Bab 8

Dua insan itu saling mendiamkan satu sama lain. Keduanya sibuk menata hati setelah perseteruan dua hati sore tadi. Kania tetap pada keputusannya untuk pergi dari rumah itu. Sedangkan Rama masih belum mengijinkan Kania dan Shaka meninggalkan rumahnya.

Kania bukan tipe orang yang betah bermasalah dengan orang lain cukup lama. Apalagi dengan Rama yang selama ini hampir tidak pernah membuatnya marah atau memancing emosinya.

Ingin mulai menyapa sekedar bertanya sudah makan apa belum, Kania maju mundur. Takut suasana hati Rama belum membaik.

"Om Rama." Shaka yang baru pulang dari mengaji dan di lanjut dengan sholat maghrib berjama'ah di masjid langsung menghambur ke pangkuan Rama.

Saat itu, kedua sudut bibir Rama tertarik sempurna. Yang semula kaku seperti kanebo kering kini terlihat melunak dan lembut bagaikan adonan kue yang sering di buat oleh Kania. Dan tentu sama rasanya, manis.

"Hai, boy! Baru pulang?"

"Iya, Om. Shaka sudah hafal satu surat lagi loh, Om." Shaka menceritakannya dengan ceria.

"Oh, ya?" tanya Rama dengan ekspresi wajah yang antusias. "Surat apa hari ini? Coba, Om Rama mau dengar."

"Hari ini hafalan surat Al humazah, Om," ucap Shaka lalu menghafal kembali ayat demi ayat yang sudah dia hafalkan dengan lancar. Padahal, ayat dari surat tersebut terbilang rumit untuk anak seusia Shaka. Bahkan usia-usia di atas Shaka masih banyak yang merasa itu rumit.

"Wah, hebat jagoan Om Rama." Rama memuji Shaka dengan penuh kekaguman. Anak itu selalu bisa menarik hati siapapun yang melihatnya. Kecerdasannya sering membuat orang lain kagum. Ketampanannya berhasil memikat banyak orang. Tak jarang pipinya jadi sasaran para ibu-ibu pengajian kalau Shaka di ajak datang ke pengajian oleh Imas atau Kania.

Kania bersyukur melihat anaknya yang sudah pandai dalam hal agama sejak dini. Semoga sampai besar nanti, dia tidak seperti dirinya yang seiring bertambah usia semakin malas pergi ke masjid.

Semoga juga anaknya tidak pernah meniru kelakuan bapaknya. Entah siapa dan dimana dia sekarang. Kania sudah tidak memikirkan lagi dari mana benihnya itu berasal sehingga tumbuh menjadi anak yang sepintar Shaka.

"Kita makan dulu, ya, Shaka. Om Rama di ajak makan dulu, yuk," ucap Kania berusaha mencairkan kebekuan antara dirinya dan Rama.

Shaka memandang Rama dengan mata bulatnya. "Mau makan. Di suapin Om Rama."

"Eh, makan sendiri, dong. Kan, sudah besar." Kania menimpali permintaan Shaka yang selalu manja jika ada Rama. Mungkin hati kecilnya merindukan sosok ayah. Dia memiliki figur itu dalam diri Rama. Tapi dia tidak bisa memanggil Rama dengan sebutan ayah.

Bibir Shaka mengerucut tidak suka dengan larangan bundanya. "Mau di suapin Om Rama."

"Shaka_"

"Udah nggak apa-apa." Rama menyela ucapan Kania yang berusaha meminta Rama untuk makan sendiri. "Ya sudah, ayo kita makan, anak pinter. Jagoan Om Rama. Uuuhhh... Makin berat aja, sih, kamu." Rama mengangkat tubuh gembul Rama ke dalam gendongannya lalu berjalan menuju dapur.

Berbagai macam makanan hasil racikan tangan Kania sudah tersaji di atas meja. Ada sup ayam untuk Shaka karena tidak makan makanan pedas. Ada ayam goreng lalapan kesukaan Rama. Dan ada rendang jengkol untuk Kania sendiri.

"Cantik-cantik makannya jengkol," Rama menyindir Kania dengan ketus. Berniat mencairkan suasana, tapi masih gengsi.

Kania melirik kesal. Meskipun terlihat sangat gengsi, tapi usilnya sudah muncul kembali. "Ganteng-ganteng ngambek'an."

"Aku ganteng?" tanya Rama dengan jumawa. Mengulum bibirnya menahan senyumnya karena ini pertama kalinya Kania mengatakan bahwa dirinya ganteng.

Kania yang baru tersadar dengan ucapannya pun langsung mengambil air minum dan meminumnya untuk menutupi salah tingkahnya.

"Ciyee salting." Rama menggodanya lagi.

"Apa, sih!"

"Om Rama, lagi. Jangan godain bunda terus," protes Shaka saat Rama telat menyuapinya karena sibuk menggoda Kania.

"Eh, maaf Shaka. Om lupa kalau lagi nyuapin Shaka. Habis bunda cantik banget, sih. Om Rama jadi nggak fokus."

Melihatnya, Kania hanya menggelengkan kepalanya pelan meskipun hatinya kian awut-awutan. Wanita mana yang tidak salah tingkah di puji dengan tulus seperti itu.

***

Waktu terus berputar, hari semakin malam. Shaka sudah tertidur di kamar setelah banyak drama sebelumnya.

Rama berdiri di teras bersiap untuk ke penginapan yang selalu dia sewa untuk menginap ketika dia mengunjungi Kania dan Shaka.

"Aku minta maaf kalau keputusanku sangat mendadak, Ram."

Rama menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dia pandangi wajah cantik Kania yang tersorot lampu kecil di depan rumah.

Tidak ada gunanya Rama mendebat Kania. Tidak berhak juga dia melarang Kania untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Anggap saja tugasnya sudah selesai meskipun Rama tidak ingin pernah selesai menjaga Kania dan Shaka.

Walaupun begitu, Rama juga tidak akan lepas tangan begitu saja. Kania dan Shaka tetap berada di bawah pengawasannya.

"Enggak apa-apa. Aku menghargai semua keputusan kamu. Maaf, aku tadi emosi. Aku kaget waktu Mbak Imas telepon aku dan bilang kalau kamu mau pindah."

Kania tersenyum penuh haru. Rasanya ingin menghambur ke dalam pelukan Rama. Tapi dia sadar status, juga sadar dimana dia sekarang. Akan terjadi fitnah kalau sampai dia nekat memeluk Rama di depan rumah seperti ini.

"Makasih, ya. Terimakasih sudah menjadi penopang untukku dan Shaka selama ini. Terimakasih sudah jadi figur ayah untuk Shaka meskipun dia tidak bisa memanggil kamu ayah." Kania mengusap air matanya yang berjatuhan. Mengingat semua kebaikan Rama selama ini. Dia yang selalu ada saat Kania butuh.

Pernah Rama rela jauh-jauh datang dari Surabaya tengah malam saat Kania panik karena badan Shaka panas tinggi.

"Mau peluk?" Rama merentangkan kedua tangannya. Memberi ruang untuk Kania.

Kania tertawa di sela derai air matanya yang turun. Dia menggelengkan kepalanya. "Pengen, tapi takut di gerebek," ucapnya yang di sambut tawa oleh Rama.

"Aku balik dulu, ya. Besok jam berapa pindahannya?"

"Jam sepuluh, deh, agak siangan dikit nggak apa-apa."

"Oke. Aku balik, ya. Selamat malam, selamat istirahat. Semoga besok ada keajaiban."

Ucapan Rama membuat Kania memandang Rama dengan penuh tanya. "Keajaiban apa?"

Rama tersenyum kecil. "Bukan apa-apa."

Rama langsung meninggalkan Kania yang masih menatapnya dengan tatapan bingung.

