Luna mendorong tubuh kekasihnya perlahan menandakan dia tidak ingin melakukannya. Dira menatap tajam perubahan signifikan kekasihnya. “Kenapa, Sayang? Kamu masih sakit?”
“Tidak…” Luna menjawab segera dengan nada suara yang terdengar menyimpan sejuta makna.
“Luna, entah mengapa– aku merasa hari ini kamu berubah… Tidak seperti Lunaku yang biasanya!”
Deg!
Luna mendongak menatap nanar wajah tampan kekasihnya. “Berubah?”
“Harusnya aku yang tanya!” Luna meninggikan intonasi suaranya. “Mas, kan yang berubah?”
Dira terdiam, dia tidak mengelak atau pun menjelaskan. Tak lama pria itu menggendong tubuh Luna tanpa basa-basi. “Maaas! Turuniiin~”
Dira perlahan mendudukkan Luna dalam pangkuannya. “Ya— aku berubah,” ucap Dira lembut menautkan rambut panjang indah Luna yang tergerai di cuping telinga kekasihnya. “Harusnya, kamu tahu– kenapa aku berubah seperti ini!”
“Aku gak tahu!” Dengan cepat Luna menyela, gadis itu benar-benar ingin membuat keributan saat ini. “Yang aku tahu, semalam kamu minta putus! Benar?”
Deg!
Dira menelan ludahnya dan mengalihkan pandangan sejenak. “Ya,”
“Heh! Terus saja seperti ini, Mas!” Luna berdecak menahan rasa sesak di dadanya. “Kamu merasa, hubungan kita ini hanya permainan gak sih?” Luna mulai berkaca-kaca menumpahkan beban di dalam benaknya selama ini. “Apa kamu tidak menyadarinya, Mas? Kamu tidak mencintaiku– kamu hanya bernafsu denganku!”
Dira tersentak dengan ucapan Luna yang terus terdengar memojokkan dirinya. “Kamu salah!”
“Kamu tidak bisa mengatakan aku tidak mencintaimu, atas dasar apa? Apa kamu bisa melihat hatiku? Bisa membacanya?”
Luna tercengang sejenak, kini dia membuang wajah merasa tatapan Dira benar-benar setajam silet rasanya.
“Aku mencintaimu Luna! Kamu pikir kita berhubungan seperti ini untuk main-main?” Dira menarik wajah Luna perlahan dan membingkai segera dengan mimik wajah seriusnya. “Aku justru tergila-gila padamu. Aku ingin menikahimu sekarang!”
Jantung Luna seolah berhenti berdetak kemudian tanpa aba-aba berdenyut semakin kencang dari sebelumnya. ‘Kenapa seperti ini?’
“Aku akan membawamu pada keluargaku dan kita akan menikah secepatnya!”
“Ti-dak…” lirih Luna menanggapi pernyataan kekasihnya yang terdengar menyeramkan di telinga Luna.
“Heh– See?” Dira terkekeh sinis mengejek gadisnya. “Sebenarnya, kamu kan yang tidak mencintaiku? Kamu juga menganggap hubungan kita hanya permainanmu saja!”
Luna merubah raut wajahnya merah padam dengan fitnah yang diucapkan Dira.
“Jika aku tidak mencintaimu, untuk apa aku menyerahkan segalanya padamu, hah?”
Dira menunduk, dia tahu– pertikaian ini tidak akan ada ujungnya. “Mau kamu apa?”
“Mau aku?” Luna menunjuk dirinya takjub. “Mau aku–” Tiba-tiba Luna seolah diberi kesempatan untuk memilih apa yang ingin dicobanya sekarang.
“Kecuali minta putus!” Dira menyela cepat sebelum kekasihnya berpikir yang bukan-bukan.
Luna membuka mulutnya lebar, tangannya menyentuh kening kekasihnya. “Mas, demam?”
“Iya…”
“Hah? Gak ah!”
Dira terkekeh saat Luna merespon dengan masih mencocokkan suhu kepalanya dengan tangan lembut kekasihnya. Dira menggenggam tangan Luna itu dan menciumnya. “Aku demam mencintaimu, Sayang!”
‘Aaaaarrrrghhh, sejak kapan Si Beruang Kutub ini berubah wujud jadi Buaya Buntung?!! Aaarrhh, dia sudah tidak tertolong, aku merinding jadinya!!’
Dira terkekeh senang, dia kembali memagut bibir manis kesukaannya. “Bisakah kamu lihat, betapa aku sayang sama kamu, Luna.”
Luna tersenyum, dia menangkup wajah kekasihnya. “Ya… I know you so well…”
Bruk!
Luna menjatuhkan tubuh Dira di atas ranjang mereka. Tatapan tajam Dira mengoyak keteguhan hati Luna. Pria itu seolah pasrah di tangan kekasihnya. “Aku lapaaar!”
Zoooonk!
Dira merubah raut wajahnya dengan cepat, kekasihnya tengah merengek lantas mengusap perutnya berkali-kali. “Haha… Dasar!”
“Mau makan apa?” Dira kembali bangkit dan mencium kembali bibir wanitanya gemas.
“Apa ya?” Luna berlagak mikir keras, padahal dia tengah mencari alibi. Dirinya mana ada lapar, dia hanya mengulur waktu saja. “Apa aja deh!”
“Tar salah, mau kita makan di luar?”
Luna menggelengkan kepala kemudian menjatuhkannya di dada bidang kekasihnya. “Aku mau kamu sih sebenernya!” celetuk Luna kembali membuat Dira tergelak.
“Hayuk!”
“Ndasmu!!”
* * *
Satu jam kemudian, Dira sudah berada kembali di kamar kosan Luna. Dia juga membawa beberapa makanan yang mungkin ingin Luna makan termasuk nasi goreng bang gondrong yang jadi tempat langganan mereka berdua jika kelaparan dan uang tinggal gocap.
Luna membuka pintu dengan raut wajah kesal. “Mas lama banget!”
“Ngantri Ayang, ih!” sahut Dira gemas dengan kelakuan kekasihnya.
Luna mempersilahkan kekasihnya masuk dan menata makanan yang dibeli Dira. “Banyak amat! Mau hajatan?”
“Ya, siapa tahu–” Dira memasuki kamar mandi tanpa dosa kemudian duduk bersama dengan Luna.
“Emm, enaknya!” Luna makan dengan lahap, tidak seperti tadi siang.
Mungkin karena sudah benar-benar lapar, atau menu yang dipilihkan Dira sesuai seleranya. Entahlah, yang jelas saat ini Luna senang bisa menghabiskan makanan tanpa merasa mual.
“Aaah, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan!” celetuk Luna bersandar pada kursi mini bar yang digunakan sebagai area tempat makan.
Dira tersenyum, dia menyodorkan segelas es jeruk dingin pada Luna. Gadis itu menyeringai senang dan menghabiskannya dalam satu kali tegukan.
“Pelan-pelan, Sayang! Gak akan ada yang berebut denganmu…”
Luna menjulurkan lidahnya tidak peduli, tak lama dia bangkit dan merapikan seluruh peralatan makan juga sampah makanan.
Dira merogoh ponsel dan kembali memainkan game kesayangannya. Luna sempat menoleh sejenak, dia kembali ingat masa lalunya. Walau suaminya itu sangat baik dan perhatian, tetapi– adakalanya, Luna justru merasa kurang nyaman dengan sikap cuek Dira yang tidak mau membantunya dalam mengurus rumah.
Memang benar, dahulu saat Luna sudah menjalani rumah tangga dengan Adira Renald yang ternyata dari golongan yang berada, akan ada orang yang membantu pekerjaan rumah mereka. Sayangnya, Luna tidak begitu suka dengan kehadiran pembantu yang menetap di rumah. Entah bagaimana pikiran Luna itu, dia merasa tidak nyaman dan takut terjadi hubungan antara majikan dan pembantunya. Seperti banyak diceritakan di rata-rata novel online yang pernah Luna baca. Memang agak lain pikiran aneh Luna saat itu. Oleh karenanya, Luna hanya meminta orang yang datang membersihkan rumah di waktu weekend atau beberapa hari sekali tergantung dengan kebutuhan. Dira sama sekali tidak mempermasalahkannya, hal yang jadi beban Luna adalah– pria itu tidak mau membantu hal kecil seperti menaruh piring pada tempatnya, menaruh handuk pada tempatnya, atau menaruh sepatu, aksesoris dan sebagainya, semua Luna yang lakukan!
Luna cepat-cepat menyeka air mata yang lolos begitu saja. Dia sungguh terasa lebih sensitif saat ini. ‘Huh… Aku terus merasa kita bisa memperbaikinya, tapi– apa mungkin dia bisa demikian?’
Deg!
Luna terkejut, pasalnya Dira memeluknya erat dari belakang tanpa disadari sebelumnya. “Mas!”
“Mikir apa hayo?!” tanya Dira mencium lekat ceruk leher kekasihnya semakin dalam seolah tidak ingin terlepas.
Luna terdiam sejenak, selalu seperti ini. Dia merasa semesta mempermainkan perasaannya, setiap kali dia berpikir salah, ada saja pembenaran yang menunjukan eksistensinya membuat Luna semakin tersedot jauh dalam kebimbangan.
“Mikir apa? Cucian piring nih banyak!” Luna segera tersadar dan menjawab pertanyaan Dira.
“Sini aku bantu!”
“Hah?”
Luna menoleh tidak percaya. ‘Bagaimana bisa?’
“Kamu seharusnya bilang kalau butuh bantuan, jangan tiba-tiba marah apa kesal. Aku mana tahu kamu butuh bantuan apa nggak!” Dira memposisikan dirinya sejajar dengan Luna dan mulai membantu mencuci peralatan makannya.
Luna tetap tidak bergeming di tempatnya, dia bahkan sudah menangis tanpa suara membuat Dira menyadarinya dan menatap kebingungan tanpa kata juga.
“Kenapa? Apa aku salah?” tanya Dira merasa kebingungan juga gelisah.
Luna justru semakin kencang menangis, Dira menghentikan aktivitasnya dan mendekat memeluk kekasihnya. “Sayang– aku bingung… Ngomong dong, kamu kenapa?”
“Huaaa~”
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments