Bab 18

"Shaka dapat tawaran main film coba."

Uhukk!!

Rama yang sedang menikmati soto ayam masakan Kania langsung tersedak mendengar ucapan ucapan Kania.

Kania panik dan langsung memberikan segelas air putih pada Rama. "Hati-hati, dong. Enggak ada yang minta makanannya."

"Apa, sih! Aku kaget dengar ucapan kamu tadi, Ka. Bukan khawatir makanan aku ada yang minta."

Bukannya merasa bersalah, Kania justru tertawa geli sekaligus kasian melihat ekspresi wajah tersiksa Rama yang tersedak soto pedasnya.

Akhirnya Kania diam. Menunggu Rama menyelesaikan makannya tanpa mengajaknya berbicara terlebih dahulu.

Setelah Rama selesai makan dan Kania sudah mencuci piringnya, Kania kembali duduk di hadapan Rama.

"Kamu terima tawarannya?" tanya Rama lagi sambil sesekali meneguk air putih yang ada di hadapannya.

Kania menggelengkan kepalanya. "Enggak, emm... Belum, mungkin. Enggak tahu," jawab Kania bingung.

"Gimana, sih?"

"Ya belum tahu, Rama. Nggak tahu juga mesti gimana. Anak aku jadi artis. Kamu pernah kepikiran sampai situ nggak? Bayangin Shaka jadi artis."

"Enggak." Rama menggeleng tegas. "Bukan nggak setuju, sih. Tapi Shaka pasti punya mimpi sendiri."

"Iya juga, sih."

Kania mengembuskan napas pelan. Tawaran Hanum akan di anggap sebagai angin lalu saja. Dia tak ingin memaksa Shaka untuk melakukan satu hal yang belum tentu dia sukai.

Jadi artis, banyak shooting, kehidupan pribadi banyak di sorot. Belum tentu Shaka akan nyaman dengan hal itu.

"Memangnya siapa yang nawarin buat main film?"

Kania menegakkan tubuhnya dan melihat Rama. "Aku belum cerita, ya, sama kamu kalau Bu Hanum itu ternyata istri pemilik Citra TV?"

"Emang iya?"

Kania mengangguk pasti. "Beneran, Rama. Aku juga bari tahu kemarin."

"Hebat juga, ya, Shaka langsung di lirik sama pemilik TV-nya langsung."

Ya, Kania akui itu. Shaka, anaknya memang hebat. Beasiswa pendidikannya juga berasal dari Hanum dan keluarganya. Beruntungnya Shaka bisa mendapatkan kesempatan emas itu.

Kania bahagia. Shaka memang lahir tanpa ayah. Ada lubang besar di hati Shaka yang tidak bisa di tambal. Yaitu kurangnya kasih sayang dari seorang ayah.

Namun, Kania selalu berusaha menjadi ibu sekaligus ayah bagi Shaka meskipun tidak akan sama rasanya jika ada ayah sungguhan. Apapun untuk Shaka selalu dia usahakan. Kebahagiaan Shaka yang utama bagi Shaka.

Kini, rejeki datang bertubi-tubi untuk Shaka. Bersekolah di sekolah ternama berbasis internasional karena beasiswa, sampai dia kuliah nanti.

Juga tawaran untuk menjadi artis cilik yang Kania yakin bayarannya pun tidak sedikit.

Tapi untuk menjadi artis cilik, Kania tidak menerimanya. Bukan bermaksud menolak rejeki. Tapi banyak pertimbangan kenapa Kania tidak menerima tawaran tersebut.

Kania meletakkan puding mangga buatannya di hadapan Rama yang duduk bersila di atas karpet. Memang ada kursi, tapi Rama dan Kania lebih suka duduk di atas karpet.

"Minggu depan kita ke rumahku, ya?"

Sesendok puding yang hampir masuk ke mulut Kania dia letakkan lagi ke atas mangkuk setelah mendengar ucapan Rama. Bahkan puding yang sudah dia telan pun seperti berhenti di tenggorokan.

Kania masih tak percaya hubungannya dengan Rama akan sejauh ini. Memang Bu Indah, ibunya Rama, sangat baik saat bersikap terhadap dirinya. Tapi Kania tidak yakin dia akan menerima Kania sebagai menantunya.

Apalagi mengingat masa lalu Kania yang kelam. Tidak semua orang menerima masa lalunya meskipun di hadapan Kania mereka selalu bersikap baik.

"Aku... Belum siap." Kania menundukkan kepalanya.

"Apa yang membuatmu tidak siap?" tanya Rama dengan kedua mata yang menelisik wajah Kania.

"Banyak, Ram. Statusku, masa laluku. Tidak semua orang akan menerima bagian hidupku yang itu, Ram."

Mendengar penuturan Kania, Rama mendekatkan wajahnya. Menyentuh dagu Kania dan mendongakkannya. Mata keduanya bertemu.

Rama dapat melihat adanya keraguan dan kekalutan di mata Kania. "Kamu percaya aku?"

Kania mengangguk.

"Semua akan baik-baik saja asalkan kamu tetap di sampingku," ucap Rama pelan. Namun belum bisa meyakinkan hati Kania.

Keduanya masih saling menatap. Rama begitu menikmati wajah cantik yang terpatri sempurna di hadapannya. Belum pernah keduanya sedekat ini sebelumya.

Perlahan wajah Rama semakin dekat. Hembusan napas hangat Rama menerpa wajah cantik Kania. Jantung Kania berdebar kencang seperti akan terlepas dari tempatnya.

Mata Kania terpejam saat kedua benda kenyal itu saling menyatu. Kania begitu menikmati kelembutan yang Rama berikan. Tidak seperti malam itu. Di mana hanya ada rasa sakit dan kekerasan yang Kania rasakan.

🌼🌼🌼

Tristan sedang menikmati makan malam dengan keluarganya. Hal yang sangat jarang terjadi semenjak dirinya sudah bekerja.

Bapak dan ibunya terlihat tenang menikmati makan malam. Kurangnya anggota keluarga mereka seolah di anggap biasa oleh Karno.

Bahkan Tristan heran, sekalipun tak pernah dia dengar bapaknya membicarakan soal Kania kecuali saat dulu menceritakan semuanya kepada Tristan.

Itu yang pertama dan terakhir karena Karno tak mengijinkan siapapun menyebut nama anak yang dianggapnya telah mencoreng nama baik keluarganya.

Kali ini, Tristan sudah dewasa untuk ikut campur dalam urusan itu. Bagaimanapun juga, Kania tetaplah kakaknya. Satu-satunya saudara yang dia miliki. Kalau bukan dia yang turun tangan menyelesaikan semuanya, mau berharap pada siapa lagi?

Tristan menunggu semua selesai makan. Biasanya setelah makan malam bapak dan ibunya akan menonton televisi. Tristan akan menjadikan hal itu sebagai kesempatan untuk berbicara pada bapaknya.

"Kue, Pak." Tristan meletakkan sekotak kue brownies yang dia beli sebelum pulang ke rumah.

Tristan tahu bapaknya tidak begitu suka kue. Karno lebih suka dengan umbi-umbian hasil tanamannya di kebun belakang rumah.

Karno terkekeh kecil. "Iya, nanti bapak makan. Kalau singkong rebus gitu udah bapak habiskan dari tadi."

Tristan tertawa kecil. Sudah hal biasa kalau Karno menolak kue yang di suguhkan kepadanya. Kecuali jika sedang di acara-acara. Baru Karno akan memakannya meskipun terpaksa.

"Mbak Kania gimana kabarnya, ya, Pak, Bu?"

Benar saja, senyum di wajah Karno langsung memudar setelah mendengar nama Kania di sebutkan.

"Sudahlah. Jangan_"

"Jangan sebut nama dia lagi, Pak?" Tristan memotong ucapan Karno membuat Karno melotot ke arahnya. Namun Tristan melengos cuek.

"Bapak pernah bayangin enggak gimana kehidupan Mbak Kania setelah pergi dari rumah ini? Dimana dia tidur, apa yang dia makan, bagaimana keadaan dia padahal lagi hamil. Dan sampai sekarang, apa bapak tidak kepikiran sama sekali tentang Mbak Kania?"

Untaian kata yang di ucapkan Tristan terasa menancap di hati Karno. Tapi hatinya masih gelap. Masih enggan mendengar dan mengucap nama Kania.

"Cukup, Tristan! Kamu tidak tahu rasanya jadi bapak dan ibu. Kelak kamu akan tahu bagaimana susahnya menjaga anak saat kamu sudah menjadi orangtua. Semoga kamu tidak pernah merasakan apa yang bapak dan ibu rasakan karena ulah kakakmu."

"Bukankah dia anak bapak, darah daging bapak? Hanya karena rasa malu bapak tega membuang Mbak Kania. Padahal, saat itu semuanya bisa di bicarakan baik-baik, mencari solusi terbaik untuk Mbak Kania. Bukan malah mengusirnya, tak mau menganggapnya sebagai anak lagi, bahkan tak peduli lagi dengan hidup Mbak Kania."

Tristan masih mendebat ayahnya. Tidak akan dia sia-siakan kesempatan ini untuk membuka hati Karno. Sedangkan Wening hanya bisa menangis tersedu menyaksikan perdebatan suaminya dengan anak lelakinya.

"Aku tahu bapak kecewa. Tapi Mbak Kania itu anak bapak. Bagaimanapun juga kelahirannya Mbak Kania dulu bapak nantikan. Apa rasa malu bapak lebih besar daripada rasa sayang untuk anak sendiri? Sehingga bapak lebih memilih membuangnya daripada memberinya kesempatan."

"Cukup!!!" Karno menggebrak meja di hadapannya sampai gelas yang ada di atas meja terguling dan menumpahkan air yang ada di dalamnya.

Wening berjengit kaget mendengar kerasnya suara gebrakan tersebut. Air matanya menetes semakin deras.

"Sudah bapak bilang, jangan lagi membahas anak itu. Dia sudah_"

"Cukup, Pak." Wening bersuara pelan. Memberanikan diri untuk menyela ucapan Karno. Selama ini dia hanya diam karena suaminya selalu marah jika dirinya menyinggung soal Kania.

Namun, kali ini dia ada mengikuti langkah Tristan untuk membuka hati Karno.

"Sudah cukup selama ini ibu diam. Ibu diam bukan berarti membenarkan tindakan bapak. Tapi karena ibu tidak tahu harus kemana mencari Kania. Harus kepada siapa bertanya tentang keberadaan Kania." Wening berhenti sejenak. Mengusap air matanya yang terus berjatuhan. "Ibu yang mengandungnya selama sembilan bulan, Pak. Ibu yang berjuang melahirkannya. Hati ibu sakit mendengar bapak mencaci maki Kania. Hati ibu sakit melihat bapak memperlakukan Kania seperti dulu. Ibu kecewa sama Kania, sangat kecewa karena dia yang bersalah dalam hal ini. Tapi ibu juga tidak rela kalau anak yang ibu lahirkan di perlakukan seperti itu. Apalagi oleh bapaknya sendiri."

Tanpa sepatah katapun, Karno pergi meninggalkan ruang keluarga tanpa membalas ucapan Wening.

Tristan hanya bisa menghela napas panjang melihat bapaknya yang keras kepala dan masih tetap pada keputusannya untuk tidak menganggap Kania pernah ada dalam keluarganya.

🌼🌼🌼

eh, baru nongol lagi 🙈

follow ig aku yuk, dhee.author untuk mendapatkan info update cerita-cerita aku. 🥰🥰

0h iya, aku juga punya beberapa cerita di ***. kalau ada yg minat boleh lah mampir ke sana. 😂😂 nama akun Diandra. Terimakasih 😊😊

Terpopuler

Comments

Juli Tutik

Juli Tutik

bosen. nunggu Kania bertemu depan

2023-04-10

0

Herman Besa

Herman Besa

semoga pak Karno bisa luluh hatinya memaafkan anak nya

2023-04-05

0

Nadia Putry Nadia Putry

Nadia Putry Nadia Putry

kok jdi sesak gni,tnpa trsa air mta kluar bgtu sja😭😭😭😭😭😭

2022-09-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!