan besi yang terasa dingin.
Perlahan aku menapaki satu persatu anak tangga. Mataku ngelirik sana sini takut ada yang tiba-tiba nongol. Nafasku udah mulai nggak beraturan ditambah punggungku yang terasa berat dan panas.
"Kok panas, ya?" aku ngomong sendiri sambil nyentuh tengkuk dan jariku yang panas seperti terbakar api.
Dahiku mulai mengeluarkan keringat. Aku menyekanya sesekali. Punggungku semakin berat kayak gendong karung beras.
Ditengah perjuanganku menuruni anak tangga yang nggak ada habisnya, ada seseorang yang duduk dalam jarak 3 meter dari tempatku berdiri.
Wanita dengan gaun berwarna burgundy, sedang duduk membelakangiku seraya tangannya menyisir rambutnya dengan jari jemarinya yang terlihat pucat dan basah.
Dia cekikikan, "Hihihihihi," sedangkan aku langsung gemerteran.
"Nananananana, hihihihihihi..." dia bersenandung diiringi tawa yang memilukan.
"Kau sudah masuk dan kau tak akan bisa keluar," ucapnya membuat bulu kudukku merinding
Nggak usah ditanya, sekarang aku langsung pias. Aku hendak berbalik badan namun aku dikagetkan dengan wajah wanita tua tiba-tiba muncul di depan mataku. Badannya terjulur dari belakang melewati kepalaku.
"Aaaaaaa ... hhh hhh hhh," aku lari dengan kaki yang udah mirip orang pincang. Aku nunduk, dan melihat sekilas ke belakang. Wanita itu berbalik dan menampakkan wajahnya yang begitu mengerikan dengan kedua bola mata yang berwarna putih dan mulut yang terbuka lebar mengeluarkan lidah seperti ular.
"Hah ... hah ... hhh ... hhh!" nafasku ngos-ngosan. Kaki ku yang sakit bertambah sakit karena aku paksa untuk menaiki anak tangga.
"Akhhh, hhh ... hahh hhhh!"
"Hahahha .... hihihi ... mau kemana kamu?" suara wanita tua itu memekakkan telingaku.
"Aaaaaakhhh!" aku memekik. Dia masih nemplok di punggungku, langkahku makin berat. Aku berusaha menggerakkan badanku berharap makhluk itu terlepas.
Namun, menyaksikan aku yang begitu ketakutan membuat mereka berdua tertawa senang.
"Pergiiiii...!" teriakku berusaha melepaskan cengkraman tangannya dari leherku.
"Tenanglah, kau akan pergi bersama kami. Hihihihihihi"
"Akkh...! khhh akkk...!" mataku mulai berair.
"Aakkkh," sekuat tenaga aku melepaskan diri dari tangan keriput dengan kuku panjang dan hitam yang membuatku sulit bernafas.
"Hihihihihihi..." wanita berpindah dari punggungku kini menemplok ke dinding seperti seekor cicak.
Aku berusaha menghindar saat makhluk itu berusaha melompat ke arahku, namun sialnya aku terpeleset dan jatuh.
Kepalaku terbentur, "Aaaaaaakhhh!"
Aku merasa ada cairan yang mengalir di pelipisku. Belum sempat aku usap, semuanya jadi gelap.
.
.
Badanku rasanya sakit semua, terutama dibagian kepala yang nyut-nyutan dan perih. Pelan-pelan aku buka mata dan bola mataku bergerak menelisik ruangan tempat aku berada sekarang. Aku berusaha untuk duduk namun sayangnya rasa nyeri langsung menghantam kepalaku saat ini.
"Aku dimana, ya?" hanya ada langit-langit bisa aku lihat. Karena aku belum bisa duduk.
Aku ngusap kepalaku, "Apa aku berhasil dibawa setan?"
"Heh! kamu saya SP ya ngatain saya setan!" suara laki-laki galak menyapa gendang telingaku yang sepertinya masih berfungsi dengan baik.
"Ya ampun, di dunia lain aja masih ada SP? ssshhhh! kebangetan setan aja bisa niruin suaranya pak Karan! bukan suaranya mukanya juga," ucapku saat melihat satu sosok berjas berada tepat di depan muka ku yang pasti jelek banget saat ini.
"Heh, sadar! kamu masih di ruangan saya belum nyampe di akhirat! apa jangan-jangan otak kamu jadi geser gara-gara kebentur tadi?" ucapnya sambil menunjuk kepalaku dengan jarinya.
Aku laoding sebentar sebelum terperanjat, "Astaga!" aku langsung bangun begitu nyawa sudah lengkap.
"M-maaf, Pak!"
"Kamu itu ngapain di tangga darurat? masih untung saya dan Ranggi yang dengar teriakan kamu! coba kalau nggak?" pak Karan malah ngomel sambil menunjuk-nunjuk muka akikah.
"Sekali lagi, s-saya minta m-maaf..."
"Tadi saya panggil dokter kesini, luka kamu itu sudah dijahit. Jadi usahakan jangan terkena air supaya jahitannya cepat mengering! dan itu obatnya, jangan lupa diminum!" kata pak Karan yang duduk tak jauh dariku.
Aku nyentuh kepalaku yang sudah diperban, "Terima kasih, Pak. Dan maaf merepotkan,"
Mata pak Karan melihatku dengan tatapan yang aneh, "Cincin kamu?"
"Ya? kenapa, Pak? cincin?" aku melihat jariku.
"Ah, sudahlah! sekarang lebih baik kamu pulang, saya tidak mau dituduh mengeskploitasi karyawan yang sedang sakit," ucap pria itu yang kini berdiri dan menunjuk pintu keluar.
Aku mengangguk sungkan, "Permisi, Pak..."
"Aaaakh!" aku mendadak pusing dan aku hampir jatuh lagi kalau saja tangan pak Bos yang sehangat rice cooker itu nggak nangkep aku.
"Astaga, apa kamu nggak bisa berhati-hati?"
"Nggak! eh, m-maksudnya b-bisa, Pak!" aku gugup.
"T-tapi kaki saya sakit..." kataku takut, tangannya masih nahan punggungku.
"Ya sudah, kamu duduk dulu. Sampai kamu merasa lebih baik," kata pak Karan yang membantuku untuk duduk di sofa empuknya.
Dia pergi keluar, nggak tau kemana. Aku langsung mengambil hape yang bunyi dalam tas ku yang tergeletak di atas meja.
"Revaaaa! kamu kemana aja? gila ya? udah siang nggak nyampe-nyampe juga!" Ridho ngomel.
Aku mendesis," Ssssh, Dho! nggak usah ngomel! kepalaku langsung nyut-nyutan,"
"Aku di ruangannya pak Karan. Aku jatuh dari tangga," ucapku sambil pegang kepala.
"Udah ya, Dho! ada yang masuk," bisikku sebelum menutup telepon.
Dan pak Karan pun masuk lagi ke ruangan ini. Aku mencoba berdiri dan menyeimbangkan tubuh.
"Permisi, Pak..." aku mengangguk sambil nyangkolin tas ke bahu.
"Hem," pak Karan ngejawab cuma pakai deheman. Sungguh manusia es batu.
Aku tersenyum canggung dan berjalan dengan langkah yang diseret menuju pintu. Ketika handle pintu sudah ku pegang tiba-tiba...
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 361 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
tiba2...duar
2023-11-09
0
Aya Vivemyangel
Sial bgt sihh si revaa ini 😂😂😂
Othory pinter nih 🌷🌷🌷
2022-12-08
1
Aqiyu
Reva cincinnya punya demit
2022-10-01
2