"Mba, kok diam saja?" tanya wanita itu lagi dengan aksen jawa.
Aku pun nengok ke belakang dan melihat sosok mbok Sri tersenyum padaku.
"Hahhh astaga, Mbok!" aku bernafas lega saat aku tau kalau orang yang ada di depanku orang beneran.
"Mbak Reva kenapa, Mbak?"
"Nggak, Mbok..." aku gelengin kepala sambil tangan dadah-dadah. Lemes banget nih kaki, mendadak nggak ada tenaga buat sekedar berdiri.
"Oh, saya kira mbak Reva kenapa..."
"Tadi, kenapa ketuk pintu tapi nggak masuk?" tanyaku pada mbok Sri.
"Ketuk pintu?"
"Iya, bukannya 10 menit yang lalu mbok Sri ketuk pintu saya?" aku memastikan
"Tapi saya baru saja datang tadi,"
"T-terus, t-tadi yang ketuk pintu siapa?" lidahku mendadak kelu, aku cuma bisa nunjuk pintu.
"Kalau itu si Mbok tidak tahu, Mbak. Oh, ya ... tuan Asa sudah menunggu di meja makan,"
"T-tapi, Mbok..."
Mbok Sri menuntunku keluar dan tak lupa ia menutup dulu pintu kamarku sebelum kami berdua berjalan menuju meja makan yang menjadi satu dengan dapur bersih.
"Silakan, Mbak..." kata mbok Sri yang menarik kursi untuk aku duduki.
"Terima kasih, Mbok..."
Aku canggung duduk di satu meja makan dengan pak Karan yang terkenal galak itu. Pak Karan duduk di kursi yang berada di ujung meja makan berbentuk lonjong itu. Kursinya banyak, tapi yang makan cuma berdua. Wait, berdua?
Aku langsung teringat dengan suara anak kecil yang berlarian di depan kamarku. Aku celingukan, mencari sosok anak kecil yang mungkin akan muncul menemani makan malam ini.
"Kamu nggak nyuruh saya buat ngambilin kamu nasi, kan?" ucap pak Karan jutek.
"Eh, iya. Maksud saya tidak, Pak. Saya bisa ambil sendiri," kataku yang berusaha meraih tempat nasi.
"Lagian belum juga ditawarin masa iya aku clamitan nyendokin nasi ke piring? aku emang laper, tapi nggak nggragas juga!" suara batinku.
Aku mulai mengambil semur daging, aku nggak mau sentuh capcay yang udah keliatan ada udangnya.
"Kamu nggak ambil ini?" pak Karan nanya sambil nyendokin capcay ke piringnya.
"Tidak, Pak! saya alergi seafood," kata ku sambil tersenyum canggung.
"Itu saja?" kata pak Karan yang melihatku hanya mengambil semur daging dan tidak melirik makanan yang lain. Padahal ada banyak makanan yang tersaji di meja.
Melihat pak Bos yang sudah makan duluan, lantas aku pun melontarkan satu pertanyaan.
"Kita tidak menunggu anak Bapak untuk makan malam?" tanyaku sedikit lancang.
"Maksud kamu?"
"Anak kecil yang ada di rumah ini," jawabku enteng.
"Kamu ini mengejek saya? saya itu belum menikah mana mungkin saya punya anak. Kalau ini jam kerja sudah saya kasih SP kamu!"
"L-lalu anak kecil yang..."
"Nikmati saja apa yang menjadi pilihanmu,"
"Astaga, dikit-dikit nyinggung SP. Ganteng sih, tapi galaknya nggak ketulungan. Pantesan nggak ada yang mau!" aku mengumpatnya dalam hati. Iya lah kalau keceplosan bisa di umpetin di pohon kangkung yang ada.
Selagi kita makan, mbok Sri tiba-tiba datang dan mengatakan kalau ada tamu yang mencari pak Karan.
"Oma?" gumam pak Karan saat mbok Sri mengatakan siapa gerangangan yang ingin bertemu dirinya malam-malam begini.
"Buatkan teh hijau buat oma, Mbok!" perintah si Bos.
Aku udah selesai makan karena memang porsi makanku yang aku cut abis-abisan.
"Saya mau temui oma saya dulu, kalau kamu sudah selesai balik saja ke kamar " kata pak Karan sebelum pergi meninggalkan aku sendirian.
Aku berjalan ke kamar yang akan menjadi tempatku merajut mimpi malam ini. Tapi sekali lagi, aku mendengar suara tawa anak kecil yang sedang kejar-kejaran.
