Bab 14

"Apa yang kamu rasakan, Ka?"

"Aku semakin hancur, Ram. Lebih hancur dari saat dulu aku mengetahui bahwa aku tengah hamil."

Kania menciumi wajah Shaka yang sudah tertidur pulas di pangkuannya. Setelah puas bermain di alun-alun dan Shaka kelelahan, kini anak itu sudah memejamkan matanya.

Hanya Shaka yang menjadi penguatnya sekarang. Hanya Shaka yang dia miliki sekarang.

Andaikan dulu Kania benar-benar menggugurkan kandungannya, mungkin dia tidak akan pernah lagi bisa memiliki anak seperti Shaka.

Pintar, cerdas, dan dia begitu sayang dan peduli pada Kania. Jiwa pelindungnya sudah tumbuh sejak dini. Buktinya, Shaka menangis ingin turun dari mobil dan berniat untuk memarahi Wening dan Karno yang di anggap telah membuat Kania menangis.

"Kadang aku berpikir, Ram. Apa orangtuaku benar-benar menganggapku tidak ada lagi di dunia ini, ya? Kamu lihat tadi, kan? Wajah mereka biasa saja seolah tidak pernah kehilangan anaknya."

"Ssstt!" Rama menempelkan jarinya pada bibir Kania. Meminta Kania untuk berhenti bicara yang tidak-tidak. "Jangan bicara seperti itu. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di dalam hati orang lain."

Rama menatap lekat mata sayu Kania. Mata yang memancarkan keputusasaan. "Mereka pasti kehilangan kamu, merindukan kamu, mengkhawatirkan kamu, sedalam apapun rasa kecewa mereka kepada kamu. Tapi, hidup harus tetap berjalan, bukan? Bukan berarti mereka tidak merasa kehilangan kamu hanya karena mereka tersenyum bahagia seperti tadi. Mereka hanya memendam kesedihan mereka. Mencari hiburan agar mereka tak berlarut dalam kesedihan. Percayalah, Kania. Di balik kekecewaan mereka, kamu tetaplah anaknya yang selalu mereka sayangi dan mereka rindukan."

Kania tidak tahan untuk tidak meneteskan air mata.

Rama segera merengkuh tubuh Kania dan Shaka agar masuk ke dalam pelukannya. Kania terisak di dada Rama.

Sampai sekarang, Kania masih berpikir, kenapa takdir hidupnya seperti ini?

Kania tidak pernah menyesali kehadiran Shaka. Namun Kania menyesalkan cara Allah menghadirkan Shaka ke dalam hidupnya.

Entah sampai kapan dirinya harus pergi jauh seperti sebelumnya. Meninggalkan Surabaya dan orang-orang tersayang yang ada di dalamnya.

Apakah selamanya, atau semua akan segera berakhir? Entahlah. Kania hanya bisa berharap agar orangtuanya bisa menerima dirinya kembali. Memaafkan Kania dan menerima Shaka sebagai cucu mereka.

"Aku menyayangimu dan Shaka, Ka. Ijinkan aku untuk menjadi pelindung kalian. Dalam keadaan apapun."

Ucapan Rama semakin membuat hati dan pikiran Kania menjadi tak terkendali. Di satu sisi, Kania merasa nyaman berada di dekat Rama. Pun dengan Shaka yang selalu bahagia jika bersama Rama.

Tapi di sisi lain, Kania merasa tidak pantas untuk bersama Rama. Rama berhak mendapatkan yang lebih baik dari dirinya.

Wanita kotor yang hanya menumpang hidup pada Rama selama bertahun-tahun.

"Kamu tahu jawaban aku tetap sama, Rama. Cari wanita yang lebih baik dari aku."

"Bagiku kamu yang terbaik. Kamu bersedia, Allah dan semesta merestui. Itu sudah cukup bagiku."

Kania bungkam. Tidak bisa lagi membalas ucapan Rama yang seolah tak ingin di bantah.

***

Seringnya Kania membacakan buku kepada Shaka menjelang tidur, membuat anak itu menyimpan banyak memori di otaknya.

