Bab 11.Menjemput Jodhi
.
.
.
...🍁🍁🍁...
"Semiskin apapun keadaan, pasti ada usaha untuk senang. Tatkala mati kita susah, seberapa amal yang sudah tercatat?".
Andhira
Wanita yang menyandang status janda itu membiasakan dirinya untuk bangun saat hari masih gelap, selesai menunaikan kewajibannya ia lantas pergi ke ujung gang tempat tinggalnya, untuk membeli sayuran di Cak Ahmad.
Seorang pedagang sayur keliling, hari ini hari Jumat sudah pasti Cak Ahmad sudah standby disana.
Pria dengan logat Madura itu terlihat sibuk meladeni permintaan ibu ibu, dengan kepentingan yang sama dengan dirinya.
Membeli sayuran plus lauk.
"Kangkungnya berapa Cak?"
"Labu siamnya ini?"
"Kalau ayam berapa sekarang?"
"Jeroannya setengah kilo aja"
Suara sahutan ibu ibu yang ramai, membuat Dhira makin gencar melanjutkan langkahnya.
"Loh Dhir, kamu kapan balik kesini, apa kabar?" sapa Shinta teman semasa sekolahnya dulu.
"Kamu kok gak ngasih tahu aku kalau kamu disini"
Shinta terlihat senang, ia bahkan memegangi lengan Dhira sedari tadi.
Ia adalah teman akrab Dhira, yang juga sudah menikah.
Teman semasa sekolah lebih tepatnya, ia tinggal di gang sebelah.
Dhira merasa canggung, karena saat menikah dulu tidak ada rekan yang dia undang.
Hanya saling memberi kabar lewat jejaring sosial.
"Hay Shin, aku udah lama kok disini"
"Indra apa kabar? Raka ikut? tanya Shinta sambil memilih beberapa ikan yang sudah di bungkus plastik itu.
Seketika Dhira menggigit bibirnya sendiri, tentu saja dia malu menceritakan kegagalan yang dia alami.
Shinta yang menangkap raut muka Dhira seketika mencari alternatif pertanyaan lain.
Ia tahu ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu, ia akan mencari tahu nanti.
"Emm kamu mau belanja apa?" Shinta kini mengganti topik pembicaraan.
"Gak tahu ini, enaknya masak apa ya" jawab Dhira sambil celingak-celinguk melihat lihat sayuran.
"Cak ini berapa?" ucap Dhira menunjukkan wortel, kubis, kentang dan teman temannya, beserta sosis dan bakso.
Rencananya ia akan membuat sayur SOP, dan ayam goreng serta tempe goreng sebagai lauknya.
"Murah aja itu dek, sayurnya sepoloh ribo aja" bakul sayur itu berucap masih dengan logat Madura.
"Dhir, aku duluan ya"
"Loh udah dapet?"
"Udah ini" Shinta menunjukkan hasil buruan belanjanya, berupa ikan nila segar juga beberapa ikat sayur kangkung.
"Masak yang gak ribet aja Dhir, mas Rangga soalnya musti berangkat pagi hari ini" ucap Shinta memberikan sedikit alasan
"Kamu main kerumah Shin kalau waktumu longgar" ucap Dhira yang menunggu antrian untuk membayar sayuran itu.
"Ok, duluan ya da"
Dhira membalas lambaian tangan Shinta pelan, kemudian berbalik untuk membayar.
"Eh kayaknya gak jadi sama lakinya itu"
"Bener, udah lama disini gak pernah lihat lakinya"
"Cerai kali"
"Kualat sama ibunya itu, dulu kayaknya nikahnya gak disini kan"
Suara suara sumbang yang masih bisa di dengar oleh telinga Dhira, ia lebih memilih untuk mengabaikannya.
"Sesulit inikah menjadi Single Parents?" batinnya berbicara.
Tapi jika ini adalah rangkaian karma yang harus ia jalani, sebagai bagian penebusan dari kesalahan dirinya di masa lalu. Insyaallah dia sanggup menjalani.
Ia tahu ini tak mudah, bahkan cenderung menyakitkan. Tapi ia yakin, semua yang terjadi di kehidupannya adalah takdir dari yang kuasa.
Berusaha menjadi diri sendiri adalah kesempurnaan yang masih bisa dibenahi.
"Udah dek, keropoknya enggak dek?" tawar cak Ahmad yang lekas menghitung jumlah belanjaan yang di beli Dhira.
"Enggak cak itu aja"
Setelah selesai membayar, Dhira masih menyempatkan diri untuk menyapa gerombolan ibu ibu yang sempat menjadikan dirinya sebagai bahan ghibah tadi.
"Mari buk saya duluan" ucap Dhira tersenyum.
"Oh, eh iya" jawab mereka kikuk dan kaku.
...🍁🍁🍁...
Dirumah besar keluarga Aryasatya terlihat beberapa penghuni rumah itu tengah menikmati sarapan.
Geliat pekerja yang riuh sibuk kesana kemari, menjadi pemandangan yang biasa.
"Makan yang banyak, kamu hari ini ada kegiatan apa?" tanya nyonya Regina kepada Jodhi.
"Belum tahu Oma Buyut" jawabnya di sela sela dia menyantap sarapan pagi yang lezat bergizi itu.
"Hay boy" ucap Abimanyu yang baru saja datang, mengusap pucuk kepala Jodhi. As usually.
Kemudian menarik kursi tersebut, dan mendudukkan tubuhnya di kursi samping Jodhi.
"Ayah, nanti gak usah jemput"
"Loh kenapa?" ucap Abimanyu mengernyit heran.
"Aku ada kegiatan" bohong Jodhi.
"Jam berapa? nanti ayah tetep jemput, kalau enggak biar mas Agus yang jemput kamu" ucapnya kini mulai membalikkan piring di depannya.
"Nanti aku pulang bareng Raka" ucapnya menunduk dengan suara lirih.
Nyonya Regina yang melihat kesedihan RI wajah Jodhi segera mengambil tindakan.
"Pergilah, nanti Oma yang jemput kamu di rumah teman kamu"
Abimanyu rupanya tak paham maksud Jodhi.
Keponakannya itu rupanya ingin bermain kerumah Raka, lantaran ada tugas dari seni budaya yang harus di kerjakan berkelompok.
Tentu saja ia hanya memiliki Raka yang bisa ia ajak bekerjasama.
Abimanyu kali ini mencoba mencerna ucapan neneknya, "rumah teman?" itu artinya?
"Ya sudah nanti ayah yang jemput kamu dirumah teman kamu ya?" ucapnya antusias.
Nyonya Regina seketika menoleh kepada Abimanyu, mengapa tiba tiba cucunya itu begitu antusias?
Ini pasti gila, sangat gila.
Dia perempuan yang sudah bersuami, pikir Abimanyu.
Namun entah mengapa selalu ada dorongan untuk bertemu, melihat ada kesempatan hari ini. Entah mengapa dia menjadi begitu antusias.
...🍁🍁🍁...
Di Sekolah
Chiko dan geng nya masih terdiam saat berpapasan dengan Raka dan Jodhi, entah mengapa bisa begitu.
"Kamu jadi main ke rumahku nanti?" Raka bertanya sambil berjalan menuju kelas mereka, sambil menghindari senggolan dari siswa siswi, yang juga berjalan berlawanan arah dengan mereka, di lorong sekolah itu.
"Jadi" ucapnya yang selalu saja datar dan seperlunya.
Mereka lantas memasuki kelas, mengikuti jam pelajaran dengan normal.
Hari ini hari Jum'at, mereka pulang lebih awal di banding hari biasanya.
"Tuh mamaku dah jemput" ucap Raka yang tengah berjalan bersama Jodhi, bersamaan dengan hamburan siswa siswi lain yang juga akan pulang.
Jodhi menatap ke arah depan, ia melihat seorang wanita yang duduk diatas motor, masih mengenakan helm menggunakan jaket warna hitam.
"Ma" ucap Raka saat mereka sudah berdekatan.
Raka mencium tangan mamanya takzim, kemudian menyenggol Jodhi dengan maksud kini gilirannya yang bersalaman.
"Oh" Jodhi yang mengerti maksud Raka itu, segera meraih tangan lembut Andhira.
"Eh, ini pasti Jodhi ya" ucap Dhira sambil menyalami bocah tampan itu.
"Iya tante" jawab Jodhi memaksa senyum.
"Dia mau ikut kerumah ma, ada tugas dari guru. Dia belum mengerti" ucap Raka menjelaskan.
"Oh, boleh. Tapi pakai motor gapapa kan?" Dhira tahu jika teman anaknya itu bukan dari golongan orang biasa.
"Gapapa tante" ucap Jodhi, ia bahkan heran "memangnya kalau pakai motor kenapa?" ia mengucap dalam hati.
Dhira membonceng serta dua bocah ingusan itu, Jodhi merasa senang. Ini pengalaman pertamanya akan bertandang ke rumah seorang teman.
Setelah perjalanan kurang lebih 35 menit, mereka sampai dirumah milik Bu Kartika itu.
Keluarga Andhira adalah keluarga yang tidak kaya, namun juga tidak kekurangan. Semua serba sedang.
"Nah, ini rumahku. Maaf ya jelek" ucap Raka mendeklarasikan keadaan rumahnya
Jodhi menyapukan pandangannya ke sekitar rumah itu, rumah tidak terlalu besar namun tidak terlalu kecil.
Bercat warna hijau mint cenderung warna pastel, dengan dua buat kursi dari kayu jalin yang ada di depan rumahnya.
Memiliki banyak sekali tanaman hias, juga sebuah garasi mobil yang sempit.
"Malah bengong, ajak temannya masuk Ka" ucap Andhira kepada anaknya.
"Assalamualaikum" ucap Raka begitu memasuki rumah itu, tanpa di nyana Jodhi turut menirukan ucapan temannya itu.
"Assalamualaikum" meskipun lirih nyaris tak terdengar, namun ia sudah berhasil berucap.
"Loh ada teman Raka" Bu Kartika datang menyambut kedatangan cucunya.
Jodhi meraih tangan nenek Raka, mencium punggung tangan wanita tua itu. Persis dengan yang ia lakukan kepada Andhira di sekolah tadi.
"Ka, ajak makan setelah ini" ucap neneknya, mengusap rambut Raka penuh kasih.
Hal itu tak luput dari pandangan Jodhi, keluarga sederhana namun penuh cinta kasih.
Tak seperti dirinya.
"Mau shalat Jumat dulu, Jo kamu ikut gak?" ajak Raka yang sudah mengalungkan handuk biru di lehernya.
Bergegas untuk mandi, dan menuju masjid untuk melaksanakan shalat Jum'at.
"Aku ikut"
Ini mungkin kali pertamanya pula, seorang Jodhi mengikuti shalat Jum'at.
Ia mengenakan sarung dan baju Koko milik Raka, yang pas di badannya.
"Wah, kalian kayak anak kembar saja" seloroh Bu Kartika yang melihat dia bocah itu, sudah siap untuk berangkat ke masjid.
Terlihat senang dengan senyum merekah.
"Aku berangkat dulu Uti"
Mereka berdua segera melesat, menuju masjid yang terletak tidak jauh dari rumah mereka.
.
.
"Itu tadi siapa?, kok Raka belum pernah ngajak kemari"
"Anak baru katanya buk" ucap Dhira sembari menatap meja makan sederhana itu, dengan aneka makanan hasil buatannya.
"Dari Singapura" tambahnya.
"Anaknya bule?, pantas bersih begitu" ucap Bu Kartika kini duduk di kursi, mendengar ucapan Dhira dengan saksama.
"Bukan, sekolah terakhirnya di Singapura, dia anaknya pria yang nolongin Dhira waktu itu"
"Oh" Bu Kartika hanya ber oh panjang, sambil manggut-manggut.
Andhira menata sup panas, beserta ayam goreng garing juga tempe renyah beserta sambal tomat, juga kerupuk udang.
Makanan sederhana yang sarat akan gizi, tak mewah memang, namun apalagi yang bisa mereka perbuat?.
.
.
Raka dan Jodhi sudah duduk dengan manis di meja makan sederhana namun bersih itu.
Terlihat nasi yang mengepulkan asap putih, beserta sayur sop dengan sosis dan bakso yang terapung di dalam kuah itu, ayam goreng yang di goreng garing serta tempe renyah yang menggugah selera.
"Ayo jangan diem aja, ini mamaku loh yang masak" ajak Raka kepada Jodhi yang masih malu malu.
"Mamamu gak ikut makan?" Jodhi bertanya dengan suara pelan.
"Udah tadi ,lagi buat lapis legit di belakang sama Uti"
"Emmmm" ucap Jodhi tatkala suapan perdana itu masuk kedalam mulutnya.
"Gimana?" Raka bertanya penuh antusias.
"Ini enak, mamamu jago masak banget" ucapnya memberi pujian.
Jodhi merasa senang, ini benar benar membuatnya seperti hidup kembali.
Usai menyantap makan siang, mereka lantas mengerjakan berbagai tugas.
Namun sepertinya mereka sama sama tajam di bidang masing masing. Jodhi yang mahir di bidang Matematika, dan Raka di IPA.
Dua jam lebih mereka berkutat dengan soal soal, di tambah mereka harus mengerjakan hukuman menulis satu buku penuh tulisan "Saya tidak akan mengulangi perbuatan saya lagi".
Seketika tangan mereka pegal, kebas dan ngilu.
"Huft, gila. Kalau aku ngerjain sendirian dirumah, gak bakal aku selesain deh kayaknya" ucap Jodhi sambil merebahkan dirinya di atas karpet.
Meregangkan otot-ototnya, ia menggunakan kedua tangannya sebagai bantal, melipatnya kebawah kepalanya.
Sementara Raka hanya menggelengkan kepalanya, ia tak menyangka anak dingin dan kaku itu kini tengah berada di rumahnya.
Menjadi temannya pula.
"Kamu pulangnya gimana?" Raka bertanya sambil membereskan buku bukunya, memasukkannya kedalam tas hitam miliknya.
"Dijemput, Oma Buyut bilang beliau yang jemput" ucap Jodhi kini dengan posisi duduk di atas karpet, turut membereskan buku buku miliknya.
"Kamu shareloc aja, biar gak bingung nyari rumahku"
.
.
"Alhamdulilah Dhir, semenjak kamu disini. Makin banyak orang yang pesen ke kita" ucap Bu Kartika mengaduk adonan kue lapis itu.
Dhira senang, ia memposting berbagai jenis kue dan makanan yang biasa di buat oleh ibunya untuk dijual.
Keramahan Dhira, juga rasa yang memang top markotop itu menjadi pilihan para pelanggan.
Banyak yang tahu cita rasa kuliner mereka dari mulut ke mulut. Alhasil, membuat mereka selalu tak pernah sepi orderan.
"Ini kue diambil apa di antar buk"
"Di ambil, Bu Camat yang pesen. Katanya buat di kirim ke anaknya"
Dhira hanya manggut-manggut.
Merasa jika Bu Camat adalah pelanggan setianya.
Jelang pukul lima sore, kegiatan mereka sudah selesai. Tinggal mencuci peralatan kotor, bekas untuk membuat kue barusan.
Mereka mendengar suara mobil, meskipun tidak jelas namun mobil itu berhenti di depan rumah mereka.
"Siapa Dhir?"
"Bastian?" tanya Bu Kartika.
Namun, biasanya Bastian pasti akan langsung memasukkan mobilnya di garasi kecil rumahnya itu.
"Ma ada tamu" ucap Raka dari arah depan.
Dhira segera mengelap tangannya yang basah selepas mencuci tangan.
Dengan sedikit berlari ia menuju ruang tamu, mungkin orang yang akan mengambil pesanan. Tapi bukannya masih nanti malam.
Ia terkejut begitu mendapati pria yang ia temui di sekolah kemaren, kali ini memakai jas dengan warna berbeda dan seorang pria tak kalah tampan yang berdiri di ambang pintu.
"Hay, selamat sore. Maaf jika Jodhi merepotkanmu" ucapnya tersenyum.
Dhira bahkan hanya terbengong, tak mengira jika Jodhi akan di jemput oleh pria itu.
"Siapa Dhir" ucap Bu Tika yang menyusulnya ke ruang tamu.
"Loh ada tamu"
Bu Kartika mengulurkan tangannya kepada Abimanyu, dan di balas ramah oleh pria tampan itu.
"Saya Bu Kartika"
"Saya Abimanyu"
"O jadi namanya Abimanyu" Dhira membatin.
"Terimakasih banyak Buk sudah jaga Jodhi, mengijinkannya untuk belajar disini bersama Raka" ia kini sudah tahu nama anak dari sabahat keponakannya itu.
Bu Kartika tersenyum ramah, "Iya sama sama, anda ini orang tuanya Jodhi?"
"Saya Pa..." ucapan Abimanyu terjeda.
"Yah, ayo pulang udah sore ini" ucap Jodhi menyela ucapan Abimanyu.
Dhira hanya mematung, ia merasa malu. Entah mengapa ia tak percaya diri saat bertemu dengan pria tampan penuh kewibawaan itu.
"Baiklah, kamu pamit dulu" ucap Abimanyu berpamitan.
"Oh, tunggu sebentar" Bu Kartika segera pergi menuju dapurnya, berlari kecil.
Menyisakan Dhira yang saling bersitatap dengan Abimanyu.
Senyum kecut cenderung malu malu yang ia tampilkan, sangat berbeda dengan senyum yang di berikan oleh pria yang duduk di kursi ruang tamunya itu.
"Ini ada kue, nanti kalian coba di rumah ya" ucap Bu Kartika menyerahkan sekotak lapis legit buatannya barusan.
"Homemade, barangkali rasanya cocok" Bu Kartika tersenyum.
"Terimakasih banyak Bu, maaf merepotkan"
"Tidak repot, kami biasa membuat kue"
"Terimakasih banyak sekali lagi"
"Ayo Jodhi" ajak Abimanyu.
"Saya pamit Bu, terimakasih" ia lantas bersalaman kepada Bu Kartika, juga kepada Dhira.
"Om pulang dulu ya" pamit Abimanyu kepada Raka.
"Iya om, hati hati" jawab Raka nampak akrab dengan ayah sahabatnya itu.
Devan terlihat membungkukkan badannya, pertanda turut undur diri dari kediaman Bu Kartika.
.
.
.
.
Hay Readers terkasih sekalian, follow author yuk.
Ig : Fitria Ermila Yessi
Fb : Fitria Ermila Yessi
Tinggalkan jejak dengan beri like and comment 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 271 Episodes
Comments
Sofia Pontoh
Semoga ada..ad getar2 aneh tuh..🤩
2022-11-06
0
🌾lvye🌾
serasa baca novel cetak 😍
2022-09-29
0
Lina ciello
gassspoll thorr... seruu
2022-09-09
0