Keesokan harinya…
Luna kembali mengerjap kedua matanya saat dia terbangun dari tidurnya. Dia resmi telah melewati dua hari di kehidupan keduanya. Tubuhnya terasa sangat lemas setelah digagahi kembali oleh kekasihnya. Luna menatap ponselnya yang bergetar. Dengan malas Luna menjawab panggilan yang berasal dari satu-satunya pria yang bertahta di hatinya selama ini.
“Halo, Mas…”
“Assalamualaikum, Sayangku!”
“Waalaikumsalam… Tumben nelpon pagi-pagi!”
“Tuh kan! Di perhatiin salah, gak di perhatiin tambah salah!!” Dira mengomel pasrah dengan ucapan Luna. Sedangkan, gadis itu terkekeh lirih membalikkan tubuhnya.
“Bangun, mandi gih!” titah Dira sedikit terdengar memaksa.
“Hm…” Luna menatap dinding kamarnya, pikirannya justru tengah membayangkan kekasihnya itu berada di hadapannya saat ini.
“Biasanya kamu yang bawel bangunin aku, subuh di masjid lah, mandi wajib lah–”
“Ppfftt!”
Luna tersadar dari lamunannya kemudian terkekeh saat kekasihnya kembali merutukinya. Luna merebahkan tubuhnya, dia menelan ludahnya berat. “Iya– aku mandi dulu ya! Dah siang ini…”
“Ya udah– oh iya! Pagi ini aku ada jadwal futsal sama anak-anak ya… Mau nitip apa buat sarapan?”
Luna terdiam, dia hanya tersenyum tipis tanpa bisa dilihat kekasihnya tentu saja. “Gak perlu, Mas… Aku nanti cari sendiri…”
“Issh! Aku beliin nanti sebelum ke gor aku mampir… Dah sana mandi, habis nanti waktu subuh!”
Luna dan Dira mengakhiri panggilan, gadis itu kembali termenung. Dia bingung pada hidupnya saat ini. “Aku harus apa sekarang?”
Luna menghela nafas berat sebelum dia memasuki kamar mandi dan membersihkan diri dari tubuhnya yang teramat sangat kotor saat ini.
Sesuai dengan yang diucapkan kekasihnya, Dira mampir membawakan bubur ayam kesukaan Luna. Gadis itu tentu saja semakin simpati dan jatuh cinta pada perhatian mantan suami di masa yang sudah dilalui sebelumnya. “Huh!”
Luna mengaduk bubur ayam miliknya dan menatap keluar arena balkon kamarnya. Sekilas dia berpikir untuk mencari informasi mengenai menggugurkan kandungan dengan aman. “Usia kehamilanku paling baru beberapa minggu, tidak begitu riskan rasanya!”
Luna bangkit mengambil tas kecil dan mengisinya dengan dompet juga ponsel. Dia keluar dari kamar menuju salah satu warnet yang tak jauh dari tempatnya.
“Emang jadi miskin itu gak enak! Laptop aja gak punya… Sebel gua!”
Luna mulai berselancar di jagat media sosial, dia begitu beruntung seluruh password yang digunakan adalah hal yang selalu diingatnya sampai detik sekarang. “Heh, kadang suka aneh… Sudah bertahun-tahun lamanya… Kenapa juga pake kombinasi angka jadian sama mantan! Harusnya sekarang gue ganti aja ama tanggal jadian aku sama Mas Dira!” Luna merutuk lirih dan mengotak-atik keyboard di depannya. Tak lama dadanya terasa sesak saat dia menatap media sosial lama miliknya. “Itu masa lalu, Luna!”
Luna kembali tidak ingin peduli dan langsung mencari informasi mengenai hal yang menjadi tujuan utamanya. “Harus buru-buru, kalau enggak— bisa ketahuan Mas Dira!”
Luna terbelalak saat beberapa informasi menggiringnya untuk melakukan tindakanan tidak bermoral. Luna refleks memegang perutnya. “Aluna… Maafkan Ibu, Nak!”
Luna bahkan sudah menjatuhkan air matanya. “Maaf, Ibu yakin kita pasti akan bertemu lagi… Tapi, tidak untuk saat ini… Ibu belum siap, Nak! Apalagi saat ini Papamu belum menikahi Ibu… Kami masih—”
Luna terdiam sejenak, dia menyeka air matanya cepat dan tidak ingin terus larut dalam penyesalan. Dia mencatat nomor ponsel si penjual obat terlarang, dia kembali menelan ludahnya serat. “Bisa-bisanya obat ini mahal banget!!” Luna kembali dibuat berpikir keras. “Gue gak ada duid, bangsaaat!!”
Kemiskinan itu membuatnya terlihat frustasi, ingin menyalahkan gajinya yang di bawah rata-rata. Namun, dia tidak bisa menghakimi sepihak. Pasalnya, gaya hidup Luna juga memang luar biasa tidak bisa terungkapkan kata-kata.
“Aku tidak mungkin menghubungi Mama! Bisa di ketawain tujuh turunan…” Lagi– Luna menjatuhkan air matanya saat mengingat keluarga besarnya. “Sampai detik ini mereka benar-benar tega tidak pernah memikirkan kondisiku saat ini. Haha–”
Luna terus bermonolog lirih seperti orang depresi, dia kembali berselancar melakukan hal yang tiba-tiba terlintas di kepalanya. “Bisa gak ya, cari sugar daddy instan sehari sekarang?”
“Haaaiishh, Naluna Maharani!! Begitu pendek isi otakmu!!”
Triiing!
[ Essa : Hai, you’re beautiful! ]
Deg!
Luna tengah mengaktifkan chat di salah satu aplikasi terkenal pada masanya, dia memasang foto yang sedikit terbuka dan menawarkan diri untuk mencari uang dengan jalan sebagai teman kencan bayaran.
“Dasar cowok! Di kasih foto baju kurang bahan aja langsung pada antri minta kenalan.”
Tidak cuma dengan user barusan yang menghubungi Luna, melainkan banyak pria hidung belang yang menawarinya untuk melakukan kencan yang akan menjadi solusi keuangan Luna secara instan.
Jika saja Dira mengetahui apa yang dilakukan kekasihnya, mungkin mereka akan melakukan perang dunia ketiga. “Maafkan aku, Mas… Aku tidak punya pilihan rasanya… Aku tahu, aku bisa saja meminta uang itu padamu… Tapi–”
[ Queen_Luna : You too, handsome! ]
Luna membalas salah satu pria yang cukup membuat atensi Luna mau menghubunginya. “Aku harap dia orang kaya! Jika tidak, tentu saja sungguh disayangkan!!”
Luna bergegas keluar dari warnet dan kembali ke kosan sebelum Dira mencarinya.
Sepanjang jalan, Luna terus berhubungan dengan teman pria onlinenya. Dia mengembangkan senyuman seolah memiliki kesenangan tersendiri. “Hape lemot ini sungguh membagongkan!”
Luna merutuk pada ponselnya yang tidak sesuai ekspektasinya.
[ Essa : Kapan kita bertemu, Luna? Mumpung aku ada di Kota B? ]
Luna menatap tampilan layar ponsel yang menunjukkan chat si pria yang akan jadi mangsa Luna. Gadis itu menyeringai dengan niat buruknya.
[ Queen_Luna : Bisa diatur! Yang penting, apa kamu berani membayarku dengan nominal yang tidak sedikit? ]
Dddrrttt…
[ Essa : Tidak masalah! Katakan berapa nominal yang kamu inginkan, aku akan membayarnya! ]
Luna semakin mengembangkan senyuman, matanya sudah berubah jadi berlambang dollar. “Ternyata, tidak seburuk yang aku bayangkan mengenai hidupku! Aku harap dia tidak menipuku!!”
—
Ceklek!
Dira keluar dari kamar mandi dengan berbalutkan handuk menutupi bagian miliknya yang paling sensitif. Luna menelan ludah dengan tatapan yang menggoda. ‘Suamiku memang tampan, dia juga sangat kuat di ranjang! Tubuhnya– aduh…’
“Kenapa, Yang? Pengen ya?”
Bruuk!
“Haha!”
Luna melempar bantal ke arah kekasihnya yang sudah menggodanya. Setelah selesai dengan olahraganya, pria itu ikut mandi di tempat Luna. Dira memang terbiasa justru pulang ke kosan kekasihnya dibanding pulang ke kosannya. Terkadang, seluruh temannya sudah berpikir yang bukan-bukan mengenai hubungan mereka. Apalagi, Dira memiliki stok pakaian di kosan Luna, benar-benar sudah seperti rumahnya sendiri.
“Mau makan siang dimana?” Dira mendekat merengkuh tubuh kekasihnya.
“Aargh… Dimana aja lah, yang penting makan!” Luna menyingkirkan tubuh basah kekasihnya. “Maaas– pake baju dulu sana.. Basah tau!” Luna merutuki tingkah Adira yang tidak pernah berubah membuatnya sakit kepala.
“Kamu ini– biasanya kamu yang kesenangan aku gak pake baju!”
“Ndaaasmu!”
“Haha…”
Tak lama keduanya keluar kamar dan mencari makan siang mereka. Luna sengaja menonaktifkan ponsel, akan sangat berbahaya jika ponselnya mengirimkan pesan dari pria misterius yang akan jadi donatur Luna dalam praktek kejahatannya.
Luna begitu senang saat kekasihnya mau mengabulkan seluruh kemauannya. Makan di salah satu resto ternama di sebuah mall besar dan kemudian berlanjut dengan menonton layar lebar di salah satu bioskop disana.
‘Mengapa aku tidak ingat kalau ternyata Adira Renald itu sungguh menyenangkan? Dia tidak sedingin dan secuek yang aku pikirkan selama ini? Why? Dia benar-benar terlihat seperti orang yang berbeda…’ Luna tengah bermonolog dalam benaknya, kedua tangannya merangkul erat tubuh kekasihnya.
Tanpa Dira ketahui tentang pikiran Luna, pria itu justru berpikir Luna tengah bahagia bersamanya. ‘Aku harus bisa mengambil hati Luna kembali!’
Sudah hampir seharian Luna dan Dira menghabiskan waktu bersama. Seperti biasa juga, Dira akan menutupnya dengan bercengkrama mesra meninggalkan benihnya dalam rahim Luna.
‘Dia tidak protes saat aku tidak mencabut milikku? Apa dia benar-benar menipuku akan kehamilannya?’ Dira tengah selesai dengan hajatnya, pria itu selalu mandi wajib di kosan Luna sebelum kembali ke kosannya. Dia terus berpikir mengenai perubahan sikap Luna yang terasa amat lain dari biasanya. Keduanya benar-benar seolah tengah merasa berhubungan dengan orang yang berbeda.
“Sayang…” Dira mendekat setelah kembali rapi dengan pakaiannya. “Aku pulang ya– besok pagi aku jemput ke kantor.” Dira mengecup kening Luna yang masih terasa lengket oleh peluhnya.
“Hm!” Luna menjawab malas, dirinya sungguh lelah.
“Kamu kok tumben banget malas bersih-bersih abis nganu?”
Deg!
Luna terbelalak, dia memukul tubuh Dira keras. “Cape tahu! Ini kan ulah Mas!!”
“Hehe… I love you so much, Luna…”
Luna bangkit dengan terpaksa dan memeluk tubuh bersih juga wangi kekasihnya. “Love you too, Sayangnya aku!”
Dira kembali memagut bibir Luna sebelum dia pulang dan kembali harus menahan rindunya selama beberapa jam kedepan.
“Ayolah, Luna… Kita menikah besok ya!”
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments