Bab 15

"Om jahat. Om udah buat bunda pingsan. Om jahat!!!"

Shaka terus memukuli perut Devan dengan tenaganya yang cukup keras namun tak seberapa sakit bagi Devan.

Bukannya menahan tangan Shaka, Devan justru menatap wajah fotokopian dirinya yang kini menangis histeris karena bundanya pingsan.

"Om jahat!!!"

"Shaka, sudah, ya, sayang. Kita susul bunda ke klinik depan, ya." Vanya segera menuntun Shaka untuk menyusul Kania yang sudah di bawa ke klinik yang ada di depan panti asuhan.

Sepeninggal Shaka, Devan masih menatap Shaka yang berjalan keluar dari panti sambil sesekali mengusap air matanya. Tangis menyayat anak itu masih terdengar jelas di telinga Devan.

Ada rasa sakit yang muncul di hati Devan. Anaknya, seharusnya memanggilnya dengan sebutan ayah. Harusnya Shaka mengenal dirinya sebagai ayah. Tapi kenyataannya tidak. Justru Devan menciptakan kemarahan di hati Shaka di saat pertemuan pertama mereka.

Hanum yang sejak tadi memperhatikan mereka pun langsung menghampiri dan menjewer telinga Devan. "Kamu apakan Kania?"

"Aduh, Ma, sakit, Ma," keluh Devan sambil berusaha melepaskan jepitan tangan Hanum di telinganya.

"Biarin! Udah Mama bilang, jangan muncul di hadapan Kania dulu. Kita harus pelan-pelan. Tapi kamu menghancurkan semuanya!"

"Aduh, Ma. Iya, Ma, Devan minta maaf. Devan cuma pengen ketemu sama anak Devan. Apa itu salah?"

"Nggak salah, Devan. Mama cuma minta kamu sabar. Sabar sedikit!" ucap Hanum sambil menarik telinga Devan lebih keras lagi lalu melepaskannya dengan kasar.

"Kamu apakan Kania sampai dia pingsan begitu?"

"Nggak aku apa-apain, Ma. Dia lihat aku terus pingsan gitu aja."

"Hahhh." Hanum mengerang tertahan. Rasanya begitu kesal karena Devan tidak mau mendengarkan kata-katanya.

***

Kania mengerjapkan matanya pelan. Bau obat-obatan tercium begitu menyengat di indera penciumannya.nRasa pusing masih menderanya. Membuatnya sulit untuk membuka matanya.

Sayup-sayup dia dengar tangisan Shaka. Sudah pasti anak itu tengah mengkhawatirkan Kania.

"Ka, kamu dengar aku?"

Itu suara Rama. Kania merasakan tangan besar milik Rama tengah mengusap rambutnya.

"Bundaa..." Di susul dengan suara Shaka yang beradu dengan tangisnya.

Kania berusaha membuka kedua matanya. Saat mata itu terbuka dengan sempurna, raut wajah khawatir bercampur lega milik Rama dan Shaka terlihat jelas di wajahnya.

Shaka langsung menghambur memeluk Kania. "Bunda jangan sakit. Shaka sedih kalau bunda sakit," ucap Shaka di sela isakannya.

"Bunda nggak apa-apa, sayang." Kania mencoba untuk mengukir senyum di wajahnya.

Masih jelas di ingatan Kania wajah yang terakhir kali dia lihat sebelum dia pingsan. Kania bertanya dalam hati, untuk apa dia dipertemukan lagi dengan lelaki itu?

Hidupnya dengan Shaka sudah cukup bahagia. Tinggal mendatangi orangtuanya dan bersujud di kaki mereka. Tidak perlu lagi bertemu dengan pelaku utama atas kehancuran hidupnya.

"Apa yang membuatmu pingsan, Ka? Bu Vanya menelpon dengan suara panik dan aku langsung ke sini. Shaka juga bilang, Om jahat yang sudah membuatmu begini. Siapa dia?" tanya Rama setelah Shaka di bawa keluar oleh Vanya.

Awalnya Shaka menolak. Tak ingin jauh-jauh dari Kania. Tapi Vanya membujuknya dengan segala macam cara hingga anak itu mau mengikuti Vanya.

Kania menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Matanya menatap langit-langit ruang IGD yang putih polos. "Lelaki itu muncul, Ram," ucapnya pelan.

Rama mengerutkan keningnya. Memandang Kania dengan penuh tanya. "Siapa?"

"Ayahnya Shaka."

Deg!

Jantung Rama berpacu lebih cepat. Ketakutan akan banyak hal muncul di dalam hati dan pikirannya. Rama takut kehilangan Shaka karena Shaka lebih memilih ayah kandungnya. Rama takut akan kehilangan Kania jika suatu hari nanti ayah Shaka akan menikahi Kania.

Rama takut kehilangan keduanya.

"Kenapa kami di pertemukan lagi, Ram?"

"Mungkin, Tuhan sudah menyiapkan sebuah rencana untuk kalian." Rama berucap dengan getir.

"Apapun rencanaNya, aku tak mau jika itu bersangkutan dengan lelaki itu."

"Jika sudah takdir, tidak ada yang bisa di lakukan selain menerima dan menjalaninya."

Air mata Kania berjatuhan. Luka yang belum sepenuhnya pulih itu kembali terbuka dan menganga lebar.

Perlakuan kasar lelaki tersebut di malam itu masih terekam jelas. Bagaimana dia memaksanya, bagaimana dia menganggapnya seperti seorang wanita penghibur. Bahkan lelaki itu meninggalkannya begitu saja yang tak sadarkan diri karena ulahnya.

Parahnya lagi, lelaki itu meninggalkan sejumlah uang. Benar-benar menganggap Kania wanita penghibur.