Ya, itulah doa yang sering Rama panjatkan. Semoga besok ada keajaiban, semoga di hati Kania tumbuh rasa cinta untuknya. Semoga besok Kania dan Shaka tak jadi pindah.

Meskipun Rama rasa itu adalah hal yang mustahil, namun tidak ada salahnya untuk berdoa, bukan? Usahanya sudah di batas maksimal.

Karena saat ikhtiar sudah di garis batas, biarkan doa yang bertarung di langit.

🌼🌼🌼

Pukul tiga dini hari, Devan baru saja kembali menginjakkan kakinya di tanah air setelah enam bulan lamanya berada di Dubai untuk mengembangkan perusahaannya di sana.

Handphone yang sejak berangkat di matikan, kini mulai di hidupkan kembali. Sudah ada puluhan panggilan dari bunda ratu yang semakin rewel setelah kejadian lima tahun yang lalu.

Semakin senewen pada Devan setelah bertahun-tahun tidak menemukan perempuan yang menjadi korban dari Devan yang hilang bagaikan di telan bumi.

Hanum mengkhawatirkan nasib perempuan itu dan cucunya yang kemungkinan sekarang sudah berusia empat tahun. Sebab itu Hanum terus mendesak Devan agar segera pulang untuk melanjutkan pencarian mereka yang belum membuahkan hasil selama empat tahun lamanya.

Sama halnya dengan Devan. Dia juga khawatir. Apalagi kalau wanita itu benar-benar mengandung anaknya. Bertanya-tanya bagaimana nasib mereka sekarang?

Hidup dengan layakkah mereka?

Atau justru wanita itu tidak mempertahankan anaknya?

Atau mungkin memang wanita itu tidak hamil?

Dulu, sejak dokter memvonisnya mengalami couvade syndrome atau sympathetic pregnancy, yakni kondisi di mana suami merasakan gejala yang serupa dengan pasangannya yang sedang mengandung, hal itu hanya bertahan sampai dua bulan saja. Hal itu membuat Devan berpikir bahwa bisa saja itu hanya kesalahan dokter saja dalam mendiagnosa.

Wanita itu tidak hamil. Atau memang hamil tapi sudah di gugurkan.

Tapi entah kenapa mama tersayangnya begitu yakin kalau dia memiliki cucu yang kini entah di mana dan bagaimana nasibnya.

"Eh, maaf, Pak." Tak sengaja Devan menabrak seorang pilot yang baru saja memasuki bandara.

Pilot muda itu tersenyum ramah. "Tidak masalah, Pak. Mari, selamat pagi."

"Selamat pagi." Devan membalas ucapan seiring dengan berlalunya pilot tersebut.

Devan terpaku melihat wajah pilot tersebut yang Devan rasa tidak asing baginya. Entah dimana, Devan seperti pernah bertemu dengan pilot tersebut.

🌼🌼🌼

thanks for reading. ❤️❤️

Terpopuler

Comments

Nurmiati Aruan

Nurmiati Aruan

pak pilot nya apa Rama ya...

2023-11-19

0

◉‿◉♡-Ƥυтrу Ƴαѕмιη-♡◉‿◉

◉‿◉♡-Ƥυтrу Ƴαѕмιη-♡◉‿◉

Banyak yg koment kania perempuan yg tdk tau trima kasih!
ya elah marimar tidak semua ucapan terima kash dengan menikahi orang yg berjasa sama hidup kita, kita kan tdk tau dgn keluarganya, apa merka nerima kita, nerima anak kita, nerima masa lalu kita yg hamil diluar nikah.
orang bilang cinta akan dtng karena terbiasa tpi tiak semua juga ko buktinya sebaik apapun si rama, karika tdk punya rasa tuh selain sahabat/kawan.
bukan karena dia tdk tau diri tp yg namanya hati tdk bisa dipaksain

2023-02-13

0

Arraya Arvenya

Arraya Arvenya

apa itu tristan, adik kania?

2022-08-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!