Tiba-tiba pak Bos nawarin nganterin pulang. Rejeki emang nggak bisa dituker tambah. Aku langsung ngangguk aja, daripada naik ojek kan lebih enak juga naik mbem mbemmm ngeng ngeng.
Percaya deh demi apapun, aku dilema antara pengen senyum tapi nggak bisa karena auto ketahan pas liat muka juteknya si Bos.
Dan kalian tahu aku ada dimana? Yes! Ada di dalem mobil pak Karan yang kece badai, cuma sayang daritadi diem bae kayak orang lagi sariawan.
"Tahan Reva. Jangan norak, please..." batinku.
Aduh tapi gimana ya, mobil mahal emang beda ya? Empuk banget, nyaman dan dinginnya sedingin sikap pak Bos saat ini.
Nah kan, dia ngelirik. Uh, tatapannya nggak kuat aing lahir batin. Check check hati check, tolong!
Aku senderin punggung, "Mampus, nyaman banget!"
Tapi kenyamanan itu serasa sirna, saat mata elang pak Karan menatap tajam aku yang udah nggak bisa nahan buat nggak nyengir meskipun hanya satu senti aja.
"Ehem," aku langsung benerin posisi duduk.
Dia ngelirik tanda pengenalku sebelum ngomong, " Reva, kamu belum jawab kenapa kamu ada di tangga darurat! apa kamu orang primitif yang nggak kenal lift? atau jangan-jangan selama ini kamu naik elang buat ke kantor?" tanya pak Karan ketus. Lah ngelawak dia!
Aku menautkan ujung-ujung jariku, "Emh, tombol liftnya rusak, Pak..." kataku nunduk, nggak berani liat sepasang mata yang selalu mengintimidasi itu.
"Jadi? secara nggak sengaja kamu bilang kalau di kantor saya itu..."
"B-bukan begitu, Pak!" Aku langsung meralat ucapanku.
"Lift-nya nggak kepencet nggak kebuka," kataku gugup.
"Kamu ngomong yang jelas!"
"M-maksud saya, saya nggak bisa tekan tombol lift-nya..." jawabku pasrah sambil menolehkan kepalaku yang udah nyut-nyutan dan sekarang kena mental banget ini semobil sama beruang kutub.
Ekor mataku tak sengaja melihat satu sosok wanita yang duduk di belakang. Aku yang penakut, nggak berani menoleh lagi.
Pak Karan yang melihat tingkah anehku pun langsung menoleh ke belakang sewaktu mobil berhenti karena di depan ada lampu merah.
Pak Bos lihat ke depan dan mobil di gas lagi. Nggak kerasa juga ini mobil kecepatannya berapa karena saking nyamannya, tahan oleng.
"Maaf, Pak? tapi ini bukan jalan ke kosan saya," aku celingukan, takut diculik.
Pak Karan buang nafas, " Lagi pula siapa yang bilang kalau saya akan mengantar kamu ke kosan? Kamu kira saya supir?"
Aku nyengir bego, ngadepin bos model begini susah emang. Stok sabar kita kudu lebih dari kapasitas.
Minimal dengan kegalakan pak Karan aku jadi lupa sama makhluk yang sempat-sempatnya mengganggu di jok belakang.
Setelah menempuh perjalaman kurang lebih 45 menit, akhirnya kita sampai di sebuah rumah gedongan. Nggak tahu juga berapa hektar luasnya.
Aku cuma bisa melongo melihat apa yang tersaji di depan mata.
"Turun!" perintah pak Karan yang buka pintu duluan.
Aku yang makhluk lemah dan tak berdaya ini buka pintu sendiri dan ngintilin pak Bos dari belakang.
Dia gerakin tangannya dan mencet tombol kunci di mobil super enaknya itu.
Aku ketinggalan jauh, kakiku yang aku seret-seret nggak bisa mengejar sosok pria gagah yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumahnya.
"Mbak Reva?" tanya seorang wanita usia paruh baya. Dia mendekat padaku yang berdiri di ambang pintu.
"I-iya saya," ucapku
"Mari saya tunjukkan kamarnya," ucap wanita itu seraya membawaku masuk. Namun aku segera menolak.
"Maaf, tapi saya..."
"Mbak Reva katanya sedang terluka. Saya diperintahkan tuan Asa buat ngerawat Mbak Reva selama Mbak tinggal disini," kata wanita itu yang menyebut pak Karan dengan nama Asa.
