“Balas budi?” larasati membulatkan matanya. Tak percaya.
Ada ya manusia kek Dokter ini.
Muhammad Sakti sedang berusaha menantang takdir. Sebenarnya Dia sendiri tidak yakin dengan apa yang akan dilakukannya ini. Setengah mati menghindari seorang gadis bernama Larasati. Tapi takdir seolah memepertemukannya dalam segala situasi. Hingga ia nekat mengundang sumber masalah itu sendiri. Masalah tak akan berhenti jika terus Lari. Hadapi.
“Saya sedang butuh asisten pribadi, kamu mau?”
“Maksud Dokter?”
“Kamu kerja sama saya satu bulan ini,”
“Maksudnya jadi pelayan?”
“Terserah kamu nganggepnya apa. Tapi kalau tangan ku sakit begini,pasti susah kan?” Meneruskan ekting melas dan malas.
Berpikir berpikir. Diterima atau tidak. Dokter terluka karena menolongnya. Tak mau diobati tapi minta balas budi dliayani. Cih,modus pasti.
Sebulan lama nggak ya? Padahal bumi selalu berputar dengan frekwensi sama.
“Oke saya mau,” hanya karena balas budi.
“Bagus. Ayo anter saya pulang,” Sepakat tanpa syarat.
“I,,Iya Dok,” berlari kearah mobil dan menghidupkan mesin.
Menghampiri Dokter yang katanya kesakitan itu. Mobil melaju menuju neraka yang akan menyiksa mereka satu bulan kedepan. Kalau gadis ini mati ditangannya,itu takdir. Kalau gadis ini masih hidup sampai seminggu lagi atau setelahnya,ia berhasil.
Masih dalam diam karena canggung yang tiba-tiba muncul.
Bahkan dalam khayalan pun tak pernah berfikir sampai jarak sedekat ini. Menarik nafas panjang berulangkali. Mencoba menetralisir bau dengan menciumi pewangi mobil didepannya. Larasati memandang aneh kelakuan si Dokter,tapi membiarkan.
Sakti mengarahkan jalan menuju Villa megah kediamannya.
“Berhenti didepan,” Menggantungkan kembali pengharum pada tempatnya semula.
“Ini rumah Dokter?”
“Bukan,”
“Terus ini rumah siapa? Kenapa berhenti?”
“Mundur !”
“Hah?” Bingung tapi nurut juga.
“Stop,” Membuka pintu dan turun.
Tadi dilewati sekarang balik lagi. Apa maunya orang ini?
”Saya tunggu besok pagi,” berjalan memasuki gerbang yang terbuka otomatis. Kedua tangannya ia masukkan ke kantong saku hodienya.
“Iya,” Huffffftt. Laras menghela nafas membuang kekesalan. Belum apa-apa sudah menyebalkan. Bagaimana nanti. Rumah sendiri kok bisa lupa. Apa pengharum mobil ini enak banget sampai buat dia terlena. Dasar aneh.
“Oma nggak pa-pa kan Laras tinggal?” Bicara setelah selesai sarapan. Mereka tidak pernah bicara kalau sama-sama makan. Tapi akan memanaskan telinga kalu sedang ngobrol. Lama dan lebih banyak ia yang mendengarkan.
“Tapi pulang,jangan menginap disana,” pembicaraan soal ijin sudah semalam.
Oma membiarkan karena katanya Laras mau cari kesibukan dan pengalaman. Omanya juga sudah sehat. Ada bibi juga yang menemani.
“Pasti Laras pulang.”
“Dokter itu ganteg ya?” melirik sambil tersenyum setelah meletakkan gelas kosong yang isinya sudah dihabiskan.
“Ganteng. Bohong kalau aku bilang nggak. Tapi nyebelin,” menghabiskan minum dengan sekali teguk.
“Hati-hati, cinta bisa berawal dari benci juga lho,” terkikik menggoda Larasati. Sudah tua tapi jahil juga.
“Nggak mungkin. Ganteng bukan jaminan,” bangun dan berpamitan pada Oma.
Oma tersenyum melihat punggung Larasati. Dalam hati ia mendoakan kebahagiaan cucunya itu. Larasati pantas dicintai oleh pria yang tepat. Tapi bukan Nico kampret itu. Semoga Tuhan menuntunmu pada kebahagiaan yang kau idamkan.
***
Gerbang terbuka otomatis saat klakson berbunyi. Aneh tak ada satpam atau penjaga lainnya. Sepi. Rumah mewah bercat putih dengan kombinasi warna emas. Cantik. Celingukan di halaman yang luas setelah turun dari mobil. Mencari sosok makhluk hidup lain yang bisa ditanyai.
“Anda sudah ditunggu nona,” tiba-tiba Thomas muncul dibelakangnya. Sejak kapan ia disana.
“Iya,” berjalan sambil mengelus dada. Hobi banget bikin orang kaget,Laras mengomel dalam hati.
Thomas memandang tak percaya pada manusia yang berjalan didepannya ini. Merasa bingung kenapa membawa makanan kerumah kalau tak ingin dimakan. Sayang kan mubadzir. Eh.
Lebih baik berada pada jarak aman. Aman dari aroma darah dan segala kemungkinan.
Aku seperti mau melamar kerja pada Tuan muda yang sombong. Kaya judul novel?
Dokter itu duduk selonjoran di sofa. Dua kakinya ditumpuk diatas meja. Sibuk membolak-balik majalah bisnis dunia. “Kau datang juga rupanya?” Bertanya tanpa melihat lawan bicara. Merapikan rambut yang sedikit basah dan jatuh didahi.
Ganteng. Eh.
Sakti berusaha bersikap normal padahal jantungnya berdebar. Aroma bunga dan pengharum ruangan yang dipasang disetiap sudut tak bisa menutupi aroma Larasati jika pada jarak dekat. Berkali-kali ia menghela nafas mencari ketenangan.
“Kamu akan dapat gaji yang pantas, jangan khawatir,” Tuturnya kemudian.
Balas budi macam apa ini.
“Apa tugas saya Dok?” bertanya saja dari pada kakinya pegal berdiri.
“Aku mau makan,”
“Makan apa Dok?”
Makan kamu. Jangan,sabar,sabar! “Apa aja. Yang penting enak,”
“Akan saya siapkan,” Laras lau berjalan mengikuti Thomas yang menuntunnya ke dapur.
Dapur yang cantik dan bersih.
Apa yang harus ku masak? Kulkas kok isinya daging semua. Nggak ada bumbu apa-apa. Dia ini orang apa singa?
Setelelah beberapa lama berpikir dan bekerja,akhirnya daging panggang tanpa bumbu apapun ia hidangkan di meja makan. Sakti diam tanpa protes langsung makan.
Aneh,apa tanganku sehebat itu. Kayaknya enak banget dia makan. Apa mungkin aku punya bakat koki handal? Ikut mencicipi sisa daging di atas pemanggang. Hoeeek,amissss.
Laras memuntahkan daging yang ada dimulutnya ke wastafel. Buru-buru ia mengambil minum dan Menghabiskannya dalam satu tegukan.
Orang macam apa yang akan aku layani ini? kalau bukan karena balas budi dan gaji besar nggak sudi aku.
“Ikut aku,” Meletakkan lap yang baru saja ia gunakan untuk menyeka mulutnya, lalu berdiri setelah menghabiskan daging hambar dipiringnya.
“Kemana?” aku benar-benar merasa seperti pembantu.
Sakti Diam tak bergeming dengan pertanyaan Larasati, dia terus berjalan menuju sofa panjang didepan TV.
Mau apa lagi dia?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Mawar Tia
bikin tenggang😁😁😁
2024-04-17
1