“Hoeeek… Hoeeekk!”
Luna sudah tidak tahan lagi, dia lantas mengeluarkan isi perutnya setelah sampai kamar dan tak lagi memperdulikan pintu bahkan kehadiran kekasihnya. Keduanya telah pulang dari makan malam yang sengaja mereka lewatkan bersama dengan rekan kantor seperti biasanya. Sayangnya, perut Luna tidak lagi bisa menahan rasa mual selepas makan malam mereka.
Dira tidak lagi terkejut atau bingung, dengan cepat dia mendekati Luna dan mengusap lembut punggung wanitanya.
Luna berbalik dengan wajah sayu juga rasa gelisah yang mendera dirinya. “M-mas… Aku—”
“Perutnya sakit ya? Aku bikinin teh anget dulu ya… Masih ada kan teh nya?” Dira berkata lembut dengan terus mengusap punggung tubuh Luna.
Luna mengangguk dengan perasaan yang berkecamuk hebat. Tidak ada kata lain yang memojokkan dari mulut Dira, justru sebaliknya. Adira tengah begitu peduli padanya. Wanita itu kembali mengeluarkan seluruh isi perutnya.
“Hoooeeek!”
Dengan cepat Dira menyiapkan apa yang dibutuhkan kekasihnya, dia bahkan sudah mengambil handuk. Dira kembali ke kamar mandi dan menopang tubuh Luna, pria itu dengan tulus membantu membersihkan muntahan yang keluar dari perut kekasihnya.
“Mas… Tunggu di luar saja, biar aku yang—”
“Ssssttt!” Dira menaruh jari telunjuk di bibir kekasihnya yang pucat. “Ayo kamu cuci muka, gosok gigi, dan basuh kaki juga tangan ya… Gak usah mandi, nanti malah tambah masuk angin!”
Luna benar-benar terpaku akan sikap Dira yang memang sudah pernah dirasakannya saat dia mengandung dahulu. Dira memang tidak pernah cacat menjadi pria yang bertanggung jawab dan peduli padanya. Apalagi setiap kali Luna mengandung buah hati mereka, Dira akan menjadi suami yang siap siaga bagi istri dan juga ayah yang selalu menjaga buah hatinya.
“Jangan pulang!” Seketika Luna memeluk erat kekasihnya. Dia benar-benar tidak ingin lagi terpisah barang sedetik saja.
“Iya, aku akan disini menemanimu… Tapi– kalau penjaga tahu aku bermalam disini?”
“Ya–paling di suruh nikah!”
“Oke, siap!”
Bukannya takut, Dira justru terlihat semakin bersemangat. Luna terkekeh dan segera membersihkan dirinya.
Dengan telaten Dira memanjakan Luna, pria itu membalur perut yang sedikit menonjol dengan kayu putih. Dira terus menatap ke arah perut kekasihnya lekat, Luna menyadarinya. Hanya saja, dia sendiri teramat lelah membohongi prianya. Dira beranjak memijat kaki Luna yang memang terasa lelah. Luna menatap lekat prianya berkaca-kaca. “Aku mencintaimu… Sangat mencintaimu–”
Dira mendongak, dia melengkungkan senyuman paling tampan yang sering dilihat Luna selama ini. “Sampai kapan kamu terus seperti ini?”
Luna terus menjatuhkan air matanya. “Aku akan menemanimu bermain, jika kamu sudah menyerah, here I am…”
Luna semakin terisak pilu, seolah mengerti apa yang tengah disampaikan kekasihnya. “Sayang…”
Dira mendekat dan merengkuh tubuh ringkih kekasihnya. “Kita periksakan ya… Aku tidak akan memaafkan jika ada hal yang serius terjadi denganmu dan bayi kita!”
Duaaarrr!
Luna semakin deras mengeluarkan luapan emosi juga air matanya. Dira juga tidak ingin lagi menutupinya. Jika saja Luna tetap keras kepala, dia tetap akan sabar menemani kekasihnya bermain sampai dia bosan.
“Dengar Luna, aku katakan sekali lagi… Jika kamu terus mengelak, aku tetap akan menemanimu bermain dengan yang kamu yakini! Tapi, ingat… Aku tidak akan mengampuni saat sesuatu mungkin terjadi padamu atau pada kehamilan buah hati kita…” Dira mengusap lembut perut Luna. “Kalian hidupku mulai sekarang dan seterusnya!”
Luna tidak bisa lagi mengelak rasanya, dia hanya ingin menangis sejenak, mengeluarkan emosi yang selama ini terus menggerogoti dirinya. ‘Padahal, aku bisa tahu dengan jelas sifat suamiku ini… Heh, ternyata– manusia itu makhluk paling serakah… Seribu kebaikan seseorang memang akan hilang hanya karena satu kesalahannya.’ Luna memeluk erat Dira dengan masih meraung menggetarkan tubuhnya. ‘Maafkan aku Mas, aku hampir saja buta… Seribu kebaikanmu terabaikan hanya karena satu kesalahanmu… Maafkan aku…’
“Sayang…”
Dira melonggarkan pelukan Luna dan menyeka air mata kekasihnya perlahan. “Aku mencintamu Luna… Jika kamu tanya alasanku atau seberapa banyak cintaku padamu–” Dira menghentikan sejenak pembicaraannya. “Kamu bisa melihat buih di lautan? Mungkin cintaku padamu bisa sebanyak itu…”
Luna kembali memeluk erat kekasihnya. “Maafkan keegoisanku selama ini! Huhu…”
Dira balas memeluk erat Luna. “Aku juga– aku minta maaf, aku sudah membuatmu seperti ini… Ini salahku…”
“So–” Dira menatap nanar dan berharap pada jawaban Luna akan pernikahan mereka.
“Mas– aku menolak bukan karena aku tidak mencintaimu atau tidak menginginkanmu menjadi suamiku.” Luna menggenggam tangan Dira dan menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. “Wanita hamil tidak sah dinikahi…”
Deg!
Dira mendongak dan menghela nafas berat, kini giliran dirinya yang menjatuhkan air matanya. “Oh, I’m so stupid! Huhu…”
Malam ini Luna dan Dira banyak belajar, bahwasanya menikah tidak hanya masalah keuangan apalagi hajatan. Melainkan, ada kesiapan mental dari kedua pihak, ada ilmu agama yang harus mereka pelajari terlebih dahulu, juga ada keterbukaan satu sama lain dalam hal saling menghargai pendapat masing-masing.
—
Keesokan harinya...
Dira tengah gelisah menunggu Luna bersiap, dia sudah menerima beberapa pesan masuk dari anggota keluarga besar yang tak lain kakaknya. Dira kembali memasukkan ponsel dalam saku celana dan menyambut kekasihnya dengan senyuman.
“Yuk, Sayang!” Luna mencium pipi Dira lekat. “Sarapan di luar ya, aku bosan!”
“Iya, Sayang!”
Keduanya keluar kamar dengan perasaan yang lega, semalaman Luna mengungkapkan keinginannya atas hubungan mereka. Sayangnya, dari mereka sendiri sampai detik ini, tidak ada yang membahas perihal keluarga besar masing-masing. Bagi Dira, dia takut Luna tersinggung, bagi Luna jelas saja itu tak mungkin.
Di kantor, Luna begitu terkejut saat dirinya diminta ke Negara S sebagai perwakilan EPS dalam menemui pihak HiTech.
“Eh, Luna… Kamu udah punya paspor kan?” tanya bu Lidya baru menyadari satu hal penting.
Luna tercekat sejenak, sebenarnya dia punya lengkap dengan visa. Hanya saja–
“Ada, Bu!”
“Oh baguslah, ini emergency… Kamu harus bisa melobi Mr. Ong, oke?!” Bu Lidya menandatangani surat jalan juga beberapa dokumen lain yang dibutuhkan Luna untuk perjalanan bisnisnya.
‘Ke Negara S, ya?’ Luna menatap tiket ferry di tangannya.
“Kenapa? Baru liat tiket Ferry ke Negara tetangga ya?” Sandra mencibir atas tingkah Luna saat ini. Luna hanya membalas dengan menaikkan sudut bibirnya. Tak lama dia merogoh saku blazernya dan menghubungi seseorang via chat.
[ Queen_Luna : Sayang, aku di suruh meeting ke Negara S sekarang… Mendadak pula! ]
Tring…
[ Dira_R : Oh ya? Kok bisa dadakan? ]
[ Queen_Luna : Biasa, part ku problem… Aku berangkat langsung sama supir kantor ke pelabuhan… Jangan lupa makan siang ya! ]
Dira menatap nanar balasan dari kekasihnya, satu sisi dia seolah tengah diberi jalan keluar oleh Tuhan. Tetapi, sisi lain Dira tidak ingin terpisah dari kekasihnya.
Tring…
[ Dira_R : Ya udah, gimana lagi… Oh iya, aku juga mau bilang… Barusan keluargaku hubungi… Aku juga pulang sore ini. Paling aku cuti tiga hari… Kamu gak apa-apa kan aku tinggal? ]
Giliran Luna yang menatap ponsel jadulnya, dia menelan ludah dengan memalingkan wajahnya.
“Kenapa?” Pertanyaan Sandra membuyarkan lamunannya, Luna segera menggeleng dan dia segera memasuk mobil inventaris kantor bersiap pergi ke pelabuhan internasional.
‘Mengapa bisa sekebetulan ini?’
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments