Setelah makanan terhidang Luna menyiapkan untuk kekasihnya kemudian– tiba-tiba saja Luna tidak lagi merasa berselera. Rasa lapar yang sebelumnya mendera dirinya, kini berubah menjadi rasa mual yang harus di tahan Luna. Dia menatap kekasihnya yang masih memperhatikannya. “Selamat makan, Mas!”
Dira menyeringai kemudian dia mulai menggerakkan peralatan makan. Tanpa diduga sebelumnya, Dira menyodorkan satu suapan di hadapan Luna, sontak saja gadis itu tidak percaya apa yang sedang dilakukan pria kutub utaranya.
“Kamu gak mau ya aku suapin?” keluh Dira merasa pegal tangannya.
Luna dengan ragu memasukan makanan ke dalam mulutnya. Tak lama senyuman terbit dari wajahnya yang tidak bisa terdeteksi apakah senang atau sedih.
“Enak?” tanya Dira menatap lekat kekasihnya.
“Hm!”
Luna hanya mampu mengangguk dan mengunyah perlahan kemudian menelannya. Rasanya dia ingin memuntahkannya kembali. ‘Oh Tuhaaan, cobaan apalagi yang belum aku cobain? Mau makan aja susah… Kalau makan mual, gak makan cacingan!’
Luna terpaksa memakan sebagian makanannya, dia berharap tidak mual saat ini juga. Tanpa disadari olehnya, Dira memperhatikan tingkah Luna yang benar-benar berbeda dari biasanya.
Di mata Dira, Luna adalah gadis yang selalu bersyukur dengan apa yang ada di depannya. Bagi Luna, makanan adalah sumber kebahagian. Baru kali ini, dia melihat Luna seolah tidak berselera setelah sebelumnya gadis itu antusias memilih apa yang ingin dimakannya.
Luna benar-benar tidak bisa lagi bertahan dengan kepura-puraannya. Dia bangkit segera dan berlalu menuju kamar mandi.
“Hoooeeekk!!”
Luna kembali memuntahkan makanan yang baru dimakannya. “Aaaiihh, shibaaal! Perutku sakiiit sekali!”
Dira terpaku sejenak, dia bangkit setelah selera makannya ikut lenyap dengan tingkah Luna yang semakin meyakinkannya. Gadis itu tidak baik-baik saja. “Luna…”
Luna membersihkan diri dan segera keluar sebelum kekasihnya curiga. Namun, dia terlambat, Dira sudah berdiri mematung di depan kamar mandi.
Deg!
“Mas! Bikin kaget aja!!” Luna merutuk menutupi keterkejutannya. “Mas mau ke toilet juga?” tanya Luna menyelidik ke arah kekasihnya yang masih terlihat membingungkan.
“Kamu muntah lagi ya?” Dira tidak menghiraukan pertanyaan sebelumnya, dia terlihat khawatir akan keadaan kekasihnya. “Kita ke dokter sekarang ya!”
Luna terpaku, wajahnya kembali terlihat pucat, dia harus berpikir cepat menyela semua kemauan kekasihnya. “Iya, aku muntah… Sepertinya maag ku kambuh, di tambah masuk angin ya– kita beli obat ke apotek aja, paling bentar dah mendingan!” Luna mencoba menjelaskan senatural mungkin agar kekasihnya tidak curiga. “Kita pulang aja ya? Aku cape…”
Dira menghela nafasnya sejenak. “Ya udah… Mau bungkus sesuatu?”
Luna menggeleng, tak lama Dira menuju kasir dan membayar makanan mereka yang masih bersisa banyak.
“Maaf…” Luna merasa tidak nyaman sekarang.
Dira melengkungkan senyuman setelah memasangkan helm pada kekasihnya. “Namanya lagi sakit ya begitu. Makanya– kamu tuh jaga dong kesehatannya… Jaga kesehatan sendiri aja susah, gimana mau jagain aku!”
“Lah?” Luna terbelalak dengan pernyataan kekasihnya yang panjang juga seolah menyimpan maksud tertentu. Dira tidak lagi mengatakan apapun, dia melajukan motor keluar dari pusat perbelanjaan dan kembali menuju kontrakan Luna.
Di dalam perjalanan pulang, seperti biasa– keduanya tidak terlalu saling berbincang, apalagi pikiran mereka saat ini tengah melayang bercabang kemana-mana.
