Disatu sisi Tina sudah cukup merasa tenang. Ia punya keinginan kembali memperbaiki keadaan dirumahnya. Mendekap anak- anak penuh kasih. Dan menyayangi suami sebaik mungkin seperti tak pernah ada masalah dalam rumah tangga mereka selama ini, teringat dengan apa yang disampaikan
oleh Aulia sahabatnya.
Ketika Tina habis mencuci, ia berbaring telentang ditempat tidur sembari menatap langit- langit kamar. Dering telfonnya menyintakkannya. Ia memeriksa telfon , lalu menyambungkan panggilan.
" Hallo ada apa Ri? " tanyanya begitu mengangkat telfon.
" Ngak ada, cuman kangen Aja. Rasa ada yang ketinggalan, gitu lho. " jawab seseorang diujung telfon.
" Ah...Jangan merayu begitu, ngak etis kali, aku perempuan beranak Empat dan punya suami, ngak pantas dirayu begitu! " Ujar Tina mencoba tegas, tapi disudut bibirnya tercipta senyuman tipis.
" Ini bukan rayuan Tina...Aku linglung sampai disini, rasa ada yang hilang. Maaf
aku tak tahan tidak menyampaikan ini, tapi jangan dimasukin kehati ya! Ini biar kusendiri yang merasakannya. Salah sendiri, salah tempat jatuh hati! " ucap pria disebrang terdengar galau.
" Ini orang aneh kali.Katanya biar dia sendiri yang menanggung, tapi menelfon untuk memproklamirkan perasannya. Ngak benar nih Heri. Malas menanggapi orang begini." Batin Tina menimbang.
Ia kemudian terdiam, tak peduli orang disebrang berkali- kali memanggil namanya. Lalu Tina memutus sambungan. Sadar telfonnya diputus, lelaki yang dipanggil Heri itu dengan kesal melempar tubuhnya kekasur. Mengulang membuat panggilan begerapa kali , tapi tak dijawab lagi.
" Baiklah...inikan baru tahap awal. Setan tak mudah putus asa. " Gumam pria itu.
Ia lalu tersenyum sendiri.
Beberapa hari berikutnya suasana dirumah kembali normal. Tina juga sudah hampir melupakan kemarahannya, karna suaminya semakin memperlihatkan sisi romantisnya.
Sore hari Triayana menelfon ke nomor Tina. Tinapun menjawab telfon Tria.
" Uni...Aku sudah meminta adik kami untuk menemui Uni itu. Kami juga akan melakukan teror lewat telfon, pokoknya uni tenang saja. Kalau tidak berhasil, kita akan menggunakan trik lain. Nanti Biar Idil yang datang kerumah kalian. Pokoknya uni tinggal memberikan persetujuan. Kita akan mengencam Abang lebih keras lagi. " Tria bicara penuh semangat, memprofokasi jiwa Tina yang masih belum stabil. Tak urung ia kemarahannya kembali bangkit.
" Baiklah...aku tunggu kedatangan kalian, apapun yang kalian sarankan, pasti akan uni turuti. " Ucapnya kembali bergejolak.
" Benarkah? Apa uni mau melakukan sedikit sandiwara juga? " tanya Triana dari seberang.
" Ya... Apapun asal itu bisa membuat mereka berpisah, uni pasti akan lakukan. Yang penting pastikan kalian mendukung uni, biar uni tidak merasa tak bersaudara dikampung kalian ini. " Kata Tina.
" Tenanglah...kami jauh lebih menyayangimu ketimbang kakak tiri kami itu. Ia tak ada artinya bagi kami." Ujar Triyana.
" Baiklah kalau begitu, uni tunggu kejutan dari kalian! " Tina bersemangat lagi dengan kemarahan dan dendamnya.
Sementara Idil mulai menelfon kakak tirinya, atas permintaan sang kakak Triananya. Sebenarnya ia agak ragu harus bicara apa. Segan juga pada kakaknya, karna bagaimanapun juga, Ayahnya adalah ayah dari perempuan yang akan dia lawan. Bagaimanapun ia merasa kuat, darahnya tetaplah lebih dari
darah Nahda kakaknya. Ibunya juga orang yang dulu pernah merebut kasih sayang ayahnya dari Nahda. Mengganggu pernikahannya, itu bisabangkitkan luka lama kakaknya.
Dengan perasaan dag Dig dung akhirnya Idul menyentuh kontak kakak tertuanya itu.
Sepuluh kali panggilan tak terjawab. Idil makin terasa ragu. Telfon kesebelas terjawab. Dengan bergetar Idil mengucap salam. Terdengar ucapan salam dari suara kecil diseberang.
Suara seorang anak laki- laki yang masih kecil.