Rama masih memandang Kania dengan raut wajah khawatir. Dokter mengatakan Kania banyak pikiran dan begitu tertekan. Bahkan dokter menyarankan agar Kania di bawa ke psikolog.

Tapi, Rama berpikir Kania belum separah itu. Dia masih bisa mendampingi Kania melewati semuanya.

"Kita pergi dari sini, ya. Kuatkan hati kamu. Masih banyak hal yang lebih penting dari sekedar memikirkan kedatangan kelak itu."

Kania mengangguk. Dia bangkit dari pembaringannya di bantu oleh Rama.

***

Sebenarnya, Kania tak begitu berharap Shaka akan menjadi juara. Sejak kemunculan Devan yang kini duduk santai di jajaran kursi depan bersama para donatur panti yang lain, Kania sudah tak begitu tertarik berada di tempat yang sama dengan lelaki itu.

Lagipula, tanpa menjadi juara dan hadiah yang di iming-imingkan, Kania masih mampu mencari uang untuk membiayai pendidikan Shaka.

Namun, dunia seolah menolak pemikiran Kania.

Shaka di nobatkan menjadi juara satu. Dan di berikan jaminan pendidikan di sekolah ternama di Surabaya dengan kualitas yang tidak di ragukan lagi.

Kania semakin bimbang. Kenapa takdir seolah mempermainkan dirinya. Semakin Kania berusaha menjauh, justru apa yang terjadi membuat Kania semakin dekat dengan orang yang ingin dia hindari.

Ingin rasanya Kania bersikap egois. Menolak memindahkan Shaka ke sekolah yang ada di Surabaya.

Tapi pendidikan Shaka juga penting. Jauh lebih penting dari egonya. Kesempatan tidak akan datang dua kali.

"Toko kue gimana?" tanya Kania saat Rama menanyakan bagaimana keputusannya tentang perpindahan Shaka.

"Kalau kamu setuju, biar di pegang Mbak Imas."

Sebenarnya itu ide yang bagus. Tapi lagi-lagi Kania belum ikhlas jika harus pindah ke Surabaya. Dia terlanjur nyaman di kota yang menjadi tempat tinggalnya selama ini.

🌼🌼🌼

Tristan baru saja pulang. Tapi yang dia dapati justru ibunya yang sedang menangis di kamar kakaknya sambil memegang pigura foto kakaknya, Kania.

Selama ini Tristan tahu dimana keberadaan Kania. Tentu saja dari Rama. Namun, Tristan belum berani mengambil tindakan untuk menemui Kania.

Rindu? Sudah pasti. Jangan di tanya lagi.

Selama ini Tristan hanya mampu melihat foto demi foto Kania dan keponakannya yang di kirimkan Rama.

Andai bisa, Tristan ingin menunjukkan foto-foto itu pada orangtuanya, terutama ibunya. Namun, Tristan takut kalau kemarahan ayahnya belum usai. Juga takut ibunya akan semakin sedih.

"Bu?"

Wening terperanjat dan langsung mengusap air matanya. Foto Kania yang semula ada di tangannya dia letakkan kembali ke atas meja.

"Kamu pulang, Tris?" tanya Wening yang berusaha mengukir senyum di wajahnya. Bersikap seolah biasa saja padahal Tristan sudah tahu semuanya.

Tristan menyusul ibunya untuk duduk di ranjang kakaknya yang sudah tidak pernah lagi ditiduri selama lima tahun ini. Namun, Wening selalu membersihkan kamar Kania. Mengganti sprei setiap dua minggu sekali.

"Biar tetap bersih, Tris. Siapa tahu besok kakak kamu pulang." Itu yang menjadi jawaban Wening saat Tristan sesekali melihat ibunya membersihkan kamar Kania.

"Ibu kangen sama Mbak Kania, ya?"

Wening tertawa kecil. "Jangan di tanya lagi, Tris. Hati ibu mana yang tidak rindu dengan anaknya yang sudah pergi tanpa ada kabar selama lima tahun lamanya. Dia menghilang begitu saja. Ibu kangen," ucap Wening sambil menatap wajah Tristan yang mirip sekali dengan Kania. Bahkan mereka sempat di kira kembar saking miripnya.

Ingin rasanya menunjukkan foto Kania kepada ibunya. Tapi lagi-lagi Tristan tidak ingin ibunya semakin sedih.

Sebelum bapaknya menanyakan keberadaan Kania, Tristan tidak akan mengatakan apapun soal Kania kepada kedua orangtuanya.

[ Kabar bahagia, Tris. Kania dan Shaka akan pindah ke Surabaya karena Shaka menjadi juara satu. ]

Satu pesan dari Rama membuat Tristan mengembangkan senyumannya.

Dengan kepindahan Kania ke Surabaya, semoga saja akan semakin mudah menyatukan keluarga mereka kembali.

Apapun caranya akan Tristan lakukan untuk membuat ayahnya memaafkan Kania. Mungkin, adanya Shaka akan membantu.

Maaf, Shaka. Bukan maksud om ingin memanfaatkan kamu. Tapi kamu memang di butuhkan dalam hal ini.

🌼🌼🌼

Terimakasih untuk antusias kalian, teman-teman. love you all. baru pertama kalinya setelah dua tahun jadi author yang moody. kadang mau up, tapi banyak nggak mau upnya. 😂😂

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

nangisss bngettt part ini😭😭

2023-10-12

0

Herman Besa

Herman Besa

saking seriusnya aku menyimak alur cerita nya hingga tak terasa air mataku berderai .

2023-04-05

0

Diana Budhiarti

Diana Budhiarti

nanti juga ketemu nih ibu n kania

2023-04-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!