Saat di minta untuk mengikuti lomba dongen atau kisah nabi, dengan fasih Shaka menceritakan kisah salah satu nabi. Bahkan tanpa persiapan sebelumnya.

Biasanya, lomba anak seperti ini menentukan sendiri kisah nabi siapa atau dongeng apa yang akan di ceritakan. Tapi kali ini di tentukan oleh juri saat itu juga. Saat peserta lomba sudah berdiri di hadapan para juri.

Hanum, Bram yang sudah mengetahui perihal cucunya, para juri, dan juga Kania dan Bu Vanya memandang takjub Shaka yang sedang bercerita tentang kisah nabi Yusuf AS dengan lancar dan begitu rinci.

Kania begitu bangga dengan buah hatinya. Dia tumbuh tanpa ayah yang entah itu siapa dan di mana sekarang. Tapi dia mampu membanggakan Kania dengan kecerdasan otak yang di milikinya.

Bukan di manfaatkan kecerdasannya, tapi memang kecerdasannya yang perlu mendapatkan apresiasi.

"Maasyaaallah... Anak bunda hebat sekali, Nak." Kania menciumi wajah Shaka, memandang Shaka dengan bangga saat Shaka sudah turun dari panggung.

Shaka tertawa polos. " Tadi nggak ada yang salah kan, bunda? Waktu nabi Yusuf bermimpi tentang bintang, matahari dan bulan, bintangnya ada sebelas, kan, bunda?"

Kania mengangguk pasti. "Betul, sayang. Shaka anak hebat, anak pintar, anak cerdas. Bilang apa, Nak?"

"Alhamdulillah. Maasyaaallah... Semoga kecerdasan Shaka bermanfaat bagi orang lain."

"Aamiin."

"Aamiin," ucap Kania dan Bu Vanya yang juga memandang Shaka dengan tatapan bangganya.

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya. Apabila memiliki ilmu, jangan pelit untuk berbagi. Amalkan dan ajarkan. Kelak akan ada pahala yang mengalir dari setiap ilmu yang kita ajarkan kepada orang lain.

🌼🌼🌼

Berulangkali Devan memutar video rekaman saat Shaka bercerita di depan juri. Juga saat Kania memeluk Shaka dengan bangga.

Sebagai ayah biologis Shaka, Devan juga ingin di sana. Memeluk putra kebanggaannya setelah turun dari panggung.

Devan bisa melihat bagaimana takjubnya orang-orang memandang Shaka. Dan harusnya juga mereka tahu, bahwa anak yang cerdas itu adalah anaknya, darah dagingnya. Hasil dari benihnya yang tertanam di dalam rahim Kania.

Dari sini Devan patut berbangga diri. Keturunannya tidak di ragukan lagi kualitasnya. Ketampanan dan kecerdasan darinya seutuhnya menurun pada anaknya, Shaka.

Sudah bisa di lihat keturunan selanjutnya akan seperti apa. Tentu tak jauh dari Shaka sekarang.

Devan ingin berlari ke tempat acara itu. Tapi lagi-lagi ibunda ratu belum mengijinkan Devan untuk menemui Shaka. Entah sampai kapan.

Atau mungkin Devan perlu pemanasan terlebih dahulu. Menemui ibu dari anaknya, mungkin. Permintaan maaf dan rasa terimakasih telah membiarkan Shaka tumbuh Devan rasa cukup untuk berbasa-basi dengan Kania.

🌼🌼🌼

Shaka sedang asyik bermain dengan teman-teman barunya. Sedangkan Kania dan Vanya tengah mengobrol dengan Hanum dan Bram selaku pemilik acara.

"Saya begitu kagum dengan Shaka, Bu Kania. Dia ana yang sangat cerdas," puji Bram dengan tulus.

Kania tersenyum tipis. "Terimakasih, Pak," ucapnya membalas pujian Bram.

"Bu Kania ibu yang hebat. Buktinya, anaknya bisa sehebat ini. Anak yang hebat pastilah lahir dari ibu yang hebat pula."

Kania hanya tersenyum sungkan. Andaikan mereka tahu bagaimana kehidupan Kania dulu, pasti mereka tidak akan sudi memuji Shaka dan Kania seperti ini. Itu yang ada di pikiran Kania.

Yang Kania tahu, Bram dan Hanum bukanlah siapa-siapa. Mereka tidak tahu bagaimana Kania bersusah payah menata hidupnya kembali setelah semua yang pernah dia lewati.

Dan yang ada di pikiran Bram dan Hanum, Kania adalah sosok hebat yang bisa melewati ujian kehidupannya. Hidupnya yang dulu indah telah di hancurkan oleh anak semata wayang mereka.

"Suaminya kerja apa, Ka?" tanya Hanum memancing reaksi Kania.

Senyum di bibir Kania meredup mendengar pertanyaan itu. Lagi. Sering orang bertanya kemana suaminya. "Saya single parent, Bu." Hal yang sama juga menjadi jawaban kala orang bertanya di mana suaminya.

"Maaf kalau pertanyaan saya membuatmu tidak nyaman, Ka."

Kania mengangguk dan tersenyum getir. "Tidak apa-apa, Bu. Sudah biasa," jawabnya sarkasme. "Saya permisi dulu, Bu. Mau ke kamar mandi sebentar." Pamit Kania untuk menghindar.

Bram dan Hanum mempersilahkan Kania untuk beranjak.

***

Kania tidak benar-benar ke kamar mandi. Dia hanya ingin pergi dari hadapan Bram dan Hanum untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupannya. Dia takut akan berpengaruh pada nilai Shaka.

Kadang, orang memandang sebelah mata dengan kehidupan yang di alami Kania. Dan Kania tidak ingin kali ini hal itu terjadi.

Mata Kania menatap lurus ke dapan. Pandangannya kosong. Ada banyak hal yang berputar di kepalanya. Dan jujur, itu membuatnya lelah.

Hati dan pikirannya cukup lelah untuk menjalani kehidupannya. Untung saja ada Shaka yang menjadi penguatnya.

"Aduh!"

"Eh, maaf, maaf. Saya tidak sengaja."

Kania mencoba untuk berdiri kembali setelah seseorang menabraknya dengan begitu keras. Entah salah siapa. Salah Kania yang melamun, atau orang itu yang tidak melihat Kania.

"Enggak apa-apa," jawab Kania setelah dia kembali berdiri.

Jantung Kania terasa lepas saat melihat sosok yang ada di depannya. Napasnya seperti berhenti di tenggorokan. Dadanya bergemuruh hebat. Matanya memanas seiring dengan buliran bening yang menetes di pipinya.

Lelaki itu, kini ada di hadapannya.

Lima tahun berlalu tak membuat Kania lupa dengan wajah itu.

Devan. Lelaki yang telah menghancurkan kehidupannya. Lelaki yang telah menghancurkan semua impiannya. Lelaki yang telah merenggut kebahagiaan di hidupnya.

Dunia Kania seolah berhenti berputar. Kejadian malam itu kembali berputar di otaknya. Rasa sakit saat pria itu merenggut kegadisannya, suara menjijikkan yang lolos dari bibir pria itu, semua masih terekam jelas di otak Kania.

Kania memejamkan matanya dengan erat, mencoba untuk membuang bayangan-bayangan itu. Semakin Kania berusaha, semua semakin terlihat jelas hingga akhirnya kegelapan menjemputnya.

Kania terjatuh dan mulai kehilangan kesadarannya. Satu-satunya yang dia dengar sebelum kesadarannya sepenuhnya hilang adalah teriakan anak semata wayangnya.

"Bunda!!!"

🌼🌼🌼

Ramaikan yuk, bisa yukkk... bantu share cerita ini yah. ☺️☺️

Terpopuler

Comments

Muhammad Egi maulana ibrahim

Muhammad Egi maulana ibrahim

👍👍👍

2022-09-07

0

Nanda Lelo

Nanda Lelo

aiiishhhh,, bandel nih Devan

2022-07-02

0

Ana Huliani

Ana Huliani

up
up

2022-06-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!