Bab 19

Semenjak kejadian tempo hari di ruang tamu, Kania sedikit menjaga jarak dengan Rama. Bayangan ciuman Rama yang melenakan dirinya terus berputar di kepalanya. Seperti menonton film yang di sukai, dan ingin mengulanginya lagi.

"Aduh! Ini otak udah nggak beres," gumam Kania sambil memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci.

Memang tidak ada yang lebih dari sekedar ciuman. Kania langsung memalingkan wajah dengan napas terengah saat Rama melepaskannya.

Dia dan Rama berusaha menahan diri agar tidak terjadi hal-hal yang lebih jauh. Rama juga langsung meminta maaf setelahnya. Katanya, Rama merasa bersalah karena terlalu berani melakukan hal tersebut.

Untuk datang ke rumah Rama, Kania masih memikirkannya. Memang usianya sudah cukup untuk melangkah lebih jauh lagi. Sudah cukup untuk menikah. Tapi masa lalu yang pernah terjadi dan masih terus membayangi setiap langkah Kania.

Harusnya, Rama berhak mendapatkan orang yang lebih baik dari dirinya. Dalam segala hal.

***

Kania menghentikan motornya di pinggir jalan. Ponselnya berdering berkali-kali membuatnya penasaran. Siapa yang meneleponnya sampai sepertinya tidak sabar sekali.

"Mbak Imas," gumamnya pelan setelah melihat nama yang tertera di layar handphonenya.

"Halo, Mbak. Ada apa?"

"Halo, Ka. Akhirnya kamu angkat telpon Mbak."

"Ada apa, Mbak?"

"Ka."

"Iya, Mbak?" Kania semakin bingung mendengar suara Imas yang terdengar begitu panik.

Terdengar juga orang berteriak. Suara mereka saling bersahutan.

"Ka, toko kamu kebakaran."

"Apa?" Kania tak bisa berkata-kata.

"Iya, Ka. Mbak udah kirim rekaman cctv-nya ke kamu. Itu rekaman cctv-nya dari tempat fotokopian Mas Anang. Sumber api dari bagian dapur."

"Ya Allah..." Kania mengusap air matanya yang berjatuhan. Kepalanya mendadak berat mendapati kenyataan itu.

"Yang sabar, ya, Ka. Mbak minta maaf karena nggak bisa selamatkan semuanya." Ucapan terakhir Imas tak di balas apa-apa sampai Kania mematikan teleponnya.

Kania terduduk lemas di atas motor. Handphone di genggamannya memutar rekaman cctv di mana toko miliknya habis di lalap api.

Toko itu satu-satunya sumber penghasilannya. Selama di pegang Imas, penjualan semakin meningkat.

Tapi sekarang toko itu sudah lenyap. Dari mana lagi Kania harus mendapatkan uang untuk biasa kehidupannya bersama Shaka?

Usaha yang dia rintis selama beberapa tahun terakhir lenyap dalam semalam saja. Padahal, itu hasil usaha kerasnya siang malam di sela menjaga Shaka waktu masih bayi.

Ya Allah... Ujian apa lagi ini?

Apa salahku sehingga ujian yang Engkau berikan bertubi-tubi tiada henti?

"Kamu kenapa?"

Kania mendongak setelah mendengar seseorang berbicara. Entah kepada siapa. Tapi di tempat Kania berhenti hanya ada dirinya seorang.

"Bukan urusan kamu," tukas Kania yang memandang sinis lelaki yang berdiri di hadapannya.

Kania buru-buru menyalakan motornya meskipun tangannya masih gemetaran setelah mendapat telepon dari Imas.

Dia ingin segera pergi dari hadapan lelaki sumber semua masalah di dalam hidupnya.

"Tunggu!" Devan menahan motor Kania yang sudah mulai di jalankan. Kania memandang sinis tanpa ingin bertanya ada apa.

"Ijinkan aku untuk bertemu dengan anakku."

Kania tertawa sinis. "Anak?" tanyanya yang di balas anggukan kepala oleh Devan. "Anak saya tidak memiliki ayah. Permisi."