Sebagai informasi tambahan, Luna menyewa kamar petak di salah satu lokasi paling strategis di kota B. Tempat yang disewa memiliki fasilitas yang cukup tergolong lengkap, di tengah lokasi yang memang menyediakan fasilitas umum yang memudahkan Luna dalam melengkapi kebutuhannya. Seperti, mini market, food court 24 jam, serta apotek yang juga 24 jam. Tak hanya itu, kawasan yang di bagian depan merupakan area pertokoan, tak heran berbagai macam lini bisnis ada disana, coffee shop, laundry, warnet, bahkan beberapa kantor cabang bank juga perusahaan umkm dan mikro ada disana.
Luna menyewa kamar di area townhouse, dengan fasilitas lengkap mirip seperti sebuah apartemen dengan harga rakyat jelata. Karena bersifat sama selayaknya apartemen, kawasan itu bebas dari pengawasan. Namun, terjamin atas keamanan baik secara privacy atau pun dari segi keamanan lingkungan lainnya.
“Mas?” Luna bertanya saat kekasihnya melipir ke salah satu pertokoan dengan plang besar menyatakan bangunan itu adalah toko obat.
“Katanya mau beli obat!” Dira menoleh dengan senyuman kemudian bangkit. “Kamu tunggu sini aja, oke? Aku gak lama kok…”
“Eh, tapi—”
Belum sempat menyela, Dira sudah melesat meninggalkan Luna. Dia bergegas masuk menuju apotek dan membeli beberapa obat yang dibutuhkan Luna.
Benar saja, tak perlu menunggu lama, Dira sudah terlihat keluar dan kembali menunjukkan senyuman tampan menggodanya.
‘Ah, siaaal… Perasaan dia senyum-senyum terus deh selama barengan hari ini? Bukannya dia tuh cuek dan gak peka banget ya?’ Luna membatin setelah membalas senyuman kekasihnya. Keduanya kembali melanjutkan perjalanan.
Hanya berselang dua menit, keduanya sudah berada di pelataran parkir kontrakan Luna. Dira kembali melepaskan helm Luna dengan lembut dan menggenggam tangan kekasihnya. Luna benar-benar seperti salah dimensi saat ini. Gadis itu tak banyak bertingkah seperti sebelum-sebelumnya. Dia tengah mencerna perubahan drastis dari kekasihnya.
Ceklek!
“Sayang, cuci kaki sama tangan dulu! Kita dari luar, kotor…” Dira berpesan pada Luna, pria itu sudah lebih dulu menuju kamar mandi membersihkan dirinya.
“Ck!” Luna berdecak sebal, dia sudah menjatuhkan tubuhnya di kasur.
“Sayaaang!” Dira memekik kesal saat kekasihnya tidak patuh pada nasehatnya. “Jorok banget sih!”
“Iya– iya… Bawel banget petugas KPPS!” Luna bangkit dan merutuki kekasihnya.
“Salah oi, aku tuh petugas jamkespac!” seru Dira mengada-ngada.
“Ih, apa itu? Baru denger?” Luna menatap Dira lekat, si pria mulai cengengesan.
“Petugas jaminan kesehatan pacar!” sahut Dira terkekeh dan merebahkan dirinya di ranjang setelah mengacak rambut Luna.
“Hissh!” Luna memukul angin kemudian berbalik badan dengan wajah yang memerah. Luna berniat mandi sekalian, dia sungguh bau rasanya. Mual yang mendera tubuhnya sungguh tidak tahu waktu.
Dua puluh menit kemudian Luna telah selesai dengan ritual kamar mandinya, dia keluar dengan mengenakan baju tidur tipis. Memang otak sengklek Luna ini tidak tahu aturan, tidak ingin di hina, tetapi terus menggoda.
“Dih, tidur dia!” Luna terkekeh melihat kekasihnya tepar di ranjang dengan tampilan yang menggoda.
Dira memang terbiasa menganggap kosan Luna juga adalah rumah keduanya. Dia seenaknya membuka pakaian, hanya menyisakan boxer menutupi bagian sensitifnya. Luna duduk disamping kekasihnya dan merenung sejenak. “Apa yang harus aku lakukan selanjutnya…”
Gadis itu menunduk menatap perutnya yang ya– memang terlihat membuncit. Dia pikir itu lemak membandel yang sulit dihempas karena pola makanan yang dipilihnya adalah gorengan dan karbo. Ternyata– ada bayi kecil yang ikut hadir disana. “Haiiish, aku baru mau tobat Ya Tuhan… Sekarang– di kepalaku malah terbersit melakukan dosa besar… Apa ini juga bagian dari mengubah takdir? Menjadi semakin brutal?”
Luna terus bergumam lirih, dia tidak peduli jika mungkin Dira berpotensi mengupingnya. Setidaknya Luna yakin, Dira tengah menyulam mimpi, dengkuran halus keluar dari bibir tipisnya yang menggoda.
“Sejak kapan aku jatuh cinta padamu, Adira Renald?” Luna menunduk mendekat dan mengusap wajah tampan kekasihnya. “Huh!”
“Lihat perbuatan bejat kita? Aluna Putri Renald–” Luna terdiam, dia menjatuhkan air matanya.
Aluna Putri Renald adalah nama anak sulung mereka, hasil dari hubungan terlarang sebelum mereka resmi menikah. Luna mengusap perlahan perutnya. “Maafkan, Ibu– Aluna…”
Aluna berasal dari nama kedua orang tuanya. A untuk Adira dan Luna untuk nama panggilan ibunya. Dira menyematkan Luna karena baginya, nama itu sangat spesial dan selalu menjadi nama kesayangannya.
Luna membaringkan tubuhnya yang lelah kemudian dia ikut terlelap, Luna berharap saat dia membuka mata semua kesialannya sudah menghilang dengan sendirinya.
* * *
Dddrrtt… Dddrrtt…
Bunyi ponsel tulalit Luna membuyarkan tidur siang kedua sejoli tanpa ikatan pernikahan itu. Luna berdecak kesal, dia bangkit dan mencari ponsel yang bunyi nada deringnya mengalahkan bunyi sirine pemadam kebakaran. “Harusnya gue silent!”
Luna menatap layar di ponsel tanpa berkedip bahkan tidak berniat menjawab panggilan tersebut. “Haiiish, aku mendadak tidak enak perasaan!”
“Hola…”
“Heh, Perempuan Jahanam!”
Luna menekan dadanya, teman lucknut-nya itu memang paling pandai mengatainya sesuka hati.
“Kamu jahat banget manggil aku pake sebutan itu!” rutuk Luna dibuat menyedihkan.
“Ah, shibaaal!” Sandra tidak peduli, dia kembali mengumpat dan memaki Luna. “Lu, gak kira-kira ya! Cuti pas kerjaan lu berantakan, anjg lu!!”
“Huhuhu…” Luna kembali membuat dirinya menangis tersedu. Hal yang paling dikuasai oleh Luna jelas berakting!
“Schedule pengiriman barang berantakan… Barangmu shortage… Simulasi pembelian barang kacau! Lu kesurupan apa gimana? Tumben kerjaan lu berantakan begini?” Sandra terus melayangkan protes atas kinerja buruk Luna.
‘Ya mana ku tahu! Aku aja gak inget gimana ngerjainnya, Ya Lord… Apalagi ini? Ternyata, minta dihidupkan dan memperbaiki nasib tak seindah iklan drama korea…’ Luna membatin nelangsa.
“Iiya, gue minta maaf, nanti gue perbaiki deh ya…” Luna menjawab lemas, tidak biasanya memang Luna melakukan kesalahan seperti sekarang.
Sandra mendadak terdiam, kemudian pertanyaannya membuyarkan lamunan Luna. “Lu putus ama Si Dira sampe stress begitu ya?”
“Eh?”
Luna terpaku, dia menatap kosong ke depan. ‘Putus? Kapan?’
“Ck, dah ngaku lu– pasti sekarang balikan lagi, ya kak? Cuti bareng-bareng, hati-hati noh… Gue liat Si Dira seneng bener mainin perasaan lu! Hari ini bilang putus, besok minta balikan, laki macam apa itu!!” Sandra terus mengomentari apa yang mungkin terjadi pada Luna di masa itu. Sayangnya, Luna sendiri tidak ingat!
“Ehm, ga tau deh… Dah ya, nanti gue benerin pas masuk!” Luna mengalihkan pembicaraan, dia tidak ingin membahas kekasihnya yang ternyata depan belakang lain lagi ceritanya.
“Hih, dah lah… Barusan Bu Lidya bilang, you besok masuk, lembur!”
“Hah?”
“Hah, hoh, hah, hoh! Seneng kan lu, bisa cuti terus besoknya malah lembur! Pajak woi!!”
Luna terkekeh sejenak, kemudian dia mengiyakan dan sambungan terputus begitu saja. Luna kembali menatap nanar ke luar jendela kamar. Tiba-tiba Dira datang memeluknya dari belakang.
“Telepon dari siapa, Yang?”
“Eh…”
Luna menoleh sejenak, Dira mengambil kesempatan mencium bibir Luna.
“Aarrghh!”
Luna melenguh saat tangan-tangan besar Dira kembali membuat tubuhnya menggelinjang merasakan tersengat arus listrik pendek sekarang. “Maaas, jangan!”
“Jangan sedikit maksudnya?” Dira menjawab memainkan emosi Luna seperti biasa.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments