Bab 6

Fisiknya masih lemah, tapi di paksa untuk kuat. Hari itu Devan di bawa pulang. Tak peduli dia masih lemas atau tidak. Rasa kecewa Bram dan Hanum sudah di ubun-ubun. Anak yang mereka didik dengan norma dan adab ternyata tumbuh tak sesuai harapan mereka.

Sepanjang perjalanan pulang, mereka mendiamkan Devan. Sebenarnya kasian melihat wajah pucat Devan. Tapi rasa kecewa mereka lebih besar.

"Jawab Papa, Van. Wanita mana yang sudah kamu hamili?" tanya Bram lagi setelah sampai di rumah. Menuntut jawaban dari Devan dan tidak mau bertele-tele.

Secepatnya harus menemukan wanita itu sebelum nama baik keluarganya dan perusahaan tercoreng karena ulah Devan.

"Aku nggak tahu, Pa."

"Bagaimana mungkin kamu tidak tahu?" sahut Bram dengan cepat.

Devan menunduk tak berani menatap papanya. Devan hanya sangar di luarnya saja. Gayanya saja keluar masuk club dan mabuk. Tapi kalau sudah di hadapan papa dan mamanya, Devan tak berani berulah.

"Jawab Devan!!!" Bentakan Bram membuat Devan langsung mengangkat kepalanya lalu menggeleng lemah.

"Aku nggak tahu, Pa. Kami tidak saling mengenal. Aku hanya mengingat wajahnya."

"Dia wanita penghibur?"

Devan menggeleng lagi. "Ku rasa bukan, Pa. Dia masih peraw** saat aku melakukannya."

"Ya Allah, Gusti... Kamu sudah merusaknya, Devan." Hanum kembali terisak. Membayangkan bagaimana kehidupan perempuan itu setelah ulah anaknya yang kurang ajar. "Sekarang harus mencari kemana perempuan itu. Bagaimanapun juga dia mengandung cucu kita, Pa."

Rahang Bram mengeras. Tangannya terkepal erat. Rasanya ingin melayangkan pukulan pada Devan. Tapi melihat Devan yang terlihat masih sangat lemas, Bram tak tega.

"Papa dan mama tidak pernah mengajarkan kamu hal keji seperti ini, Devan! Apa kamu bisa bayangkan gimana susahnya perempuan itu sekarang? Papa dan mama kecewa sama kamu. Papa nggak mau tahu. Secepatnya kamu harus mencari perempuan itu dan lakukan tanggung jawab kamu!!"

Bram langsung membawa istrinya yang terlihat sangat syok untuk masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Devan yang masih terduduk lemas di atas karpet di ruang keluarga.

🌼🌼🌼

"Minum susu dulu ya, Ka."

Rama memberikan segelas susu hamil yang masih hangat dan rasa coklat. Rama hafal dengan baik, Kania tidak menyukai susu rasa vanilla atau rasa-rasa yang lainnya. Yang Kania suka hanya coklat.

Bukannya menerima, Kania malah memalingkan wajahnya. Kania sama sekali tak berselera untuk minum susu atau vitamin yang berkaitan langsung dengan kesehatan janinnya atau apalah itu. Kania tak peduli.

Menghembuskan napas panjang, Rama lalu duduk di dekat Kania. Menyentuh tangan Kania membuat pemiliknya tersentak.

"Dia berhak untuk mendapatkan yang terbaik, Ka. Untuk ada di dalam tubuhmu juga bukan pilihan dia. Dia tidak bisa memilih untuk bersemayam di dalam perut siapa. Dia tidak bersalah, Ka." Rama memberanikan diri untuk mengusap perut Kania. Lagi-lagi Kania tersentak di buatnya.

"Maaf, bukan maksudku untuk menghakimi. Perbuatan malam itu sudah menjadi dosa meskipun tanpa di sengaja dan kamu tidak menginginkannya. Jangan di tambah lagi dengan kamu menelantarkan dia, Ka. Percayalah, suatu saat dia akan tumbuh dengan pintar dan menjadi anak yang baik. Dia juga akan bangga memiliki ibu seperti kamu."

Semua yang di ucapkan Rama seperti tamparan keras untuk Kania. Selama ini Kania tak pernah peduli dengan janinnya. Makan tak teratur, vitamin dan susu tak dia konsumsi. Semua hanya karena ingin janin itu pergi dari tubuhnya.

"Karena dia aku kehilangan semuanya, Ram. Kamu nggak tahu rasanya jadi aku gimana."

"Aku memang nggak tahu rasanya jadi kamu saat ini gimana, Ka. Tapi aku paham dengan apa yang kamu rasakan. Dan aku akan selalu ada buat kamu dalam keadaan apapun."

Rama segera memeluk Kania yang terisak pelan. Apapun untuk Kania akan dia perjuangkan. Bahkan, jika dia di beri kesempatan dia ingin menikahi Kania dan menjadi ayah dari janin yang di kandung Kania.

"Sekarang minum susunya, ya."

Meskipun terpaksa, Kania menerima segelas susu dari Rama. Menenggaknya sampai habis membuat Rama tersenyum senang.

Mengusap kepala Kania dengan bangga seolah Kania adalah anak SD yang baru saja berhasil mengerjakan tugasnya.

"Nanti sore kita periksa ke dokter terdekat dari sini, ya."

Kania kembali terdiam. Sama sekali tak berniat dan bersemangat untuk memeriksakan kandungannya. Cukup dia rasakan saja kehadirannya, tidak perlu melihatnya dan mengetahui semua perkembangannya.

"Biar kita bisa tahu bagaimana dia di dalam sini." Rama mengusap perut Kania lagi. Ada getaran yang tak bisa di jelaskan di dalam hati Rama. Desiran halus menjalar ke hatinya.

