Bab 17. Kesalahpahaman yang berimprovisasi
.
.
.
...🍁🍁🍁...
"Bangkitkan dirimu dengan menolong orang lain!".
Dhira menatap nanar sebuah kartu nama yang di berikan oleh wanita tua tadi, sesampainya ia dirumahnya.
Sambil menunggu Raka mengambilkan kotak P3K.
Bukan orang sembarangan yang dia tolong tadi rupanya, terlihat dari jabatan yang tertulis jelas di kartu itu. Namun sebenarnya ia tidak memerlukan kartu itu.
Untuk saat ini lebih tepatnya.
"Kalau tangan kamu masih sakit, biar di antar Bastian saja nanti, atau kita telpon orangnya buat ngambil kesini"
Ucap Bu Kartika yang menampilkan kecemasannya, terhadap anak sulungnya itu.
"Gak terlalu kok buk, di olesi salep ini nanti pasti juga cepet kering"
Bu Kartika hanya menghembuskan nafasnya, ia tak mengerti jalan pikiran anaknya yang nekat membahayakan nyawanya sendiri demi menolong orang lain.
"Kamu jangan seperti ini lagi Dhir, beruntung kamu tidak apa apa"
"Kalau nggak" Bu Kartika tak meneruskan ucapannya.
"Ini ma" ucap Raka yang datang membawa kotak P3K.
Menginterupsi percakapan antara ibu dan anak itu.
Dhira sedikit terlambat menjemput anaknya tadi, untung saja Raka masih ada briefing bersama tim Volinya, sehingga tak membuatnya jenuh menunggu.
"Terimakasih nak" ucap Dhira.
Raka berusaha membukakan kotak itu, di keluarkannya cairan antiseptik, plaster pembalut luka, dan obat merah.
Ia merasa mamanya itu pasti titisan superhero, karena dia telah berhasil menolong orang lain meskipun dirinya kini terluka.
Namun ada rasa kecemasan, kekhawatiran dan kegundahan yang tersirat di mata bocah 13 tahun itu.
Jika mamanya mengalami hal yang lebih parah dari ini, tentu dia tak akan bisa menghadapi semua itu.
"Mama tidak apa-apa" ucap Dhira melirik anaknya yang sibuk memperhatikan dirinya mengobati luka sayatan itu.
"Raka janji akan jadi orang sukses ma, biar mama gak sudah susah begini"
"Biar mama dirumah aja gak perlu jualan ini itu"
Bocah itu nampaknya tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.
Ia tahu betul, semenjak mamanya bercerai dengan papanya, ia tidak mendapat uang saku sepeserpun dari papanya.
Malah mamanya kini harus banting tulang demi membiayai sekolahnya, juga keperluan hidupnya.
Dhira yang mendengar Raka berkata seperti itu, tentu saja tak kuat menahan rasa haru.
Ia tahu bahwa ia tengah menghadapi ujian badai kehidupan, namun ia amat bersyukur karena memiliki Raka yang menjadi semangat hidupnya.
Namun bagi Raka, orang tua adalah penyemangat bagi jiwa ananknya.
...🍁🍁🍁...
Kamis ini Raka terlihat benar benar fokus untuk latihan, jadwal pertandingan yang makin terasa mepet mengharuskan dirinya beserta tim untuk berlatih keras.
Memperbaiki Smash dan teknik bertahan atau divence yang baik, serta bloking bloking akurat yang bisa memperkokoh pertahanan tim.
Jodhi terlihat setia menunggu Raka, ia sebenarnya ingin ikut. Namun masih malu.
Lintang hari ini memberikan sebuah minuman susu berenergi kepada Jodhi, yang duduk di kursi penonton samping lapangan.
Membuat Jodhi mengernyitkan dahinya.
"Diminum ya, kamu kapan latihan?" tanya Lintang.
Gadis manis itu nampaknya memberikan atensi khusus untuk Jodhi.
Raka yang masih mendapat pengarahan dari pelatih itu, nampak memperhatikan interaksi mereka berdua dari kejauhan.
"Ok istirahat dulu, setelah ini kita latihan tanding" ucap pelatihan kepada tim voli putra.
"Cieee yang dapat sekotak susu" Raka menggoda Jodhi yang duduk, menatap nanar punggung Lintang yang menghilang di balik tembok.
Mungkin menuju toilet sekolah.
"Apaan sih" elak Jodhi setelah tatapannya kembali kepada Raka.
Raka tengah meneguk air mineral dari dalam botolnya,"ahhhhhh" ia ber ah panjang, tanda dahaganya telah terobati.
"Kapan ikut main?, gak bosen jadi tukang tunggu tas aku mulu?" ucapnya sambil memasukkan botol minum itu, kedalaman tasnya.
"Katanya pingin ikut, ayo"
Raka berucap sambil membetulkan ikatan sepatunya yang mengendur.
"Besok aja lah kalau udah selesai tanding"
"Kelamaan, ikut latihan aja yuk" Raka menggeret tangan Jodhi, membuat Jodhi malu.
"Eh apaan sih, besok aja. Ni anak ngeyel banget" ucap Jodhi melepas tangannya.
Namun terlambat, Pak Renaldi keburu menatap dua bocah itu.
"Ada apa ka" ucap pak Renaldi.
"Jodhi mau ikut latihan pak"
.
.
Percayalah Jodhi sudah mengumpat beberapa kali kepada Raka.
Namun Raka justru tertawa puas.
Pak Renaldi justru terlihat senang tatkala Jodhi mau bergabung untuk sekedar berlatih, ia tahu betul siapa Jodhi.
Kebetulan juga salah satu anggota mereka ada yang berhalangan hadir, membuat kehadiran Jodhi sangat di harapkan.
Namun tak di sangka, rupanya Jodhi sebenarnya juga berbakat di cabang olah raga itu.
Satu tim terdiri dari 6 orang, berbagi peran dan tugas di ranah masing masing.
Tosser atau setter bertugas mengatur serangan dengan mengumpankan bola.
Libero sebagai kunci pertahanan passing.
Blocker adalah yang bertugas membendung serangan musuh.
Spiker bertugas menyerang dengan melakukan spike keras kepada tim lawan.
Mereka mulai berlatih, terlihat keseriusan juga arahan dari sang pelatih.
Hingga menjelang pukul 4 sore, skor mereka masih saling terus berkejaran di set ke 4 ini.
Kebetulan Raka dan Jodhi berada di tim yang berbeda. Satu pengumpan bola yang di sebut sebagai setter itu mengumpankan bola, yang langsung di sambat oleh Raka.
Spike keras dari Raka tak mampu di bendung oleh Bayu, salah satu rekan mereka yang saat ini tengah satu tim bersama Jodhi.
Bertugas menjadi middle blocker .
"Yeeeeeee" sorak beberapa anak di group Raka.
Perolehan skor 25- 22 jelas menjadi bukti kemenangan telak yang di raih oleh tim Raka, pada latihan sore itu.
.
.
"Lu kenapa" tanya Jodhi kepada Raka yang melamun menatap kendaraan yang silih berganti lewat di jalan itu.
Mereka berdua tengah menunggu jemputan.
"Gue kadang iri aja sama elu Jo" ucap Raka masih menatap menerawang jalanan padat itu.
"Iri?"
"Gue?" ucapnya menunjuk ke arah dirinya.
"Hidup Lo jelas berkecukupan, orang tua elo masih komplit" ia masih menyunggingkan senyumnya.
"Beda sama gue" kali ini senyum itu berubah menjadi senyum yang kecut.
Jodhi menatap wajah bermandikan peluh, milik Raka.
"Lo salah Ka" ucapnya kini turut menerawang ke arah jalan itu.
Membuat Raka menoleh ke samping, tepat ke wajah Jodhi.
"Gue baru nemuin arti keluarga itu di rumah elo, sapaan hangat, makanan buatan mama elo, bahkan rasa saat di jemput pakai motor sama mama elo" ia tersenyum demi mengingat memori saat dirinya bersama Raka, belajar bersama di rumah sederhana itu tempo hari.
"Mungkin elo bener, hidup gue cukup. Gak kekurangan"
"Tapi, jujur yang harusnya iri itu gue. Buka elo"
Raka menatap wajah Jodhi.
"Tahu kenapa?" Karena elu masih memiliki kedua orang tua.
"Orang tua gue cerai" ucap Raka, membuang wajahnya ke arah lain.
Jodhi sempat tertegun, jadi pria yang seringkali menjemput Raka itu siapa?
Salahnya juga sih tak pernah terlalu banyak bertanya.
"Cerai atau tidak cerai intinya papa mama elo masih ada. Masih bisa elo lihat kapanpun elo mau"
"Sementara gue?"
Deg
Raka langsung menoleh kembali ke arah Jodhi, yang ternyata dua bola matanya itu sudah berkaca-kaca.
"Gue anak yatim Ka"
"Papa gue udah meninggal"
"Ga ada makamnya" cairan bening itu lolos dari mata Jodhi.
Raka makin mengerutkan keningnya, ia yang selama ini merasa hidupnya seolah paling berat. Nyatanya masih ada yang lebih berat lagi.
Benar jika pepatah itu bilang, diatas langit masih ada langit.
Atau Urip iku sawang sinawang
"Elo lebih beruntung di banding gue" suara Jodhi kini menjadi serak, lantaran tangisnya kian pecah.
Raka meraih tubuh Jodhi, memeluk sahabatnya itu, menepuk pundaknya memberikan kekuatan.
"Hidup gue hampa Ka, gak ada yang mau berteman sama gue" kini tubuh Jodhi makin bergetar.
"Semua orang sibuk dengan urusannya"
"Ada atau nggak ada gue sama aja buat mereka"
Tanpa mereka ketahui, Bastian yang sudah datang untuk menjemput keponakannya itu, melihat hal mengharukan di depannya itu.
Bastian yang mendengar luapan emosional Jodhi menjadi ikut terharu.
Bastian memarkirkan mobilnya di tepi jalan, membuat dua sekawan itu tak menyadari kehadiran pria itu.
"Apa kalian sudah selesai"
"Om Bastian" Raka segera melepas pelukannya.
Tentu saja ia merasa malu dan takut orang lain salah paham, ia rupanya terlalu baper.
.
.
Jodhi dan Raka saling melirik saat mereka bertiga tengah berada di warung mi ayam Cak Rojali.
Ya, Jodhi akhirnya ikut mobil Bastian karena ia sengaja tak mengabari orang rumah jika dirinyalah sudah pulang.
"Jadi selama ini kamu mengira aku ayahnya Raka?" ucap Bastian seolah-olah melakukan sidang kepada dua sekawan itu.
Jodhi mengangguk.
Bastian menghembuskan nafasnya, "Ayah dan anak sama saja"
"Maksudnya?" Jodhi kini bertanya.
"Ayahmu mengira aku adalah ayahnya Raka"
"Dan om mengira Ayah Abi adalah ayahku" ucap Jodhi tak mau kalah.
Kini Bastian tak kalah terperanjat.
"Siapa ayah Abi?"
"Ayah Abimanyu, dia adalah kakaknya mama"
"Bukan ayah kandungku"
"Aku memanggilnya begitu sejak kecil, karena ajaran mama dan Oma Buyut"
"Apa?" Bastian seolah tak percaya.
Pertemuan macam apa ini, hanya menyisakan kesalahpahaman yang berimprovisasi.
Ia baru mengingat jika Direktur utama di perusahaan adalah ayah dari teman sekolah Raka.
Pantas saja pertanyaan bang Togar mendapat jawaban tak mengenakan dari orang nomer satu di Delta Group itu.
Namun sepertinya mereka semua telah salah paham.
"Jadi ibu Rania itu ibu kamu" Bastian seolah tercekat menatap anak di depannya itu.
Bukan anak sembarangan, dia adalah anak dari atasannya saat ini.
Keponakan dari orang nomer satu di perusahaannya.
"Kan udah aku jelasin tadi" ia mulai meraih semangkuk mi ayam lezat, yang baru saja terhidang di mejanya.
"Emmmm, enak banget Om. Aku nambah ya nanti" ucap Jodhi yang terlihat senang.
Bastian hanya menggelengkan kepalanya, anak orang kaya ,bisa bisanya sebahagia itu hanya dengan memakan semangkuk mie ayam street food.
Unbelieveable.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments
Yumna
Itu nanti jadi papa sambung mu jodhi 😁..
2022-11-28
0
Boim
anak orang kaya belum pernah ngerain nikmatnya makan nasi pake terasi
2022-11-18
0
Sofia Pontoh
Semoga mulus jalanx..pendekatan Babag Abi ke momx Raka..😁🙏
2022-11-06
0