Entahlah...

Idul dalam kebingungan, ia coba lagi mengirim pesan pada kakak tertuanya, karna kakak Triana terus mendesaknya.

Ni...tolong angkat telfonnya, atau aku ketempat Uni besok. Begitu bunyi pesan yang Idil kirim.

Tak ada jawaban, Idil berbaring dengan perasaan yang bercamuk, hatinya sungguh kacau. Dalam kekalutan iapun terlelap tanpa ingat berdoa terlebih dahulu.

" Jangan terlalu berambisi mengotori darahku demi membela orang lain idul. Bagaimanapun juga kau merasa dekat dengan orang asing, darah tetap lebih kental dari air. Jangan membuat dirimu sesal belakangan seperti ayah. Ayah tiada lebih dari lelaki yang sudah gagal mengambil tanggung jawab nak. Jangan sampai dirimupun sama. Kenali dan perhatikan baik- baik lingkunganmu. " Ucap sang Ayah nampak kurus, namun ia terlihat berpakaian bagus.

Ketika Idil menatap kagum pada pakaian

bersih yang dipakai ayahnya. Sang ayah kembali berucap. " Putriku marah padaku karna kelemahanku yang tak dapat melawan perintah seorang wanita,

lalai tanggung jawab karna tanggungan yang lainnya, aku menyesal melakukannya, tapi Semarah apapun putriku, hanya ia yang bisa berikan pakaian bagus padaku. Semarah apapun ia, ia tetap mendoakan kebaikanku, bibir putriku boleh mengucapkan benci, tapi hanya ia yang benar- benar menyayangiku. Setelah aku dialam sini, ternyata hanya ia yang mengingatku setiap waktu, kau saja yang bertanggung jawab sebagai anak lelaki, hanya bisa membuatku menangis. " Ucap sang Ayah yang membuat Idil tercekat.

Ketika ia berusaha keras untuk bicara dan membuat alasan, tiba- tiba ia tersentak. " Astaga.. ternyata aku hanya bermimpi, dalam mimpiku aku melihat ayah, ia berpakaian bagus, ia membanggakan pakaiannya yang katanya dari Uni. Aku tak mengerti makna katanya, tapi sampai saat ini dadaku rasanya masih berdebar. " Idil memegang dadanya yang benar ternyata masih menyisakan debarannya.

Pukul 04 : 45 ternyata. Telfonnya berdering. Kali ini kakak tuanya yang bicara.

" I...Iya ni...akhirnya uni mau bicara denganku." Ucapnya setelah menyambungkan telfon.

" Kau bela- belain sibuk menelfon dan mengirimiku pesan, hanya untuk mengacaukan hatiku. Apa kau kira aku akan kacau karna kau dan kakakmu itu.

Tidak dil! Aku takkan terpengaruh dengan kalian. " Terdengar nada sinis dari seberang telfon.

" Uni...besok aku ingin datang ketempatmu untuk bicara, kumohon uni mau menerimaku, aku datang hendak berbincang sedikit. " Ucap Idil.

" Tak perlu datang padaku disaat seperti ini, aku tak merasa perlu berjumpa denganmu, tak ada gunanya bagiku bicara dengan kalian, itu hanya untuk mengingatkanku kalau aku tak punya saudara kandung. Aku hanyalah punya saudara yang telah merebut ayahku dari ku, sekarang berniat pula mengacaukan hidupku, tak usah sekalian aku punya saudara. Aku tak butuh kalau yang hanya bermaksud merusak hidupku. " Suara dari sebrang penuh kuasa dan dan nadanya manakutkan, membuat hati Aidil

ciut.

Aidil terdiam menarik nafas. Lalu mencoba bicara lagi. " Apa uni tak mau menganggapmu adikmu lagi? tanyanya dalam kepatah hatian.

" Tak perlu bagiku, silahkan buat apa yang kalian suka, yang penting jangan datangi aku disituasi begini dengan niat yang ada dibenakmu dan Triyana. Aku tak butuh profikasi kalian, kalian dan ibu kalian tak pernah membuatku tenang dari dulu. Sekarang jangan urus diriku, tak begitu penting bagiku berurusan dengan kalian. Itu hanya membangkitkan luka lamaku. Mulai hari ini jangan pernah

menghubungiku lagi, jika hatimu masih berniat begitu." - Kata Nahda.

" Tega kau memutuskan hubungan kita uni?

" Lebih tega mana diantara kita? apa yang kalian inginkan dihati? ingat dan pertanyakan sendiri? jangan bertanya lagi padaku. Faham!

Tet..tet...Ketika Idil ingin bicara lagi, telfon sudah ditutup.

Air matanya kembali mengalir. Benar kata uninya kalau ia akan menemuinya hanya untuk memintanya bercerai dengan suaminya, kalau Idil fikir- fikir, memang itu bukan lahannya, tak peduli seberapa besar salah sang kakak tertua dalam hal hubungannya dengan pernikahannya.

Tapi mereka sudahlah menikah, hanya mereka yang berhak untuk memutuskan maju mundur pernikahan mereka, orang lain yang berniat memprovokasi, tetaplah

tidak pantas. Idil memilih diam, apalagi ketika ia mencoba menyambungkan telfon, tak dapat tersambung lagi.

" Aku hanyalah adik kecil, bahkan aku belum tahu gimana rasanya menjalani

pernikahan, wajar uniku bisa memblokir

ucapanku, memang aku belum pantas menggurui kakak sendiri. Seberapapun aku merasa sudah mampu, aku hanyalah adik yang paling kecil yang belum tahu bagaimana manis asamnya cinta dan pernikahan, untuk itu, mulai sekarang, aku lebih baik diam saja, toh diriku belum tentu, jalanku masih jauh, aku belum tahu apa- apa dan bagaimana, atau untuk apa kakakku menjalani pernikahan rumitnya.

Maka kalau ia memintaku diam, sebagai adik kecil aku seharusnya tahu diri." Ucap Idil bicara pada dirinya sendiri.

\*\*\*\*\*\*\*

Siang harinya ketika kakak tengahnya mendesak lagi. Idil hanya berkata." Gara - gara mengikuti kakak yang satu kakak yang lain melepaskan hubungannya denganku, Entahlah..kalian hanya membuatku bagai kerbau sabangan saja( kerbau Aduan ). Sudahlah jangan menyuruh - nyuruhku lagi, aku tak mau lagi. Nanti malam kudatangi rumah Abang ipar, biar kutanya hatinya langsung, apapun keputusannya , itu hanya tergantung dia, aku tak boleh ikut campur urusan intern orang, sebagai saudara kita hanya punya boleh memberi saran, sedang keputusan tetap ditangan orang yang punya badan, tak ada hak aku

atau dirimu memaksa orang lain untuk membuat keputusan. Sebesar apa kau punya mau, tetap orang yang punya badan lebih tahu dengan hatinya.

" Kau Dil? Kok jadi lemes gitu? " sanggah Tria dari sebrang telfon.

" Ngak ada, aku sadar saja kalau kita adalah adik, sedang mereka orang yang telah duluan makan garam dari kita, maka tak pantas kita berani mendikte kehidupan mereka! " Ucap Idil terdengar mantap.

" Tapi jadikan kau kesana nanti malam?

Kasihan ni Tina kalau kita mengabaikan pengaduannya, bagaimanapun kau mulai gentar dengan kakak tuamu itu, datang jugalah kerumah ipar nanti, untuk menenangkan hati Uni Tina, paling tidak kau perlihatkan kalau kau bukan lelaki yang memihak." pinta Tria tak mau menyerah.

" Baiklah...Nanti aku datang, tapi apapun finalnya, tetap bergantung pada Abang ipar, aku datang hanya untuk bertanya saja, kalah uni Tina masih mengancam

Abang ipar, itu urusan mereka, kalau kak Tria masih mau jadi kompor, itu terserah mu juga, mau jadi pendosa sepanjang masa, yang menanggung kan kakak juga.

Orang hanya bisa memberi nasehat, dengar tidak urusan yang punya badan! " Ujar Idil lalu memutus sambungan telfon.

" Ini anak kayak sudah terkena sihir aja, loyo dan tak dapat diandalkan, malah berani pula menyentil awak, apa pula yang dikatakan kakak tertua sampai ia keyok begitu? Atau Nahda mengancamya? Pandai betul ia menjatuhkan mental sikecil. " Gerutu Tria tau Telfonnya sengaja diputus.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!