Tina memandang wajahnya dicermin. Ia tak habis fikir, mengapa suaminya sampai tergila - gila dengan perempuan yang lebih tua dari Tina. Benar
wanita itu cantik, tapi ia tak kalah dengan Nahda. Tina juga lebih muda dari Nahda. " Astaga...aku menyebutkan nama itu dihatiku, padahal aku sangat membencinya. " kata batin Tina.
Beberapa detik fikirannya melayang. Teringat pada malam - malam suaminya selama Enam bulan terakhir ini.
" Kenapa kau belum juga tidur bang? apa yang kau fikirkan. Selalu itu yang Tina tanya pada Arkam
ketika melihat suaminya masih gelisah menatap langit-langit kamar.
" Entahlah...Aku merasakan diriku jauh.. hatiku tidak disini, aku kembali pada masa dimana aku begitu merindukan sesuatu. Sepertinya aku merasa jiwa mudaku datang lagi. " kata suaminya jujur. Tapi ia kurang mengerti dengan maksud suaminya.
Kemudian Tina tertidur disisinya. Tak peduli suaminya yang kian resah. Tina hanya terbangun kala terganggu dengan igauan saat tidurnya.
" Terimalah telfon Abang dik...Mengapa susah sekali sekedar menjawab telefon. Segitu tiada berarti kah Abang bagimu? sampai telfon saja tak diangkat. Angkat! angkat! ,angkatlah!...Igauan itu begitu kuat, sampai tidur Tina yang lelap terbangun
karnanya.
" Siapa yang tak mau mengangkat telfonmu? " tanya Tina sambil memfokuskan netranya, saat matanya terbuka mendengar teriakan suami dalam tidurnya.
" Adik...ia begitu susah untuk dihubungi. " katanya menjawab pertanyaan Tina, masih dalam keadaan mata terpejam.
Tina mengerutkan dahinya. Siapa dia yang sudah mengabaikan telfonnya, sampai tidurpun jadi buah mimpi. " tanya batin Tina.
Rasa lelah dan ngantuk akhirnya buat Tina tertidur lagi. Semua kegelisahan suami akhirnyal lolos lagi dari perhatiannya. Lagi dan lagi ia tertidur pulas, sedang suami makin larut dalam igauannya. Hingga setelah semua terbongkar, barulah Tina paham, adik yang dimaksud bukan dirinya, melainkan Nahda yang ia rindukan.
Dendam Tina kian membara. Dalam hati ia bertekad, untuk memberikan pelajaran pada Nahda. Apapun alasan Arkam menikahinya, baginya itu hanya sebuah alasan, ia tak bisa menerima segala alasannya. Ia tak Sudi berbagi Cinta dengan siapapun, apalagi dengan kerabat suaminya yang itu, janda yang selama ini selalu Tina cuekkan tiap bertemu dengannya. Berbeda dengan kerabatnya yang lain, Tina masih bisa bersikap hangat. Tapi pada perempuan ini, ia sudah ilfil sejak dulu dikenalkan oleh mertuanya saat Almarhumah mertuanya masih hidup.
" Ternyata ini alasannya mengapa aku kurang streg dengan iparnya yang ini. Nyatanya itu pertanda dari Tuhan bahwa wanita ini bakalan merebut Arkam dariku."
" Aku jauh lebih menarik darimu, aku juga lebih muda darimu, apa istimewanya kau hingga suamiku menggilaimu? Pasti kau sudah memberikan sesuatu pada suamiku. " Batin Tina masih saja berprasangka buruk pada Nahda.
Tiba- tiba sepasang tangan besar sudah melingkar ditubuh Tina. Hembusan nafas mint terasa hangat menyentuh tengkuknya.
" Kapan Abang pulang kerja? tanya Tina gugup, saat menatap wajah manis didepan cermin yang memeluk tubuhnya dari belakang.
" Sudah dari tadi, tapi aku diam saja, memperhatikan istriku yang asyik berkaca sambil bermenung. Sudahlah..jangan terus bermenung dan banyak memikirkan orang, sibuk bergunjing dengan diri sendiri. Jagalah dirimu, urus kecantikan dan kesehatan kita. " kata Arkam Nicole
suami Tina.
" Abang enak ngomongnya, Abang pelaku takkan merasakan sakitnya, aku yang jadi korban yang sakit. Aku tak kuat kalau Abang terus mempertahankannya. Aku tak mau dimadu! " kata Tina lagi. Kehangatan yang tadi dibangkitkan oleh aura suaminya, sekarang berubah kesuraman, setelah membahas kembali tentang madunya. Gairah yang baru bergejolak seakan tersiram air es satu Ember.
Melihat suaminya tanpa reaksi setiap ia mengatakan keinginan hatinya dan penolakannya
akan poligami yang sudah dibuat Arkam padanya,
kemarahan wanita itu bergejolak lagi.
" Kenapa susah sekali kau melepaskannya, tidakkah kau lihat dan kasihan pada anak kita yang
setiap hari harus menyaksikan ibunya menangis?,
Apa mata dan hatimu sudah dibutakan oleh Nahdamu itu, sampai anakmu saja tak kau pandang." Kata Tina mencoba sedikit lebih lunak dari biasanya, berharap ia bisa menggenggam kembali hati nurani suaminya.
" Makanya jangan menangis tiap hari, apa yang perlu ditangiskan juga oleh ibunya?. Ayahnya disini setiap hari, ia tidak pergi kemanapun. Soal ibunya yang lain, kalau ibunya yang ini bisa menerima, anak- anak takkan masalah, sebab dia ibu mereka juga.
" Sesimpel itu kau berfikir, aku yang menderita. Kau hanya pelaku yang kejam, aku korban yang teraniaya." kata Tina kembali menitikkan airmatanya.
" Kan menangis lagi. Janganlah membuatnya berlebihan Tina. Bahkan semalampun tak pernah genap aku jauh darimu. Kalau dikatakan soal berbagi, ia tak ada mengambil bagiannya barang semalam saja darimu. Abang selalu bersamamu setiap waktu, ia tak pernah datang, ia juga tak banyak menuntut, ia melakukan pekerjaannya
dan menyibukkan diri dengan urusannya, bahkan menelfon saja dia tak pernah, mengapa pula dirimu
merasa selalu dikorbankan, Sayang...
" Dia sudah istriku sekarang, ia iparku yang aku sayangi, ia tak menuntut apapun setelah aku menikahinya, walau belum ada anak, bagi Abang anaknya anak Abang juga, walau ia sudah berhak
atas Abang sama sepertimu, tapi ia tak menuntut haknya. Ia hanya diam, tidak pernah mengganggu kita. Mengapa juga tidak kau coba untuk melupakan perkara ini.
" Bagaimana aku melupakannya, setiap orang datang melihatku sakit, orang tak henti menanyakannya. " kata Tina membuat alasan kemarahannya yang terus tersulut.
Arkam memeluknya lagi. Maafkan Abang atas kekurangnyamanan ini, ini mungkin karna permasalahannya baru diketahui orang, makanya mereka penasaran. Bersabarlah sampai suasana ini dingin, orangpun akan melupakannya." kata Arkam seraya mengusap airmata Tina. Suaminya itu masih sama lembutnya, hanya tidur malamnya saja yang terganggu, bila ia tak dapat berjumpa barang sekejap dengan Nahda, itulah yang tidak Tina mau, ia tak terima ada secuilpun ruang dihati suaminya untuk nama lain selain namanya.
Memang diakui oleh Tina, wanita itu tak pernah mengganggunya secara fisik, tidak pernah menelfon, tidak minta berbagi malam seperti madu orang lain, dari cerita yang pernah Tina baca.
Tapi tetap saja Tina tak bisa menerima, karna ia telah merusak batinnya, mencuri hati suaminya.
Sekarang walau raganya hanya bersama Tina, tapi hatinya selalu merindukan Nahda.
" Tetap saja aku akan mebuat perhitungan denganmu wahai wanita tak tahu diri! " kata batinnya mengutuk dan mengancam madu yang tak diinginkan itu.
Hari itu juga, sehabis istirahat siang, suaminya balik kerja. Tina mulai melancarkan aksinya. Ia mulai meneror Nahda dengan telfon dan pesan.
Tapi ia pusing sendiri dengannya.
Perempuan itu tak mengangkat telfonnya, sekali
sajapun tidak. Bahkan puluhan tak digubris wanita itu. Tina makin kesal dibuatnya. Ketika Tina sudah mengirim ratusan pesan, hanya satu balasan wanita itu.
" Jangan tanyakan padaku, tanyakan saja pada Abang..
Hanya itu saja bunyi balasannya. Membuat Tina
makin kesal karnanya.
" Sedang suamiku saja sampai mengigau karna telfonnya tak digubris, apalagi aku yang jelas musuhnya, tentu ia akan lebih tak peduli. " kata batin Tina.
" Tenanglah Tina , kalau kakimu benar- benar pulih, aku akan mengantarmu dan membantumu menyerang Nahda. " kata kakak iparnya, membuat hati Tina sedikit terobati.
" Baiklah uni, aku akan bersiap- siap untuk itu. " katanya mantap.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments