Bab 9

"Bunda."

"Ya, sayang?"

"Shaka punya ayah nggak, sih?"

Jantung Kania berpacu lebih cepat dari biasanya. Di empat tahun usia Shaka, pertama kalinya Shaka bertanya tentang ayah.

"Arga, dong, bund. Katanya besok ayahnya pulang, terus mau jalan-jalan." Shaka masih berceloteh ria. Sedangkan otak Kania berpikir tak tentu arah.

"Ayah Shaka kerja juga, ya, bund?"

Kania tersenyum tipis. Otaknya buntu, tidak bisa berpikir jawaban apa yang akan di berikan pada Shaka. "Shaka tidur, yuk. Besok, kan, Shaka harus sekolah." Kania mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Bunda belum jawab Shaka. Ayah Shaka dimana, bund?"

Mata Kania terpejam mendengar desakan anaknya. Anak pintarnya itu terlalu pintar mengolah kosakata untuk menanyakan apa yang ingin dia ketahui. Shaka juga pengingat dan peniru yang baik. Apa yang dia dengar, yang dia lihat, terekam jelas di otaknya. Sebab itu Kania selalu berhati-hati jika berucap atau berbuat di depan Shaka. Kania tidak ingin otak cerdas anaknya teracuni oleh hal-hal yang tidak baik.

"Bunda akan jawab pertanyaan Shaka kalau Shaka sudah besar."

"Shaka sudah besar, bund."

"Sudah besar, kok, masih bobok sama bunda?" Kania tertawa kecil menggoda anaknya.

"Shaka takut, bund. Nanti kalau ada hantu gimana?"

Senyum kecil terukir di bibir Kania. Syukurlah dia berhasil mengalihkan topik pembicaraan mereka tanpa mengatakan apapun tentang ayah Shaka yang entah itu siapa dan di mana. "Enggak ada hantu, Shaka. Udah, yuk, berdoa dulu sebelum tidur. Doanya gimana, Nak?"

"Bismika Allahumma ahyaa wabismika amuut," ucap Shaka dengan lancarnya.

Tak berapa lama kemudian, mata Shaka benar-benar terpejam dan dia sudah tertidur lelap.

Sejak awal, ini yang Kania takutkan. Ketika Shaka mulai paham dengan sosok ayah dan mulai menanyakan keberadaan ayahnya.

Kania paham, tumbuh tanpa seorang ayah itu berat meskipun Shaka belum bisa mengungkapkannya. Kania paham hati Shaka yang paling dalam sebenarnya merindukan sosok ayah dalam hidupnya.

Sebab itu dia selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk Shaka. Menjadi bunda sekaligus ayah bagi Shaka.

Ini adalah resiko bagi dirinya yang memilih menjauh dari kota tempat tinggalnya. Andai Kania masih di sana, tentu akan di pertemukan kembali dengan lelaki itu. Dan Shaka akan tahu siapa ayahnya. Itupun kalau lelaki itu mau mengakui Shaka adalah anaknya dan mau bertanggungjawab atas apa yang lelaki itu perbuat pada Kania.

Kadang, Kania berpikir, apakah lelaki itu merasa bahwa dia punya anak?

Apakah hidupnya bisa tenang setelah malam itu?

Dalam hal seperti ini, memang selalu pihak perempuan yang di rugikan.

Hilang kegadisannya dan yang paling parah sampai hamil dan melahirkan seperti yang Kania alami. Berusaha sendiri untuk membesarkan, mengasuh dan mendidik anaknya.

Belum lagi pandangan masyarakat yang memandang sebelah mata. Mereka menghina, mengucilkan, dan terang-terangan menggunjing wanita yang hamil tanpa suami.

Percayalah, itu bukan hal yang mudah.

Kania hanya berharap, kelak jika anaknya dewasa, dia akan mengerti jalan hidupnya bersama Kania. Shaka akan menjadi anak yang baik dan membanggakan Kania.

***

Hari pertama Shaka sekolah, Shaka di antar Kania dengan menaiki motornya. Anak itu terlihat antusias saat memakai seragam sekolah.

Saat turun dari motor, Shaka terdiam menatap ke satu arah. Saat Kania mengikuti arah pandang Shaka, Kania tercekat. Shaka menatap salah seorang temannya yang di antar oleh kedua orangtuanya. Papa dan mamanya, lengkap.

Tanpa sadar, mata Kania berkaca melihat pemandangan tersebut. Buru-buru Kania mengedipkan matanya agar air mata yang menutupi pandangannya hilang.

"Masuk, yuk. Bu guru sudah menunggu di depan pintu." Kania mengalihkan perhatian Shaka dengan menunjuk seorang guru yang berdiri di depan pintu.

Untung saja perhatian Shaka langsung teralihkan. Anak itupun tersenyum senang berjalan bersama Kania menuju ruang kelasnya.