Tanpa memperdulikan Devan yang masih berusaha menahannya, Kania menjalankan motornya dengan cepat menuju sekolah Shaka karena sudah waktunya Shaka pulang sekolah.

Mencoba untuk tetap tersenyum di hadapan Shaka. Kania tidak ingin Shaka bertanya soal kenapa bundanya menangis. Anak itu terlalu sensitif jika menyangkut tentang bundanya. Mungkin, karena sejak kecil hanya Kania yang dia miliki.

***

Kania menatap sedih sumber penghasilannya yang kini sudah menjadi arang bersisa tembok yang tak bisa terbakar api.

Di temani Rama, lagi-lagi Rama yang selalu ada, Kania mendatangi toko kuenya.

Hanya bisa menangis, itu yang bisa Kania lakukan saat ini. Meskipun tangisan tidak akan mengembalikan semuanya seperti semula, setidaknya dengan menangis bisa sedikit melegakan sesak yang dia rasakan.

Kania tidak bisa berpikir akan bagaimana kehidupannya setelah ini. Otaknya masih buntu. Untuk memperbaiki semuanya pun dia belum memiliki modal.

Ini bukan memperbaiki. Tapi membangun ulang toko kuenya. Pemilik bangunan sepenuhnya menyerahkan tanggungjawab pada Kania.

Karena bangunan di sewa oleh Kania, jadi Kania yang di minta bertanggungjawab dalam hal ini.

"Dugaan sementara adanya korsleting listrik di bagian dapur, Ka. Itu hasil olah TKP yang dilakukan kemarin. Maaf, Mbak nggak bisa maksimal menjaga keamanan toko, Ka."

Kania menggeleng dan tersenyum tegar. "Bukan salah Mbak Imas. Semua sudah takdir. Sudah jalannya seperti ini."

"Lalu apa rencana kamu setelah ini?" Giliran Rama yang bersuara. Tangan Rama mengusap air mata wanita yang kini berada dalam rangkulannya.

Kania menggeleng pelan. "Belum tahu. Yang pasti ganti bangunan ini dulu, Ram. Entahlah," ujarnya putus asa.

Rama memutuskan untuk mengajak Kania pulang terlebih dahulu. Sebelum Shaka yang tertidur di dalam mobil terbangun dan melihat toko kue milik bundanya terbakar.

Namun, sebelumnya mereka harus mendatangi rumah Pak Tyo, pemilik bangunan tersebut untuk menandatangani surat pernyataan bahwa Kania akan bertanggungjawab.

Sebagai uang muka pembangunan, Kania menyerahkan sedikit tabungannya.

***

Setelah apa yang terjadi, Kania rasa ini adalah pertanda bahwa Kania perlu menerima tawaran Bu Hanum. Kania tak memiliki banyak waktu lagi karena harus membangun toko itu lagi.

Dan satu-satunya peluang yang ada di depan mata adalah dengan menerima tawaran Bu Hanum.

Kedengarannya seperti memanfaatkan Shaka dalam hal ini. Tapi memang Kania tidak memiliki pilihan lain.

Lagipula, hal ini tidak akan membebankan Shaka dalam hal waktu dan tenaga. Tapi bayarannya lumayan.

Bukan, ini bukan kasus eksploitasi anak. Kania tidak akan memaksa Shaka jika Shaka tidak mau melakukannya.

Namun, tidak ada salahnya untuk mencoba bukan?

🌼🌼🌼

Setelah mendapat telepon dari Kania yang mengatakan bahwa dia sudah setuju jika Shaka menjadi pemeran utama, Hanum menyambutnya dengan antusias.

Hanum segera memerintahkan satpam rumahnya untuk menurunkan foto keluarganya yang ada Devan di sana.

Hanum sudah berjanji bahwa Shaka akan di buat senyaman mungkin. Jadi produser akan menemui Shaka langsung di rumah Hanum.

Sebab itu Hanum tak ingin Kania tahu kalau Devan adalah anaknya. Bukan tak ingin, tapi memang belum saatnya. Kania dan Shaka belum benar-benar masuk ke dalam perangkapnya.

Bukan perangkap jahat. Tapi Hanum hanya ingin Kania dan Shaka, cucunya bisa hidup dengan layak seperti dirinya. Kalau bisa, juga menikah dengan Devan. Harus bisa. Ya, Kania dan Devan harus bisa menikah. Itu tekad Hanum.

Hanum juga sudah meminta seluruh asistennya untuk bekerja keras hari ini. Sebagian membelikan mainan untuk Shaka. Hanum meminta semua di beli, tanpa terkecuali.

Holang kaya mah bebas!!!

Dan koki-koki dirumahnya besok di minta untuk memasak masakan yang paling lezat.

"Eh, itu ngapain fotonya di turunin?" seru Devan yang melihat Tony menurunkan fotonya yang terpajang di ruang keluarga.

Saat memasuki rumah, Devan sudah di suguhkan pemandangan yang luar biasa. Rumahnya sudah seperti taman bermain. Segala macam mainan ada.

"Ini ada apa, sih, kok, rumah jadi begini? Mama mana?" tanyanya pada Tony.

"Ada di taman belakang, tuan."

Devan segera mencari Hanum yang katanya ada di taman belakang. Dan pemandangan lebih mengejutkan pun kembali terlihat di depan mata.

Ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, dan yang lainnya sudah berdiri tegak di atas rumput taman mereka.

Kolam renang sudah menjadi tempat mandi bola. Penuh dengan bola plastik kecil yang warna-warni.

"Mama mau mendirikan PAUD dan TK di sini apa gimana?"

Hanum menoleh. Memandang anaknya dengan senyuman yang terpatri sempurna di wajahnya. "Bagus, kan?"

"Kayak sekolahan TK," celetuk Devan yang langsung di balas anggukan kepala oleh Hanum.

"Kenapa memangnya? Mau mandi bola?" Hanum menunjuk kolam renang. "Atau main perosotan?" Tunjuknya lagi pada perosotan.

"Atau ini." Hanum mengambil kuda-kudaan yang ada di dekat dinding dan meletakkannya di hadapan Devan. "Main kuda-kudaan," kata Hanum sambil menepuk-nepuk punggung kuda-kudaan tersebut.

"Ma, Devan bukan anak kecil lagi. Dan di rumah nggak ada anak kecilnya. Kenapa jadi seperti ini, sih? Foto-foto di depan juga di turunkan semua yang ada Devan-nya. Kenapa? Mama sama papa udah nggak nganggap aku anak lagi?"

"Ih, mulutnya." Hanum mencubit bibir Devan dengan gemas. "Kayak cewek, sensitif banget jadi orang. Besok Kania dan Shaka akan ke sini. Dia sudah menerima tawaran Mama agar Shaka menjadi pemeran utama projek film terbaru yang temanya anak-anak itu. Jadi Mama belum mau Kania tahu kalau kamu itu anak Mama. Bisa gagal semua rencana yang sudah Mama susun. Jadi selama Kania dan Shaka ada di sini, kamu jangan pulang ke rumah ini."

Devan hanya bisa melongo mendengar setiap kata yang di ucapkan oleh Hanum. Kania dan Shaka akan ke sini? Kania sudah menerima tawaran mamanya?

"Terus Devan harus pulang kemana, Ma?"

"Ya terserah kamu." Hanum melengos tak peduli. Bukan hal yang perlu di khawatirkan jika Devan tidak pulang ke rumah. Dia bisa tidur di mana saja. Mau menyewa hotel bintang delapan belas pun bisa.

Devan menghela napas panjang. "Ini yang anak mama itu aku atau Kania, sih?"

🌼🌼🌼

Pada nungguin ya? maaf baru sempat up. kemarin sibuk bersih-bersih, mau buka kios jus buah. mohon doanya ya temans 😊😊🥰🥰

Terpopuler

Comments

Siti Bunaenah

Siti Bunaenah

kok devan gak minta maaf ke kania dulu ya..br nanyain anaknya..

2023-07-30

0

Fitriyani

Fitriyani

biasanya org kaya kn punya apartment tu,kamu g punya y Dave,smpe bingung gt mau plng kmn🤣

2023-04-22

0

Rafel

Rafel

ibu janum berhati mulia yaaa

2022-06-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!