Rasa sakit yang mendera aku tahan, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu. Tanganku nyamber hape, nelpon seseorang yang kalian pasti tau siapa yang aku hubungi sekarang. Aku casciscus ngejelasin apa yang udah aku alami di rumah ini.
"Please, pleaseee banget..." ucapku memelas dengan penuh kesungguhan hati.
"Bener, ya? aku tunggu!" aku langsung tutup telfon dan berganti pakaian. Sebenernya aku bingung, dia belum punya istri tapi kenapa ada baju perempuan di rumah ini.
Sampe situ aja otakku nggak nyampe apalagi soal cincin yang diakui itu milik si Bos. Tapi meskipun masih ada banyak tanda tanya di kepalaku, aku nggak ada waktu buat mikirin itu.
Sekarang aku udah ganti dengan baju kantor yang tadi aku pakai waktu kesini dan aku menyematkan lagi cincin merah yang sangat memikat hati seorang Reva Velya.
"Aku kesini cuma buat ditanya tentang cincin ini aja," ucapku sambil melihat jari manisku.
Aku berjalan dengan sedikit pincang, aku membuka pintu dan saat itu juga aku melihat mbok Sri ada di depan kamarku.
"Astaga, Mboookk!" sontak aku berteriak karena tekejut dengan kehadiran sosoknya.
"Mau kemana, Mbak?" tanya mbok Sri.
Aku tutup pintu dari luar, " Saya mau pulang, Mbok..."
"Bukannya ini sudah malam?"
"Iya, tapi..." belum sempat aku menjelaskan alasanku pada mbok Sri, hape ku berdering. Tanpa pikir panjang, aku segera mengangkat panggilan itu.
"Gimana? udah hampir nyampe? iya iya aku keluar sekarang," kata ku pada orang yang meneleponku.
Aku masukan kembali hape ke dalam tas, "Mbok, saya pamit. Maaf sudah merepotkan,"
"Tidak masalah, Mbak. Sudah menjadi tugas saya," kata mbok Sri.
"Mari saya antar, Mbak..." mbok Sri menawarkan bantuannya. Ia memegang lenganku membantuku berjalan.
Dan sayup-sayup aku dengar ada dua orang yang sedang mengobrol di ruang tamu. Pak Karan terperanjat saat melihat aku yang sudah memakai kembali pakaianku sebelumnya.
"Mau kemana kamu?" tanya pak Karan.
"Saya mau pulang, Pak..."
"Asa? dia siapa? pacar kamu?" tanya seorang nenek yang sedang duduk nyaman di sofa duduk di samping pak Karan.
"Pacar? bukan, Oma..." pak Karan langsung menggeleng.
Dia menyentuh dagunya sebelum melanjutkan ucapannya, "Dia karyawan Asa di kantor,"
"Oh, karyawan? tapi ada di rumah bos tempat dia bekerja?" tanya nenek tua itu sambil menelisik penampilanku.
"Oma belum pernah lihat ada karyawan yang berani menginjakkan kaki di rumah ini," sindir nenek itu.
"Pantes pak Karan judes, jutek, galak. Orang neneknya juga nggak jauh beda sama cucu nya..." aku ngomong dalam hati merasa tidak nyaman dengan tatapan nenek yang kini menutup kipas lipat yang ada di tangannya.
"Itu karena, ehm..." pak Karan tergagap. Baru kali ini aku melihatnya nggak bisa berkutik di depan seseorang.
"Auranya jelek!" ucap nenek itu.
"Jangan dekat dengan wanita ini, Asa! atau kamu akan kecipratan sialnya," nenek itu memperingati cucu nya.
Aku tersenyum getir mendengar apa yang disampaikan nenek dari si Bos. Kata-katanya benar-benar sangat menusuk ke rongga-rongga hati yang terdalam.
Ting tong...
Dan suara bel mencegah pak Karan yang sudah membuka mulutnya, ingin bicara.
"Saya buka pintunya dulu, Tuan..." mbok Sri melepaskan tanganku dan berjalan ke arah pintu.
Dan munculah sosok yang akan menjadi penolongku dalam situasi menegangkan ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 361 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
mungkin ini maksudnya karna Reva udah pakai cincin itu jadi dia harus mau di gangguin slalu
2023-11-09
0
Aqiyu
ya auranya jelek karena Reva pakai cincin demit
2022-10-01
0
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
nggragas itu apa kak?
2022-02-25
0