Bab 20

"Ini rumah siapa, bunda? Besar banget, ya. Nanti kalau Shaka sudah besar, Shaka mau buat rumah besar kayak gini buat bunda."

Kania tersenyum lebar mendengar ucapan Shaka. Ucapan adalah doa. Dan Kania mengaminkan ucapan Shaka.

"Aamiin. Berdoa sama Allah ya, Nak." Shaka menganggukkan kepalanya. "Ini rumah Bu Hanum. Shaka ingat siapa Bu Hanum?"

Shaka mengangguk lagi. "Ingat, bunda. Bu Hanum yang baik itu, kan? Karena Bu Hanum Shaka bisa sekolah di sekolahan yang bagus."

Tawa kecil keluar dari bibir Kania. Anaknya itu memang pengingat yang baik. Hal sekecil apapun akan dia ingat walaupun kadang orang dewasa pun tak mengingatnya sama sekali.

"Masuk, yuk."

Sebelumnya, Kania sudah mengatakan bahwa dirinya sudah sampai di depan rumahnya.

Saat memencet bel yang ada di luar gerbang, seorang satpam membukakan pintu gerbang.

"Cari siapa, Mbak?"

"Bu Hanum, Pak," jawab Kania kepada satpam yang bernama Dharma.

"Sudah ada janji sebelumnya?"

Kania mengangguk. "Sudah, Pak."

"Baik. Saya periksa dulu demi keamanan keluarga ini."

Tanpa menunggu persetujuan Kania, Dharma langsung mengarahkan sebuah alat, entah itu apa ke seluruh tubuh Kania dari atas sampai bawah.

Tangan Dharma terhenti karena Hanum yang baru saja keluar rumah berteriak histeris. "Dharma! Apa-apaan, kamu! Mereka nggak perlu di periksa begitu. Mereka tamu spesial saya."

"Maaf, Bu. Saya tidak tahu." Dharma menundukkan kepalanya, meminta maaf kepada Hanum.

"Sudah, sana!" usir Hanum.

Wajah Hanum yang semula kesal karena Dharma mendadak cerah saat menatap Kania dan Shaka. "Aduh, panas, ya. Shaka kepanasan, ya. Masuk, yuk. Surabaya hari ini panas banget, ya."

Kania mengangguk membenarkan. Cuaca Surabaya di siang hari memang begitu panas. "Shaka salim dulu sama Bu Hanum," perintah Kania pada Shaka yang masih mengangumi rumah Hanum.

Shaka menyalami tangan Hanum dan menciumnya. Hanum membalasnya dengan mengusap kepala Shaka dengan penuh sayang. "Anak pintar. Shaka sehat?"

"Alhamdulillah, Bu, Shaka sehat," jawab Shaka dengan suara imutnya.

"Eh, panggilnya jangan Bu, dong. Maunya di panggil Oma."

"Oma?" Shaka bingung. Matanya menatap Kania dengan penuh tanya.

"Oma itu sama dengan nenek, sayang," jawab Kania yang juga bingung kenapa Bu Hanum meminta Shaka untuk memanggilnya dengan sebutan Oma.

Shaka mengangguk mengerti. "Baik, Oma."

Hanum tersenyum penuh haru. Rasanya bahagia membuncah di hatinya saat cucu satu-satunya memanggilnya dengan sebutan Oma.

Meskipun Shaka dan Kania belum tahu siapa Hanum sebenarnya, tak masalah bagi Hanum. Shaka memanggilnya Oma saja sudah bahagia luar biasa.

"Dharma, masukkan motornya Kania, ya. Awas, hati-hati," teriak Hanum karena mereka hampir masuk ke dalam rumah.

Kania pun melupakan bagaimana nasib motornya. Malah Hanum yang teringat dan berinisiatif meminta Dharma untuk memasukkan motor Kania ke halaman rumah.

"Baik, Bu."