Aneh. Dia menyayangi janin yang ada di dalam perut Kania. Sama seperti dia menyayangi Kania. Padahal, itu bukan anaknya. Bahkan entah anak siapa.

"Katanya, harus di USG setiap bulannya. Biar tahu organnya lengkap atau tidak. Ada cacat atau tidak."

Kania memandang Rama dengan aneh. Rama belum berpengalaman dalam hal seperti ini. Tapi kenapa pengetahuannya lebih banyak ketimbang dirinya yang seorang perempuan.

"Aku baca di internet." Rama berucap. Seolah dia tahu apa yang ada di pikiran Kania. Kemudian Rama tertawa kecil. Menampakkan gigi-giginya yang rapi.

"Mau ya, di periksa," ucap Rama lagi. Masih dalam rangka bujuk-membujuk Kania agar mau memeriksakan kandungannya.

Hembusan napas kasar terhembus dari hidung Kania. Rama bisa mendengarnya. Dan dia pun mengerti hal ini tidak mudah bagi Kania.

"Apa aku bisa jadi ibu yang baik untuk dia?"

Pertanyaan Kania membuat Rama langsung memandang Kania dengan mata berbinar. Setidaknya, perlahan Kania mulai bisa menerima kehadiran janinnya.

Rama mengangguk pasti. Terlihat sangat antusias untuk menjawab pertanyaan Kania. "Tentu kamu bisa, Ka. Di mulai dari sekarang. Berikan yang terbaik untuk dia. Sayangi dia sepenuh hati kamu."

Kania tersenyum kosong. Dia tak yakin kalau dia bisa jadi ibu yang baik. Tapi seperti kata Rama, Kania bisa mencobanya. Dari sekarang.

***

"Usianya sudah sembilan minggu ya, Bu. Semua sehat dan lengkap. Alhamdulillah. Sekarang kita dengar denyut jantungnya, ya," ucap dokter Yunita dengan senyum lebarnya.

Suara detak jantung janin mulai terdengar. Suaranya yang bak hentakan kaki kuda yang sangat kuat. Dia sangat sehat di dalam sana.

Kania tak sanggup untuk menahan air matanya. Sekarang ada dua jantung yang berdetak di dalam tubuhnya. Dokter menganggap itu air mata bahagia. Memang benar air mata bahagia. Tapi dokter tak tahu apa yang ada di balik semuanya.

Andaikan saat itu Kania berhasil menggugurkan kandungannya, pasti sekarang Kania tidak bisa mendengar suara yang sangat merdu itu. Suara denyut jantung anaknya.

"Bapak, tolong istrinya jangan sampai stress, ya, karena bisa mengganggu perkembangan janin."

Rama dan Kania saling berpandangan saat dokter mengira kalau mereka berdua adalah sepasang suami-istri. Tentu saja mereka tidak perlu mengatakan yang sebenarnya. Membuka aib, namanya.

"Ada mual dan muntah, Bu?"

Kania menggeleng. "Cuma di minggu awal saja, Dok. Sekarang sudah nggak mual."

Dokter Yunita tersenyum. "Alhamdulillah, ya, kalau nggak ada mual dan muntah. Jadi bisa perbanyak makan sayuran, buah-buahan, dan minum air putih yang banyak. Semua boleh di makan asal tidak ada alergi dan dalam porsi yang masih wajar atau tidak berlebihan. Di usia trimester pertama, hindari dulu berhubungan suami-istri, ya, bapak, ibu. Karena hal itu bisa menimbulkan kontraksi."

Kania dan Rama kikuk sendiri mendengar ucapan dokter. "Baik, Dok," jawab Rama agar pemeriksaan segera selesai dan keduanya bisa meninggalkan klinik.

Keduanya lantas meninggalkan klinik setelah menebus vitamin yang sudah di resepkan oleh dokter.

***

Kania memandang kertas kecil yang berwarna hitam dan putih. Di atas kertas tergambar bagaimana bentuk janin yang ada di dalam rahimnya. Meskipun gambarnya tidak jelas, tapi Kania begitu suka memandanginya dalam waktu yang lama.

Perlahan rasa sayang itu muncul. Dalam hatinya dia berjanji akan memberikan yang terbaik untuk anaknya. Anaknya tidak boleh kekurangan apapun. Doa harus bahagia, hidup bersama Kania.

Benar dengan sebuah kalimat yang sempat dia baca di handphone. Bahagia itu datang karena adanya rasa syukur. Bukan menunggu bahagia agar bisa bersyukur. Tapi bersyukurlah untuk menjemput kebahagiaan.

Perlahan, Kania mulai menerima kenyataan hidupnya, takdir hidupnya. Hanya bisa berdoa agar Allah memberikan kebahagiaan dan kemudahan di setiap langkahnya.

"Yang sehat, ya..." Kania mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit. "Anak ibu." Bibirnya bergetar saat menyebut dirinya "ibu". Air matanya berjatuhan. Kali ini bukan karena rasa kecewa atau sedih dengan takdir hidup yang dia alami. Tapi karena rasa haru di dalam hatinya.

Kini, dia adalah seorang ibu meskipun anaknya belum lahir. Karena itu Kania akan mengusahakan yang terbaik untuk anaknya.

🌼🌼🌼

Terpopuler

Comments

Indri Ani40

Indri Ani40

trharu😭😭

2023-04-07

1

ai

ai

ayo semangat kania, kamu pasti bisa

2023-04-06

0

Herman Besa

Herman Besa

Alhamdulillah Kania sudah menyayangi janinnya.

2023-04-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!