Wanita, makhluk lemah namun akan selalu memberikan balasan lebih untuk siapa saja yang memberikan sesuatu untuknya.
Jika seorang suami memberinya beras, maka seorang istri akan memberikan nasi sebagai balasannya. Dan jika seorang wanita di berikan cinta maka dia akan bersedia memberikan seluruh pengabdiannya.
"Terimakasih, aku mencintaimu." Ucap Alard pelan yang tentu saja tidak bisa di dengar oleh gadis yang begitu nyenyak dalam tidurnya. Jemarinya menyusuri setiap inci wajah Zia. Hidung mancung juga bibir yang terlihat menggodanya di sentuh dengan perlahan. Mengusap lembut pipi menggemaskan yang akan selalu memerah saat dia menggodanya, menggunakan punggung tangannya.
Setiap malam saat Zia terlelap, ungkapan cinta yang hanya tertahan di tenggorokannya, selalu dia utarakan sambil menatap dan menyentuh wajah Zia dengan jemarinya kala istrinya itu sedang terlelap.
Entah sejak kapan, yang jelas nama Zia kini sudah memenuhi hatinya. Apa sekitar enam tahun yang lalu, ataukah enam bulan yang lalu saat dia mengikat Zia dengan kalimat kobul, entahlah. Dia tidak tahu persis kapan rasa itu mulai memenuhi rongga dadanya.
Alard berusaha bangun dari ranjang tempat dia dan Zia berbaring. Kaki yang selama hampir tiga tahun tidak bisa di gerakan, kini sudah mulai bisa di fungsikan sebagaimana mestinya, walau terkadang masih harus menggunakan tongkat.
Dengan langkah pelan tanpa tongkat, Alard melangkah menuju taman kecil yang langsung terhubung dengan kamar. Sebelum mencapai pintu pembatas, Alard kembali menoleh, menatap wajah Zia yang begitu damai dalam lelapnya.
Gadis itu, gadis yang dia nikahi enam bulan lalu baru saja terlelap bersama mimpi indahnya.
Gadis yang sampai kini belum bisa dia berikan hak bathinnya dan sama sekali tidak menuntut meskipun Alard tahu jika mereka sama-sama membutuhkannya.
Gadis yang berjuang dan berusaha untuk memastikan kesembuhannya dengan sabar, di tatapnya dengn sebuah senyum hangat yang kini selalu menghiasi wajah tampannya.
Zia, gadis yang selalu dia gumamkan dalam setiap helaan nafasnya begitu lelap namun tidak dengan dirinya. dia masih saja terjaga. Berdiri tidak jauh dari ranjang, menatap lekat pada wajah yang entah sejak kapan mulai membalikkan dunianya.
Dengan perlahan, pintu pembatas menuju kolam renang kecil terbuka perlahan. Bersamaan dengan angin yang menerobos masuk ke dalam kamar dan menerpa wajah Tampannya. Alard mendongak menatap langit gelap dengan bebrapa bintang yang menghias di sana. Menikmati semilir angin malam yang terasa dingin saat menembus piyama satin yang di kenakan.
"Malam yang indah." Gumamnya. Beberapa bintang nampak di gelapnya langit malam. Bulan yang selalu setia menemani tidak terlihat disana.
"Apa kamu sudah bahagia ?" Lirihnya lagi. Satu wajah melintas saat dia menutup matanya perlahan.
"Jika iya, aku ingin memulai bahagiaku yang baru juga." Ucapnya lagi.
Entahlah dengan siapa dia berbicara kini. Ada banyak kata yang mengendap di otaknya, namun entah bagaimana caranya untuk mengeluarkan kata itu kepermukaan.
"Aku akan mendo'akan sesuatu yang baik akan datang menemuimu. Gadis yang baik dan tidak sepertiku." Ucapan gadis yang dia lepas dengan ikhlas untuk menikah dan berbahagia dengan orang lain setelah kecelakaanya kembali melintas.
Entah mengapa malam ini perasaan tidak nyaman seakan mengambil alih dirinya. Lima bulan ini semua terasa biasa-biasa saja, hati dan fikirannya bisa dia kendalikan dengan baik. Namun saat melihat wajah Zia tadi, perasaan untuk memulai kembali semuanya dengan baik mulai menghantuinya.
Rasa yang belum sempat tersampaikan pada istrinya, ingin sekali dia utarakan secepatnya. Namun sebelum itu dia ingin memastikan bahwa tidak ada lagi kenangan atau apapun yang tertinggal dari masalalunya. Eliziane, dia ingin memulai semuanya bersama gadis itu. Hanya dengan gadis itu tanpa ada yang lain.
"Kenapa belum tidur ?" Suara yang selalu mengomel di pagi hari itu terdengar. Alard membalik tubuhnya melihat ke arah ranjang dengan pencahayaan yang temaram. Tubuh mungil itu duduk di atas ranjang sambil melihat ke arahnya.
"Masih belum ngantuk." Jawab Alard. "Kembalilah tidur." Sambungnya.
Zia masih diam, mengamati wajah Alard yang jelas terlihat karena cahaya lampu taman dari luar kamar.
"Kamu butuh istirahat untuk pemulihan." Ujar Zia mengingatkan.
Alard masih diam tatapannya hanya tertuju pada Zia yang masih berada di atas ranjang mereka, seperti ada yang ingin laki-laki itu utarakan namun tertahan.
"Apa ada yang mengganggumu ?" Tanya Zia lagi.
Alard menggeleng lalu kembali membalik tubuhnya menatap dedaunan pohon kecil yang ada di taman.
Zia menatap heran pada punggung kokoh yang kembali membelakanginya. Beberapa bulan ini tidak ada yang aneh, namun malam ini Alard seperti menjadi orang lain.
Dengan perlahan, Zia membawa tubuhnya turun dari ranjang mewah itu lalu melangkah mendekati suaminya.
"Apa sesuatu sedang terjadi ?" Tanya Zia pelan saat tubuhnya sudah berdiri di samping Alard, dan lagi-lagi laki-laki itu hanya menggeleng.
Zia tidak lagi bertanya, meskipun dia yakin ada yang sedang mengganggu laki-laki yang sejak enam bulan ini menjadi suaminya. Namun dia menghargai, karena dia tahu hubungan mereka masih sebatas status dalam pernikahan. Meskipun selama ini Zia lebih banyak bercerita tentang kehidupannya. Berbeda dengan Alard, laki-laki itu masih menutup rapat cerita hidupnya dan belim sama sekali membaginya.
"Malam yang indah bukan ?" Tanya Akard saat melihat wajah samping Zia yang kini menatap langit gelap dengan beberapa bintang di sana.
Zia mengangguk membenarkan. Meskipun begitu gelap, namun dengan adanya beberapa bintang disana jadi terlihat begitu indah di pandang mata.
"Terimakasih Zia." Ucap Alard pelan namun bisa di dengar dengan jelas oleh Zia.
Zia hanya tersenyum dan masoh setia menikmati gelapnya langit malam. Sepwrti tidak terpengaruh dengan kata yang sudah sering kali dia dengar dari kekuarga ini.
Tidak ahanya Alard yang selalu mengucapkan terimakasih padanya, namun seluruh keluarga besar mendiang profesor Wijaya yang selalu ceritakan sang ibu padanya.
"Apa sudah siap memenuhi permintaanku ?" Tanya Zia namun belum mengalihkan tatapannya dari gelapnya langit malam.
"Apa begitut banyak ?" Tanya Alard dan Zia mengangguk. "Baiklah salah per satu." Sambung Alard.
"Permintaan pertama, lupakan gadis pirang itu, dan ayo belajar mulai menerimakau dalam hidup kamu." Ucap Zia. Kini tatapannya sudah menatap lekat pada wajah tampan yang berdiri di sampingnya.
Alard mengalihkan tatapannya dari rerumputan taman dan ikut menatap ke aeah istrinya.
"Aku sudah menerimamu sejak malam itu. Saat pertama kali kita kembali bertemu setelah enam tahun Zia." Ucap Alard jujur. Dia bahkan berfikir jika takdir hidupnya begitu baik hingga di pertemukan dengan gadis yang dulu sempat membuatnya berdebar lalu dia abaikan.
Zia mengangguk percaya. Yah dia percaya karena selama ini Alard memperlakukan dia dengan sangat baik.
"Tapi kamu menerimaku bersama dengan bayangan gadis itu." Ucap Zia lalu memutus tatapan mereka.
Alard terdiam, kalimat Zia barusan memang benar.
"Jika malam ini aku mengatakan untuk menghapus bayangan itu dari dalam ingatanku, apa kamu percaya ?" Tanya Alard.
"Aku tidak ingin perkataan tapi pembuktian." Ujar Zia. "Masih tanpa cinta bukanlah masalah, itu bisa kamu usahakan berikutnya. Hanya saja aku tidak ingin ada wanita kedua dalam pernikahanku." Smabungnya.
Alard mengangguk lalu meraih tangan Zia untuk di gennggamnya erat. Sejak awal memang tidak lagi ada wanita lain, hanya ada Zia. Bahkan cinta yang samar kini mulai jelas terasa, namun biarlah waktu yang akan membuktikan kesungguhannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Jumadin Adin
Dalam sebuah hubungan pernikahan,jgn ada dusta diantara keduanya
2023-01-18
0
Saonah Onah Nona
semangat
2022-05-29
0
Mbah Edhok
jangan ada wanita kedua diantara kita ...
2022-04-22
0