Bab 3

Dari kejauhan, Kania menatap kedua orangtuanya yang sedang duduk di depan rumah sambil merapikan bibit tanaman ke sebuah nampan.

Biasanya, bibit-bibit tersebut akan di jual ke para petani lainnya. Dan yang sebagian kecil di tanam sendiri di ladang kecil yang menjadi sumber mata pencaharian mereka selama ini.

Air matanya mulai berjatuhan. Kania kecewa pada dirinya sendiri yang tak bisa menjaga dirinya. Juga mengecewakan kedua orangtuanya.

"Kania? Kamu pulang, Nak? Kenapa berdiri di situ?"

Buru-buru Kania menghapus air matanya saat ibunya memergoki dirinya tengah berdiri di dekat pagar rumahnya.

Kania langsung berjalan cepat dan memeluk ibunya dengan erat. Membuat ibu dan ayahnya saling berpandangan, bingung.

"Kania kangen sama ibu dan bapak."

Wening, ibu dari Kania, langsung tertawa kecil mendengarnya. Memang sudah tiga bulan terakhir Kania tidak pernah pulang ke kampungnya dengan alasan sibuk kuliah.

Wening dan Karno memahami kesibukan Kania.

"Ya sudah, ayo masuk dulu. Kamu nggak bilang kalau mau pulang. Jadi ibumu nggak masak banyak, deh," ucap sang ayah sambil mengusap rambut Kania.

Hati Kania semakin hancur melihat mata berbinar kedua orangtuanya. Pasti mereka bangga anaknya bisa kuliah di kota. Tapi kenyataannya, Kania memupuskan semua harapan kedua orangtuanya.

Kania dan Wening berjalan beriringan memasuki rumah kecil mereka. Sedangkan Karno membereskan pekerjaannya dan segera menyusul anak dan istrinya masuk ke dalam rumah.

Sudah lama sekali mereka tidak makan bersama. Tentu saja mereka rindu akan hadirnya Kania di tengah-tengah mereka.

"Ibu tadi cuma masak sayur lodeh sama ikan asin. Makanan kesukaan kamu, to? Ayo di makan."

Kania tersenyum dan langsung mengambil sepiring nasi dan juga sayur dan lauknya. Masakan ibunya memang selalu menggoda lidahnya. Selalu terasa enak meskipun hanya masakan sederhana.

Dalam hati Kania berdoa, semoga momen makan siang kali ini tidak seperti kemarin saat bersama Dita. Kania mual dan muntah saat makan masakan Dita.

Sesendok demi sesendok Kania memasukkan nasi ke dalam mulutnya. Beruntung, kali ini aman. Bahkan Kania harus menambah lagi sampai bapak dan ibunya tertawa kecil melihatnya.

"Lapar apa doyan, Nduk?" goda Karno.

"Tumben makannya banyak banget. Nggak diet lagi?" timpal Wening.

Kania tersenyum dan langsung menghentikan tangannya yang tengah menyendok nasi. "Masakan ibu enak banget. Kania udah lama nggak makan masakan ibu. Kangen."

Wening tersipu di puji oleh anaknya sendiri. "Ya sudah, habiskan saja kalau begitu. Nanti ibu masak lagi."

Kania mengangguk dan kembali melanjutkan makannya.

"Di rumah berapa lama, Nduk?"

"Dua hari aja, sih, Pak. Senin udah balik karena siangnya ada kuliah."

"Ya sudah. Habis ini istirahat. Bapak sama ibu mau ke sawah lagi habis ini."

Kania mengangguk. Setelah acara makan siang bersama mereka selesai, Kania langsung masuk ke kamarnya berniat untuk tidur siang.

Rumah begitu sepi setelah kedua orangtua Kania pergi ke sawah. Adik laki-lakinya sedang di karantina untuk mengikuti paskibraka tingkat provinsi.

Bangga dengan pencapaian Tristan.

Tapi sesaat kemudian, Kania tersadar. Sekarang hanya Tristan yang bisa membanggakan kedua orangtuanya. Tidak ada lagi yang bisa di harapkan dari Kania.

Nasib dirinya dan perkuliahannya sudah di ujung tanduk. Tinggal menunggu saat itu datang. Saat di mana semua orang akan tahu bahwa dia tengah hamil, di luar nikah.

Malam harinya, Kania dan kedua orangtuanya berbincang hangat di depan tv. Sambil menonton tv, duduk di atas karpet dan ada tempe mendoan sebagai cemilan mereka.

Kania berusaha menutupi beban di hatinya dengan tawa. Tapi dia masih heran, kenapa makanan yang masuk ke dalam mulutnya tidak ada yang keluar lagi. Tidak ada yang dimuntahkan lagi seperti kemarin-kemarin.

Ada untungnya bagi Kania. Setidaknya, orangtuanya tidak curiga kenapa dia muntah-muntah terus.

"Kuliah lancar, Ka?"

Kania mengangguk pasti. "Lancar, Bu. Ini lagi ujian. Mungkin dua minggu lagi udah liburan."

"Kalau libur berarti di rumah terus, dong?"

"Iya, Pak, sepertinya."

"Wah, nanti ada yang bantu kita di sawah, Bu. Semoga saja nggak takut kulitnya hitam kena sinar matahari, ya, Bu?" ucap Karno di akhiri dengan tawanya.

Wening tertawa keras. "Kalau bantuin nggak apa-apa, Pak. Kalau malah ngerusak bagaimana? Dia kan, nggak pengalaman di sawah, Pak."

Kania mengerucutkan bibirnya mendengar godaan-godaan dari kedua orangtuanya. "Ih, ngeremehin Kania, ya? Kania bisa, timbang tanam seledri doang."

Kedua orangtuanya terkekeh kecil. Melihat anak perempuannya kini tumbuh dewasa dan membanggakan mereka, membuat hati mereka begitu bahagia. Setidaknya, itu yang ada di dalam pikiran mereka saat ini. Entah bagaimana kalau sampai orangtua Kania mengetahui tentang apa yang Kania sembunyikan.

"Tugas Kania dan Tristan hanya belajar. Bapak dan ibu tidak memaksa untuk membantu kami di sawah kalau kalian sedang libur. Yang terpenting, jangan kecewakan kami ya, Nduk. Kamu juga harus bisa jaga diri. Kami tidak bisa setiap saat mengawasi kamu. Jadi tolong kerjasamanya, ya. Semua juga untuk kebaikan kamu sendiri."

Ingin rasanya Kania menangis mendengar ucapan sang ayah. Tapi Kania tidak ingin mereka curiga. Hal seperti itu sudah biasa di ucapkan oleh ayahnya. Akan aneh jadinya kalau tiba-tiba Kania menangis mendengar ucapan yang sudah sering dua dengar.

"Maafkan aku, Pak, Bu. Aku sudah mengecewakan kalian," ucap Kania dalam hatinya.

***

"Duh, anak gadis, kok, kamarnya berantakan begini. Bangun, Kania. Sudah siang." Wening menggerutu sambil membereskan kamar Kania yang berantakan.

Sedangkan pemilik kamar sedang tertidur pulas meskipun waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi.

"Bangun, Nduk."

"Iya, ibu." Kania menggeliatkan tubuhnya. Menjawab pertanyaan ibunya dengan suara khas orang bangun tidur.

Brukk!!

Tak sengaja Wening menjatuhkan tas milik Kania. Membuat isi tasnya keluar dan jatuh ke lantai.

Tubuh Wening menegang saat menemukan benda yang tak asing lagi baginya. Bahkan bukan hanya satu. Ada empat benda dengan nama yang sama meskipun dengan merek yang berbeda.

Tangannya gemetaran mengambil benda tersebut dari atas lantai.

Dalam hati dia begitu ketakutan. Otaknya berpikir buruk akan anak gadisnya.

"Ini milik siapa, Ka?" tanya Wening pelan. Tenggorokannya seperti tercekat, tak mampu berucap.

Kania yang segera tersadar akan benda yang dia sembunyikan. Sebelumnya tadi dia juga mendengar ada sesuatu yang jatuh, tapi belum kepikiran akan testpack yang ada di tasnya.

Benar saja. Saat Kania terbangun, empat testpack yang ada di dalam tasnya sudah berada di tangan ibunya.

Jantung Kania serasa lepas dari tempatnya. Kali ini, habis sudah riwayatnya. "I - it - itu..."

"Milik siapa, Kania?" bentak Wening membuat mata Kania terpejam sempurna. "Jawab!"

Kania menunduk. Air matanya sudah berjatuhan.

"Jangan bilang ini punya kamu, Kania!" ucap Wening dengan penuh harap. Berharap apa yang ada di pikirannya salah. Berharap benda yang dia pegang bukan milik anaknya.

"Jawab, Kania! Kenapa diam saja?" Wening mengguncang tubuh Kania.

Kania semakin terisak. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan bahwa itu miliknya. Kania tidak siap melihat kemarahan kedua orangtuanya. Tapi Kania juga tidak bisa lagi menghindar.

Hari itu kini telah tiba. Hari di mana kedua orangtuanya akan mengetahui perihal kehamilannya.

"I - itu. Itu punyaku, Bu."

"Ya Allah... Astaghfirullahaladzim..."

Tubuh Wening terduduk lemas di pinggiran ranjang Kania. Tangannya mengurut dadanya pelan merasakan nyeri karena kenyataan yang baru saja dia dapatkan.

"Maafkan, Kania, Bu. Kania udah mengecewakan bapak sama ibu."

Kania memegang kedua tangan ibunya, namun dengan cepat Wening menepisnya. Kekecewaannya sudah teramat dalam. Anak yang dia banggakan sudah melakukan kesalahan di luar batas.

"Ada apa, Bu, kenapa ribut-ribut?" Karno baru saja masuk ke kamar Kania. Membuat jantung Kania berdegup lebih kencang.

Melihat kemarahan ibunya saja Kania sudah ketakutan setengah mati. Apalagi di tambah dengan kemarahan ayahnya nanti.

Kania hanya tinggal menunggu detik. Dan akhirnya...

"Kania hamil, Pak," ucap Wening pelan sambil menunjukkan testpack yang ada di tangannya.

Satu, dua, tiga...

"Kurang ajar!!!"

Plak!

Teriakkan penuh amarah di susul dengan tamparan keras mendarat di pipi Kania.

"Maafkan Kania, Pak." Kania segera bersimpuh di kaki Karno. Sakit dan panas di pipinya tak dia hiraukan lagi. Sakit yang di rasakan kedua orangtuanya lebih parah dari tamparan yang di berikan oleh Karno.

"Hamil anak siapa kamu? Jawab!!!"

Kania menggeleng di sela isakannya.

"Apa maksud kamu?"

Dengan napas yang terengah-engah karena tangisannya, Kania mencoba untuk menjawab. "Ka - Kania tidak tahu, Pak."

"Perempuan macam apa kamu sampai hamil saja tidak tahu siapa ayahnya? Astaghfirullahaladzim... Ya Allah..."

Karno terduduk lemas dengan bersandar pada lemari. Air matanya turun sebab dia merasa telah gagal menjadi orangtua.

"Apa yang kamu lakukan di luar sana, Nduk? Kenapa kamu jadi wanita seperti ini?"

Kania tidak tahu harus bagaimana dia menjelaskannya. Dalam situasi seperti ini, penjelasan sedikit saja tak mungkin di dengarkan.

Hampir sepuluh menit lamanya ketiga orang itu terdiam dengan pikiran mereka masing-masing. Kania dan kedua orangtuanya masih sama-sama menangis. Menangisi nasib Kania yang hamil di luar nikah. Tanpa tahu siapa yang telah menanam benihnya.

"Pergi kamu dari sini! Aku tak sudi memiliki anak yang memalukan seperti kamu! Pergi!"

Dengan kasar Karno menyeret Kania keluar dari rumahnya. Tak peduli dengan tatapan penuh tanya dari para tetangga yang tak sengaja melintas di depan rumah mereka.

"Pak, maafkan Kania. Kania salah, Pak. Tapi tolong jangan berkata seperti itu. Kania sayang sama bapak dan ibu."

"Pergi dari sini. Aku menganggap kamu tidak pernah ada di dalam keluarga ini. Bikin malu!"

Karno kembali masuk ke dalam rumahnya. Mengunci pintunya tak peduli dengan teriakan Kania yang meminta maaf dan minta untuk di bukakan pintu.

🌹🌹🌹

Terpopuler

Comments

Audrey Chanel

Audrey Chanel

menarik nih ceritanya lanjut nih🥰🥰🥰

2023-04-17

0

hanie tsamara

hanie tsamara

sifat orang tua berbeda2
ada yg mau denger..ada yg cuek..ada yg emosi tidak mau denger penjelasan sang anak..

termasuk karina yg orangtua tdk mau mendengar dulu penjelasann anak..

semangat thoor💪🏻💪🏻

2023-04-04

0

Herman Besa

Herman Besa

semoga orang tua Kania bisa memaafkan putri nya

2023-04-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!