Seperti anak-anak yang lainnya, Kania menunggu Shaka untuk hari pertamanya di sekolah. Kania khawatir Shaka membutuhkan sesuatu dan belum berani mengatakan pada gurunya.

Namun, siapa sangka kalau kehidupannya selama ini perlahan membentuk kemandirian di dalam diri Shaka. Shaka juga langsung bisa berinteraksi dengan baik dengan guru dan teman-temannya. Kalau seperti ini, Kania tidak perlu khawatir lagi dengan Shaka ketika Shaka berada di sekolah.

🌼🌼🌼

Agenda rutin Hanum setiap bulan adalah mengunjungi sekolah-sekolah tempat di mana keluarganya menjadi donatur utama.

Bukan hanya sekolah yang ada di Surabaya saja. Tapi juga masuk ke pelosok-pelosok desa. Juga daerah-daerah tertentu.

Mata Hanum terpaku saat melihat sosok kecil yang baru saja turun dari motor bersama ibunya. Motor itu terparkir tepat di sebelah mobilnya. Jadi Hanum bisa melihat dengan jelas rupa anak kecil itu.

Ya, Hanum seperti kembali melihat Devan dalam versi masa kecilnya.

Postur tubuhnya, mata bulatnya, bibir tipisnya, pipi bulatnya. Semua seperti fotokopian Devan waktu kecil.

Jantung Hanum berpacu dengan cepat. "Apa dia anak Devan? Apa perempuan itu yang Devan hamili lima tahun yang lalu?" gumamnya pelan.

Hanum ingin segera menanyakannya, namun kembali tersadar. Dia mengurungkan niatnya untuk menghampiri anak dan ibu itu.

Masih banyak bukti yang harus dia kumpulkan. Hanum masih harus mencari informasi tentang mereka berdua.

Kalau memang benar anak itu adalah cucunya, Hanum tidak akan pernah membiarkan dia jauh darinya. Dia akan membawa mereka berdua ke Surabaya. Dengan cara apapun.

"Bu Sukma, boleh saya minta data untuk anak itu?" ucap Hanum kepada kepala sekolah sambil menunjuk ke arah ibu dan anak tadi.

"Oh, Shaka?"

'Jadi namanya Shaka. Nama yang bagus. Devan, wanita itu memberi nama yang bagus untuk anakmu,' batin Hanum.

Dengan cepat Hanum menganggukkan kepalanya.

Dalam waktu sepuluh menit, sebuah map berisi data Shaka sudah ada di tangannya.

Tertulis nama Hafizh Shaka Maulana di dalam fotokopi akta kelahiran. Di situ hanya tertulis nama ibunya, Kania Tristanti.

Hanum memejamkan matanya. Kalau memang Shaka adalah cucunya, anak Devan, sudah seharusnya ada nama Devan di dalam akta kelahiran tersebut. Anak itu harusnya mendapatkan haknya.

Tapi kenapa ibunya membawanya pergi sejauh ini? Kenapa Kania tidak berusaha mencari Devan dan meminta pertanggungjawaban? Setidaknya itu yang menjadi pertanyaan di kepala Hanum.

Apakah selama ini mereka hidup dengan layak? Apakah kebutuhan Shaka sudah terpenuhi semua? Apa Kania harus bekerja keras untuk hidup mereka berdua?

Atau, sekarang Kania sudah menikah dengan orang lain?

Hanum mendekati dan menyapa Kania yang sedang menunggu Shaka di dekat parkiran. "Selamat pagi, Bu," sapanya dengan senyum ramah.

Kania yang sedang melihat resep kue baru di handphonenya pun langsung mendongak mendengar suara lembut itu. Di depannya, berdiri seorang wanita cantik nan anggun.

Kania tersenyum canggung. "Selamat pagi, ibu."

"Boleh saya duduk di sini?" Hanum menunjuk bangku kosong di sebelah Kania.

"Oh, silahkan, Bu." Kania mempersilahkan.

Hanum segera duduk. Tapi matanya tak lepas memandang Kania yang ternyata sangat cantik jika di lihat dari dekat. Dari jauh pun Kania sangat cantik.

Wajahnya begitu mulus dan cantik alami tanpa riasan apapun. Mungkin hanya memakai lip tint di bibirnya saja agar lebih lembab.

"Anaknya di tunggu, Bu?" tanya Hanum untuk berbasa-basi. Hanya karena ingin melihat langsung ibu dari cucunya.

"Panggil Kania saja, Bu," ralat Kania.

"Ah, iya, Kania. Anaknya di tungguin?"

Kania tersenyum sopan. "Iya, Bu. Saya takut anak saya butuh apa-apa dan belum berani bilang ke gurunya."

Hanum tertawa kecil. "Saya dulu juga begitu, Bu. Anak saya waktu masuk TK masih usia empat tahun. Belum tega mau di tinggal pulang. Masih suka ngompol soalnya." Hanum tertawa kecil mengingat Devan yang di usia empat tahun masih sering ngompol.

Kania ikut tertawa.

"Kania kerja dimana?"

"Saya ada toko kue, Bu."

"Milik sendiri?"

"Alhamdulillah, Bu. Kecil-kecilan saja, kok."

"Enggak apa-apa kecil, nanti juga jadi besar." Hanum memotivasi.

"Aamiin."

"Tokonya di daerah mana? Boleh ibu mampir?"

"Oh, tentu saja ibu." Kania menjawabnya dengan antusias. "Di dekat sini, kok, Bu. Ini alamatnya." Kania menyerahkan kartu nama yang selalu dia bawa di dalam tasnya.

Dengan senang hati Hanum menerimanya. Mungkin ini adalah jalan untuk mendekatkan diri pada cucunya dan... Semoga dengan calon mantunya juga, Kania.

Wanita cantik, mandiri dan baik hati yang rela mengandung dan membesarkan cucunya tanpa tanggungjawab dari Devan. Bahkan kini cucunya tumbuh dengan sangat sehat dan pintar.

***

"Nih!"

Devan tersentak saat Hanum melemparkan kartu nama pemberian Kania. Devan yang terkejut langsung mengambil kartu tersebut dan membacanya.

"Kania bakery? Mama mau Devan beliin kue di sini? Di mana ini, Ma? Jauh banget."

Mendengarnya, Hanum semakin geram. "Kalau Mama mau kue, Mama bisa beli sendiri. Sekalian tokonya juga bisa."

"Terus maksud Mama ngasih aku kartu nama ini apa, Ma?"

"Dia nama perempuan yang kamu hamili lima tahun yang lalu, Devan."

Devan membelalakkan matanya. "Dari mana Mama tahu kalau perempuan ini sama dengan perempuan lima tahun yang lalu, Ma?"

Bukannya menjawab, Hanum malah meneteskan air matanya. Teringat betapa polos dan lucunya tatapan cucunya tadi. Andai bisa, Hanum ingin memeluknya saat itu juga.

Tapi demi kenyamanan Kania dan Shaka, Hanum rela menahannya.

"Mama kenapa, sih, Ma? Aku jadi bingung."

"Shaka. Namanya Shaka, Devan."

"Maksud Mama apa, sih?" Devan semakin di buat tidak mengerti dengan ucapan Hanum yang setengah-setengah. Nanggung.

"Shaka itu anak kamu, Devan. Kalau seumur hidup kamu, kamu benar-benar baru melakukannya sekali, dia benar-benar perempuan malam itu dan Shaka adalah anak kamu. Wajahnya mirip sekali dengan kamu waktu kecil, Devan. Bahkan saat mama melihat dia, Mama seperti melihat kamu waktu kecil. Mirip, sangat mirip," ucap Hanum dengan berderai air mata.

Mendengar penjelasan sang Mama, Devan hanya terdiam membeku.

"Dia perempuan itu, kan?" Hanum menunjukkan sebuah foto yang dia ambil secara diam-diam tanpa sepengetahuan Kania.

Dengan kaku, Devan mengangguk. Ya, Devan ingat betul dengan wajah itu. Meskipun dalam keadaan mabuk dan sudah lima tahun lamanya, Devan masih mengingatnya dengan jelas.

"Iya, Ma. Dia orangnya," ucapnya lirih, hampir tak terdengar.

Devan segera beranjak, namun dengan cepat Hanum menahan langkahnya. "Mau kemana kamu?"

"Mau menemui dia, dong, Ma."

"Jangan hancurkan rencana Mama."

"Rencana apa lagi, Ma?"

"Tunggu saja! Tapi kamu jangan menemui dia sekarang."

Meskipun masih tidak mengerti rencana yang bagaimana yang sudah di susun oleh mamanya, Devan akhirnya mengangguk pasrah menuruti keinginan Hanum.

Bukan untuk Kania Devan ingin segera bertemu dengan Kania. Tapi Devan hanya ingin bertemu dengan anaknya yang katanya bernama Shaka itu.

Shaka, darah dagingnya.

🌼🌼🌼

Terpopuler

Comments

perjuangan ✅

perjuangan ✅

thor cara doa tdr salah,, (( bismika Allah humma amutu wah ahya, artinya dgn namamu ya Allah aku mati dan aku hidup, 👈ini yg benar

2023-04-13

0

Indri Ani40

Indri Ani40

kasian Rama😩😩😩 semoga Ada jodoh yg Di pilih outhor untuk Rama👍😊

2023-04-07

0

Herman Besa

Herman Besa

Asyik cetit8

2023-04-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!