**Maaf tiga hari ini tidak sempat up, pekerjaan di kantor numpuk terus othor amatiran ini lagi kurang enak badan. Terimakasih untuk teman-teman yang masih menyempatkan diri mampir ke cerita rezeh aku ini, dan selamat membaca semuanya 😊**
***
Zia masih terus mendorong kursi roda menuju taman belakang rumahnya.
Setelah selesai makan malam, juga penetapan tanggal pernikahan, Alard meminta izin pada empat orang paruh baya itu untuk berbicara dengan Zia berdua saja.
Ada banyak hal yang masih mengganggu hati dan fikirannya. Gadis yang nyaris sempurnah seperti Zia mau menerima laki-laki seperti dirinya dengan tangan terbuka tanpa syarat, menurutnya kejadian ini hampir mustahil.
Bahkan sang kekasih yang sudah lama bersamanya saja, memilih pergi dan hidup normal dengan laki-laki lain.
****
"Jadi apa kita perlu menandatangani surat pra nikah atau sejenisnya ?" Tanya Alard saat melihat Zia sudah duduk di kursi taman yang ada di sampingnya.
"Tidak, aku ingin menikah sungguhan." Jawab Zia tenang. Alard begitu terkejut dengan jawaban yang ia dengar dari Zia hari ini.
"Jangan konyol Zia, disini kamu adalah orang yang paling di rugikan. Dengan keadaanku sekarang, aku sama sekali tidak bisa menjalani pernikahan normal seperti pada umumnya." Ucap Alard masih terus menatap wajah teduh di sampingnya.
Zia menoleh dan ikut menatap wajah calon suamainya dengan begitu lekat.
"Untuk itulah pernikahan terjadi, Allah sengaja mempertemukan dua orang manusia agar bisa saling melengkapi. Tidak ada perhitungan untung dan rugi dalam sebuah pernikahan, hanya berusaha ikhlas dan saling menerima." Jawab Zia lugas.
Alard memutus tatapan mereka, dadanya bergemuruh setelah mendengar kalimat Zia barusan. Baiklah dia faham, didikan soal agama dalam keluarga Zia mungkin tidak lagi bisa di ragukan, namun gadis yang kini menatap lekat ke arahnya sama sekali tidak mengajukan apapun untuk kepentingannya sendiri.
"Tapi kenapa ? kita bahkan tidak saling mengenal." Tanya Alard masih dengan rasa tidak percaya. Apa kurangnya gadis ini hingga mau menghabiskan waktu bersama laki-laki seperti dirinya. "Jika tentang uang, aku fikir kamu hidup dengan keluarga yang berkecukupan jadi tidak memerlukan hal itu. Dan alasan tidak ada laki-laki lain yang menginginkanmu itu lebih tidak masuk akal lagi, kamu memiliki wajah yang cantik juga karir yang baik, hal yang tidak mungkin jika tidak ada satupun laki-laki yang tertarik dan ingin menikahimu." Sambungnya.
"Aku bersungguh-sungguh Alard, jika kamu tidak bisa menerimanya bukanlah masalah bagiku. Anggap saja alasanku menerima pernikahan ini sebagai tabungan untuk akhiratku nanti." Jawab Zia.
"Aku tidak bisa membahagiakanmu Ziane." Ucap Alard lirih. Dia berharap gadis yang sedang duduk tenang di sampingnya ini bisa mengemukakan sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya sendiri. Sungguh dia tidak akan bisa menjadi suami sepenuhnya untuk gadis yang masih menatap lekat ke arahnya ini.
"Cukup perlakukan aku dengan baik sama seperti suami pada umumnya, itu sudah cukup membuat aku bahagia." Ucap Zia sambil tersenyum ke arah Alard.
"Apa itu cukup ? bagaimana dengan kebutuhan biologismu, aku tidak akan bisa memenuhinya. Lalu bagaimana dengan ketururnan ? bukankah menjadi ibu adalah hal yang paling membahagiakan bagi seorang wanita ?" Ucap Alard.
"Kata Eyang Abiku dulu, sejatinya kebahagiaan dalam hidup tidak selalu di ukur saat yang kita inginkan akan selalu kita miliki, namun kebahagiaan yang sesungguhnya adalah saat kita bisa selalu bersyukur apa yang telah kita miliki sekarang." Ucap Zia tersenyum. "Kamu tahu Alard alasanku tidak ingin banyak meminta hal pada keluargamu ? padahal kalau di fikir keluargamu akan mampu mengabulkan semua permintaanku. Tapi aku tidak ingin menjadi manusia yang serakah dan tidak pandai bersyukur, karena kita sebagai manusia tidak akan pernah punya batas kepuasan dalam menginginkan sesuatu." Sambung Zia.
Alard masih terdiam, mencerna kalimat panjang lebar yang di utarakan Zia beberapa saat lalu.
"Baiklah, aku mengerti jika kamu tidak menginginkan sesuatu dari kami untuk imbalan pernikahan ini. Untuk seorang gadis yang didik dalam keluarga baik seperti dirimu, mungkin tidak mau pernikahan sakral ini di libatkan dalam hal apapun. Namun bagaimana dengan kita ? kita bahkan tidak memiliki perasaan satu sama lain untuk bisa hidup bersama nanti." Ucap Alard.
Zia tersenyum mendengar Alard membahas soal perasaan di antara mereka.
Dengan perlahan Zia beranjak dari kursi taman lalu berlutut di hadapan kursi roda agar bisa mensejajarakan tubuhnya dengan laki-laki di hadapannya.
Menatap lekat pada manik cokelat yang menyimpan banyak kesedihan itu dengan dalam. Meyakinkan laki-laki di hadapannya, jika dia benar-benar yakin dengan keputusannya ini.
Debaran jantung yang pernah dia rasakan di dalam pesawat enam tahun yang lalu, kini kembali dia rasakan sejak melihat Alard memasuki rumahnya beberapa jam yang lalu. Dan apakah ini sudah termasuk perasaan ? Entahlah, yang jelas dia ingin menghabiskan waktu bersama laki-laki di hadapannya ini.
"Jangan terlalu khawatir tentang perasaan yang belum saling memiliki, Allah maha mengatur segalanya. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya." Ucap Zia lagi lalu menggenggam tangan yang dulu pernah membantunya memberi segelas air minum juga pil pereda mabuk saat di pesawat enam tahun lalu.
Tangan kekar laki-laki yang dulu duduk berdampingan dengannya di dalam pesawat, terlihat tidak lagi sekekar dulu. Tulang jemarinya sudah nampak terlihat.
Tubuh yang dulu begitu gagah, kini terlihat sedikit kurus juga rahang yang tegas mempesona sudah di tumbuhi bulu halus yang tidak lagi terawat.
Beberapa saat tatapan mereka saling mengunci, Zia tersenyum dengan tulus. Hari ini dia sangat bahagia, karena takdir begitu baik padanya karena kembali mempertemukan laki-laki arogan namun memiliki sifat hangat ini. Laki-laki yang dulu menyodorkan sapu tangan berwarna putih padanya.
"Kita harus kembali, ayah dan ibu kamu pasti sudah menunggu." Ucap Alard memutus tatapan mereka. Dia tidak bisa lagi menahan gejolak di dalam dadanya karena sikap luar biasa dari gadis yang sedang berlutut di hadapannya ini. Meskipun kata jatuh cinta masih terlalu jauh, namun dia tidak bisa mengabaikan kekagumannya pada gadis yang berlutut di hadapannya ini.
"Baiklah." Jawab Zia lalu bangun kemudian melangkah menuju ke belakang dan kembali mendorong kursi roda menuju rumah.
****
Semuanya berjalan dengan lancar, pernikahan akan di langsungkan tiga hari lagi, Tamara yang meminta ini. Dia ingin gadis kecil yang dulu selalu bersama Angga, akan segera dia bawah kerumahnya.
"Terimakasih ya nak." Ucap Tamara saat Zia mencium punggung tangannya.
"Hati-hati mbak." Ujar Anisa saat keluarga itu sudah maauk kedalam mobil.
"Iya, jaga menantuku Nis." Ucap Tamara dari dalam mobil.
Zia tersenyum sembari melambaikan tangannya saat mobil mewah milik calon keluarga barunya mulai bergerak keluar dari halaman rumah.
"Ayo masuk." Ajak Dimas saat melihat putrinya masih berdiri di eras rumah mereka, padahal mobil yang membawa keluarga itu sudah tidak lagi terlihat.
Zia menatap ke arah sang Ayah lalu mengangguk bersamaan dengan senyum manis di bibirnya yang mengembang dengan sempurnah.
"Apa kamu bahagia ?" Tanya Dimas saat mereka berdua mulai melangkah masuk ke dalam rumah.
"Iya Ayah, dari dulu sampai sekarang Allahselalu memberi bahagia. Alhamdulillah." Jawab Zia.
Dimas tersenyum lalu mengusap puncak kepala putrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
amalia gati subagio
😱narasi yg dibangun..... bangus jg sich, gambar depan "tulus ikhlas agamamis" ....realnya barteran 😪 Hadehhhh keluarga cemara emang warbinasahehhh munafiknya natural 😪
2022-08-30
0
amalia gati subagio
Gen dungu turunan 🤔
ibu anak ceritanya bikin laper
2022-08-30
0
Ninin Primadona
kalo sdh jodoh.. selama apapun.. pasti menyatu juga
semoga kedepannya mereka bahagia
2022-07-18
0