***

Saat memasuki rumah, Shaka langsung di suguhkan dengan berbagai macam mainan yang sudah di siapkan sejak kemarin.

Shaka begitu antusias dan langsung melepaskan genggaman tangannya pada Kania. Kania ingin menahan Shaka. Namun Hanum meminta Kania untuk membiarkan Shaka bermain dengan sesuka hatinya.

"Kita di taman belakang saja, ya, Ka. Sambil menunggu Pak Surya, produser film anak-anak. Katanya penerbangannya dari Jakarta delay dua jam karena ada masalah teknis. Saya sudah meminta Pak Surya agar shooting di lakukan di sini saja, Ka. Demi kenyamanan Shaka."

Kania tak bisa berkata-kata untuk membalas setiap ucapan Hanum. Hanum benar-benar menepati janjinya. Membuat Shaka senyaman mungkin saat proses shooting nanti.

"Apa ini nggak terlalu berlebihan, Bu?" tanya Kania tak enak hati.

Hanum menggeleng tegas. "Enggak sama sekali, Ka. Apapun akan saya lakukan asal Shaka nyaman. Agar hati Shaka senang dan proses shooting nanti lancar karena mood Shaka bagus. Jadi tidak memakan waktu yang lama untuk proses pengambilannya."

"Aduh, saya jadi nggak enak, Bu."

"Ah, udahlah, Ka. Buat saya kenyamanan kalian berdua itu yang utama. Bahkan, saya akan senang sekali jika kalian berdua tinggal di sini."

"Eh, nggak perlu, Bu." Kania menolaknya dengan cepat. "Tempat yang kami tinggali sudah sangat nyaman, kok, Bu."

"Tapi nggak ada mainan untuk Shaka. Dari sini ke rumah kalian juga jauh, kan? Kalau capek gimana?"

Kania tersenyum tipis. "Tapi saya rasa itu berlebihan, Bu. Lagipula kan, untuk shooting hanya seminggu dua kali. Tidak apa-apa, insyaallah."

Hanum menghembuskan napas kecewa. Tapi tetap berusaha menyembunyikannya dari Kania. "Ya sudah kalau begitu. Saya tidak akan memaksa kalian. Tapi ada syaratnya."

Kerutan alis Kania tercetak kala Hanum mengatakan kalau Hanum memberinya syarat. "Apa itu, Bu?"

"Setiap mau ke sini, kamu harus mau kalau di jemput sopir saya. Tidak ada penolakan karena kamu cuma di beri satu kali kesempatan untuk menolak."

"B-baik, Bu."

Hanum tertawa kecil. Tangannya terulur mengusap pundak Kania. "Jangan tegang begitu, dong. Nggak perlu sungkan sama saya."

Kania hanya bisa mengangguk dan tersenyum tanpa bisa berkata-kata lagi. Semua sikap dan apapun yang di berikan untuknya dan Shaka membuat Kania berpikir, apa maksud dari semua ini?

Jika memang hanya karena kepintaran anaknya, tentu tidak perlu sebanyak ini sesuatu yang di berikan Hanum untuk dirinya dan Shaka.

🌼🌼🌼

"Kamu ngapain pulang?" Hanum memekik tertahan saat melihat Devan dengan santainya masuk ke dalam rumah.

Padahal, kemarin Hanum sudah mewanti-wanti Devan agar dia tidak pulang ke rumah selama ada Shaka dan Kania.

Hanum melihat ke taman belakang. Memastikan Kania dan Shaka sedang asyik dan tidak ada tanda-tanda akan masuk ke dalam rumah.

"Devan pikir mereka sudah pulang, Ma. Anak orang lain kalau nggak pulang itu di cariin. Ini Mama anak sendiri pulang malah di omelin."

Hanum berkacak pinggang dan memijat keningnya pelan. Memutar otak bagaimana agar Kania atau Shaka tidak tahu tentang keberadaan Devan di rumah ini.

"Kamu di kamar. Jangan keluar sampai mereka pulang."

Devan melihat mamanya dengan tatapan bingung. "Kalau Devan lapar gimana?"

"Biar di antar Ijah ke kamar kamu. Udah sana, jangan banyak bicara lagi!"

Punggung Devan di dorong keras oleh Hanum. Di paksa berjalan untuk menaiki tangga. Tapi saat Devan menginjakkan kakinya di atas tangga pertama, saat itu juga Kania masuk ke dalam rumah dan melihat ada Devan di dekat tangga.

Keduanya saling menatap. Keterkejutan jelas terpancar di mata Kania.

Berbeda dengan Devan dan Kania, Hanum sudah memejamkan matanya, takut. Dia takut Kania akan menghindari dirinya kalau sampai dia tahu kalau Devan adalah anaknya.

"Emm... Dia siapa, Ma?"

Devan menatap Hanum. Satu matanya berkedip memberikan kode pada Hanum untuk bersandiwara.

Hanum langsung paham. "Oh, dia... Dia Kania. Ibunya Shaka, anak pintar yang kemarin Mama ceritakan. Kania, ini Devan. Anak saya."

Bibir Kania terlihat berat untuk menyunggingkan sebuah senyuman. Devan dan Hanum tahu bahwa senyum yang saat ini terukir di wajah Kania adalah sebuah senyuman palsu.

"Saya Kania, Pak Devan."

"Oh, Kania. Senang berkenalan dengan kamu, Kania." Devan berusaha menunjukkan sikap ramah. "Ma, Devan ke atas dulu."

"Iya," jawab Hanum disertai senyuman tipis. Mata Hanum menatap Devan dengan garang. Memberi kode pada Devan agar Devan cepat berlalu dari hadapan Kania.

Setelah berlalunya Devan, Hanum segera mendekati Kania yang masih terpaku di tempatnya. Berpura-pura tidak tahu ada kisah apa di antara Kania dan anak semata wayangnya.

"Kania, dia anak saya satu-satunya. Meskipun pekerja keras, tapi bandelnya sering bikin tensi saya naik."

Kania tersenyum tipis. "Biasa, Bu. Namanya juga anak laki-laki. Adik saya dulu juga begitu."

"Oh, Kania punya adik?"

Kania mengangguk. "Punya, Bu. Sekarang dia sudah bekerja."

"Kerja di mana kalau ibu boleh tahu?"

Raut wajah Kania berubah murung. Tapi dapat terlihat bahwa Kania berusaha untuk tetap tersenyum agar tidak terlihat sedih di mata Hanum. "Saya tidak tahu, Bu. Sudah lima tahun kami tidak pernah bertemu."

"Kenapa?" Hanum ingin tahu.

"Ah, tidak, Bu." Kania segera mengusap air matanya yang terjatuh. "Maaf. Saya malah jadi curhat."

Hanum mengusap punggung Kania dengan lembut. "Enggak apa-apa. Kalau Kania butuh teman untuk cerita, Kania bisa cerita sama saya. Jangan di pendam sendiri. Nanti malah jadi beban pikiran dan kamu jadi sakit. Anggap saja saya ini seperti ibu kamu sendiri. Saya senang, kok. Apalagi saya memang pengen sekali punya anak perempuan."

"Iya, Bu. Terimakasih."

Hanum tersenyum lembut. Dia sudah tahu tentang masa lalu Kania. Semua tentang Kania sudah ada di tangannya.

Apa yang tidak bisa Hanum dapatkan kalau dia sudah mau akan sesuatu. Perkara mencari identitas Kania, bukanlah satu hal yang sulit baginya.

🌼🌼🌼

Terpopuler

Comments

Lilis Ilham

Lilis Ilham

cerita nya enak dibaca

2023-04-04

0

Nasiati

Nasiati

mama hanum keren. seru ceritany

2023-04-04

0

Herlina Dian

Herlina Dian

ceritanya semakin seru

2022-06-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!