"Tapi saya nggak berniat buat tinggal disini, Bu..." ucapku sopan.
Dia tersenyum ramah, "Panggil saja mbok Sri. Saya pelayan di rumah ini. Sudah lebih baik mbak Reva menurut saja, lagi pula perban di kepala mbak itu sudah cukup menjadi bukti kalau sekarang keadaan mbak tidak sedang baik-baik saja," kata mbok Sri dengan aksen jowonya.
"Tapi..."
"Sudah, ikut mbok ke dalam..." mbok Sri menarikku supaya berjalan mengikutinya.
"Kakinya kenapa, Mbak?" tanya mbok Sri.
"Terkilir Mbok! jatuh di tangga," jawabku.
Mbok Sri membuka pintu tanpa melepaskan pegangan tangannya dari lenganku. Seakan takut kalau aku bisa kabur.
"Nah, ini kamarnya, Mbak..." kata mbok Sri yang membantuku untuk duduk di sisi ranjang.
"Kalau begitu mbok keluar dulu," kata mbok Sri seraya tersenyum padaku.
Pintu pun ditutup kembali. Mataku melihat ke sekeliling kamar yang lumayan luas ini. Dan mataku terpaku pada satu lukisan penari yang lumayan creepy.
"Kayak berasa di tatap gitu, ya?"
Lagi sibuk mata mandangin lukisan, mbok Sri datang dengan beberapa pakaian di tangannya.
"Saya disuruh tuan Asa untuk memberikan ini untuk Mbak Reva,"
"Terima kasih, Mbok..." ucapku sambil tersenyum.
Pintu yang semula terbuka, kini ditutup lagi oleh mbok Sri.
"Jadi beneran aku disuruh nginep? tapi kenapa gitu? seneng tapi juga aneh, iya nggak sih? mana rumahnya anyes kayak gini, kayak nggak ada aura bahagia nih rumah!" kataku yang merasa ajakan pak Karan ini sungguh janggal dan nggak masuk di akal sehatku.
Baru juga mau ganti baju, hapeku bunyi plus getar.
"Ya, Dho?" aku tempelin hape di kuping dan aku jepit pake bahu sementara tangan milih-milih baju yang kira-kira muat.
"Dimana?" tanya Ridho.
"Disini,"
"Disini dimana? aku udah di depan ruangannya pak Karan. Sepi nggak ada orang," kata Ridho.
"Aku di rumahnya pak Karan. Aku tadi jatuh kebentur tangga, terus bocor dikit..."
"Terus udah diobras?" tanya Ridho.
"Baju kali diobras!"
"Otak aman, kan?" Ridho ngeledekin, tapi aku yakin dia nelfon pasti karena khawatir atau minimal merasa bersalah. Tapi, aku nggak nanggepin ocehannya makhluk kamfret itu.
"Dho?" aku panggil Ridho. Dia nggak jawab. Tapi aku bisa denger nafasnya nggak beraturan.
"Ridho Menawan!" aku panggil nama lengkapnya.
"Ya! aku emang menawan, Va!" ucapnya, aku denger suara 'ting' sepertinya dia sedang naik lift.
"Vangke! itu kan emang nama kamu, Dho! bukannya aku muji kamu menawan!"
"Va, aku di dalem lift. Aku matiin telfonnya dulu," ucap Ridho buru-buru.
Tapi aku denger lengkingan suara mbak kun kun diujung percakapan aku tadi.
"Dho? Ridhoooo!" aku teriakin nama tuh orang. Tapi sialnya panggilan udah berakhir.
"Astaga, Ridho!" aku langsung cemas.
"Gila gila, tadi tuh beneran aku denger suara..." ucapku menggantung.
"Suara apa? hihihihi," bisik seseorang di telinga kananku. Aku menegang, ekor mata mataku melirik sana-sini tanpa berani menggerakkan leherku.
Dan ....
Sesaat terdengar suara ketukan pintu, sebelum benda berbentuk persegi panjang itu perlahan terbuka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 361 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
ih serem
2023-11-09
0
Yuli
duuhhh mbak Kun , gak siang gak malam ngikutin Reva trus, emang GK ada kerjaan apa 🤣🤣🤣🤣
2022-10-02
0
Aqiyu
Ridho Menawan..... panjangan namanya luchu
2022-10-01
0