" Mana umak? Paman mau bicara? tolong berikan telfonnya.
" Umakku sedang shalat, ia tak mau bicara dengan paman. Kami tak suka diganggu! jangan ganggu umak kami, kami bosan dengan kalian, dari kecil kalian hanya menyakiti ibuku. " Celoteh pria kecil itu, dari ucapannya, tak ada sedikitpun menggunakan anak itu masih
delapan tahun. Hati Idil kembali bergetar,
dugaannya tidak meleset, ia akan menciptakan air comberan kemuka sendiri dengan melawan kakaknya ini.
Ini anaknya yang masih kecil saja sudah bicara begitu, lalu bagaimana dengan Ibunya yang jelas adalah senior Meraka?
Idil menarik nafas panjang. " Kasihkan saja lah telfonnya siap umak shalat nanti.
Paman mau dengar suara umak,paman bukan mau mengganggu, hanya untuk bicara saja. " Idil mencoba membujuk ponakannya.
Tet...Telfon diputus. Berkali ia menelfon tak ada lagi jawaban. Ia lalu mengirim pesan. Jawabannya cukuplah menyakitkan.
Aku tak mau bicara denganmu kalau hanya masalah itu. Aku tak mau kau ikut campur urusanku, dari kecil kalian sudah merebut ayahku dariku, sekarang apa pula yang mau kalian lakukan, jangan hubungi aku. Bagiku kalian tak lebih dari duri didalam daging!
Deg...Apa yang Idil takutkan memang benar. Kakaknya sudah bisa menebak semua rencananya dengan Triana, ia bahkan mengingatkannya tentang lukanya karna ayahnya. Ayah yang sudah didalam kubur, tiba- tiba diungkit lagi karna masalah ini. Tanpa terasa airmata Idil menetes.
Kakaknya Nahda memang sensitif, ia juga masih menyimpan dendam atas ayahnya yang dulu pernah terpaksa ia lupakan, karna perbuatan ibu mereka yang menahan ayah untuk menemui putri tuanya itu, sepulang dari jualan cabe dari kota P, padahal mereka telah berjanji untuk bertemu. Ayah yang Susi ( Suami takut Istri ) tak jadi menemui putri yang sudah berjanji akan memberikan uang sekolah terakhirnya di SMP.
Sejak hari itu kakaknya marah, menurut cerita Bou ( Saudari perempuan Ayah)
Sejak itu kakaknya bersumpah tak lagi menurut sang Ayah kerumah mereka.
Bahkan ketika Tiga tahun kemudian Ayahnya Depresi, Kakak perempuan mereka tak pernah muncul lagi. Airmatanya pagi Senin itu seakan menghanyutkan kasihnya pada sang Ayah. Keluarga mereka hancur berantakan, Ayah dan ibunya bercerai karna ayah sakit. Ibu menikah lagi. Sumpah sang kakak benar- benar berlaku, ternyata tak hanya orangtua saja yang boleh bersumpah, Anak yang diabaikan juga berlaku sumpahnya.
Sampai akhir hayatnya pun Ayah dalam derita. Pulang pergi dari rumah saudara yang satu kesaudara yang lain. Untung saudaranya banyak. Idil masih terlalu kecil ketika itu. Lima tahun ayahnya sakit, kakak tak juga melihatnya, baru sebulan menjelang kematian ayah, kakak menemui Ayah dirumah bou tengah. Ia masih menangis kala itu, sampai ayah meninggal, kakak ikut memandikannya, ia tak berkata sepatah pun, hanya airmatanya tak pernah berhenti. Lukanya ia simpan didalam dada. Melalui pesan barukan kembali terkuak." Ternyata ia belum memaafkan kami, walau sudah kami coba berbaik dengannya, seakan lukanya tak mudah disembuhkan, sekarang kami datang melawannya, tentu ia tiada akan menerima, ia bukan Nahda kecil yang mudah dibohongi. Ia perempuan tangguh yang menyimpan banyak misteri kehidupan didadanya sendiri. Entah maksud apa ia bersedia menikah dengan Abang. Tiba- tiba Idil semakin takut.
Tria kembali menelfon untuk mendesaknya. Idil makin merasa bingung diantara dua kakak yang satu seayah seibu, yang tua putri pertama Ayahnya.
Bersambung
Jangan pernah menyiakan anak, karna anak adalah tanggung jawab kita. Bagaimanapun hancurnya pernikahanmu, Mentan anak tak pernah ada. Luka anak yang sia- sia adalah siksa bagi orang tua.
Ayah yang sudah merasakannya, sampai ia disembunyikan dibawah tanah pisang krotok, tak pernah lagi ia bahagia, setelah
mengabaikan Nahdanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments