Dia mundur, menghindar dariku. "Datang dan ambil saat luang," jawabnya.
Aku pun segera menyahuti. "Baiklah, malam ini aku punya waktu, Tuan," sahutku lalu kembali mendekatinya.
"Gue nggak punya waktu malam ini. Ambil saja saat siang!" katanya lalu mendorongku keluar ruangan.
Malam harinya...
Sepulang bekerja ternyata aku tidak bisa kembali ke rumah begitu saja. Target sasaranku mengajak ke apartemennya. Dengan masih mengenakan pakaian kantor, aku bersamanya menuju apartemen kelas satu di kota ini. Namun, kali ini dia yang menyetir mobilku, sedang aku duduk di sampingnya sambil memikirkan bagaimana cara untuk menaklukkannya.
Bisa dibilang malam ini adalah malam yang bagus untukku karena dia sendiri yang mengajak ku. Jarang sekali dia mengajak ku ke apartemennya. Biasanya aku harus mati-matian menggodanya terlebih dahulu, itupun tidak berhasil. Tapi kali ini, sepertinya keberuntungan sedang berpihak padaku.
Sesampainya di apartemen, aku kembali beraksi, menjalankan misi. Namun, lagi-lagi tidak mudah bagiku untuk merobohkan pertahanannya. Saat dia beranjak mandi, aku ingin ikut. Tapi, di saat itu juga dia mendorongku agar menunggu di sofa tamu saja.
Menyebalkan!
Satu kata mencuat dari hati ini. Rasanya kesal sekali. Sudah hampir tiga minggu aku belum mendapatkan apa-apa. Ingin rasanya menyerah, tapi uang satu milyar itu tidak bisa kulepas begitu saja.
Apa aku kurang menarik?
Kulihat tubuhku di cermin yang ada di dekat meja makan. Kuperhatikan baik-baik tubuh yang terbalut pakaian kantor ini. Dan saat itu aku menyadari jika tubuhku begitu sempurna. Lekukannya benar-benar menarik pandangan.
Harus berapa kancing yang kubuka agar berhasil menggodanya?
Di tengah-tengah lamunan, ternyata dia sudah keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk sebatas perut dan lutut. Saat itu juga aku menyadari betapa indah bentuk otot di tubuhnya. Dia benar-benar terlihat perkasa. Tak bisa kubayangkan jika nanti bercinta dengannya.
"Tuan Jackson, aku bantu memakai baju, ya?" Aku segera mendekatinya.
"Tunggu di sini saja," katanya jutek.
Kembali dia bersikap amat menyebalkan. Dia menutup pintu kamar lalu membiarkanku menunggu di luar. Detik demi detik pun berlalu, berharap dia memanggilku. Tapi nyatanya, tidak.
Kasihannya dirimu Cecilia ....
Kadang terbesit ide buruk untuk memberikannya obat perangsang agar berlutut di depanku. Tapi, apa harus menggunakan cara selicik itu? Lagipula jika ketahuan, pastinya dia tidak akan memercayaiku lagi. Satu-satunya jalan untuk menaklukkannya adalah selangkah demi selangkah.
Kupakai lagi saja parfumku.
Kuambil botol kecil parfumku dari dalam tas. Kusemprotkan ke leher, dada dan juga tangan. Berharap kali ini akan berhasil menaklukkannya. Aku tidak sabar untuk memiliki uang satu milyar itu.
"Cecilia!"
Kudengar suaranya memanggil. Segera aku masuk ke dalam kamarnya, dan kulihat dia sedang mengancingi kemejanya sendiri. Inisiatifku muncul, kubantu dia mengenakan pakaiannya.
"Biar aku saja, Tuan."
Aku membantunya mengancingi kemeja hingga mengikatkan dasi untuknya. Saat itu juga tercium aroma wood dari rambutnya. Sepertinya dia memang menyukai aroma shampo yang seperti ini.
Dia manly sekali.
Kuhirup dalam-dalam aroma ini lalu membantunya merapikan tatanan rambut. Dan kulihat dia mulai tertarik dengan sikapku. Setelah selesai, dia pun berdiri di depan cermin sedang aku di belakangnya.
Semoga malam ini berhasil.
Aku masih berharap misiku terlaksana dengan baik. Ya, walaupun aku tahu jika targetku kali ini tidak sama seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin jika aku berhasil melakukan misi ini, aku akan berhenti dari pekerjaan dan mencari pekerjaan lain. Sudah banyak pria hidung belang yang menjadi target misiku. Dan aku merasa harus segera mencuci tangan agar tidak menimbulkan dampak ke depannya.
"Tuan, bagaimana model ikatan dasiku?" tanyaku yang melihatnya masih menatap simpul ikatan di cermin.
Dia hanya diam lalu memakai jas hitamnya sendiri.
Aku berjalan mendekat. "Jika Tuan tidak suka, aku akan mengikatnya dengan model lain," kataku setengah berbisik padanya.
"Nggak, gue suka." Dia menjawab seraya melihat ke arahku.
"Apakah lebih bagus dari ikatan nyonya Baldev?" tanyaku lagi.
Dia tersenyum tipis. "Apa pantas membandingkan seorang karyawan dengan istri bosnya sendiri?" Dia melangkahkan kaki, keluar kamar begitu saja.
Sontak aku tersentak mendengar kata-katanya. Begitu pedas, seolah memintaku agar tahu diri. Dia berlalu meninggalkanku sendirian di dalam kamar, tanpa peduli jika ucapannya itu membuatku amat kesal.
Ya, ya, ya. Aku memang karyawanmu sekarang. Tapi, suatu hari aku akan menaklukkanmu.
Dengan penuh keyakinan aku mengatakannya di dalam hati. Semangatku semakin berkobar untuk menaklukkannya suatu hari nanti.
Satu jam kemudian...
Jackson memintaku menemaninya ke City Club. Tempat di mana bermainnya orang kalangan atas di kota ini. Sesampainya di halaman klub, kulihat puluhan mobil mewah terparkir di tepi jalan. Dan saat kumasuk, kulihat banyak sekali wanita yang tak terhitung jumlahnya. Mereka menghabiskan banyak uang untuk memuaskan hasratnya. Dan harus kuakui jika di sini memang tempat berkumpulnya orang kaya, mulai dari orang kaya baru hingga kaya dari lahir.
"Tuan, wanita mana yang paling cantik?" tanyaku seraya berdiri di sisinya yang duduk di depan meja bar.
"Seperti apa standar kecantikan wanita?" Dia bertanya sambil menoleh ke arahku.
"Mungkin seperti aku." Aku merasa yakin.
Dia mengangguk, namun seakan tidak peduli. Tak lama seseorang pun datang menghampirinya. Seorang pria dengan tubuh gemuk dan tinggi. Sepertinya dia adalah bos dari klub ini.
Beberapa percakapan pun terjadi di antara mereka. Aku sih diam saja sambil menunggu perintah. Targetku sedang mencoba mendapatkan informasi tentang Hadden dari pria itu. Dia juga menanyakan apa Hadden pernah datang akhir-akhir ini dan dengan siapa dia datang, serta dalam acara apa. Tak kusangka jika ternyata dia begitu kepo.
Setelah dipikir-pikir, aku merasa geli melihatnya mengorek informasi. Dia bak interpol yang tidak mengenal kata menyerah untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Sesaat kemudian percakapan mereka pun berakhir. Dia lalu mengajakku naik ke lantai enam untuk makan. Ya, sudah kuturuti saja.
Sesampainya di lantai enam...
Tak perlu menunggu lama, kami akhirnya tiba di lantai enam gedung ini. Jackson mengajak ku masuk ke dalam sebuah ruangan yang diisi beberapa bos dari perusahaan lain. Dia juga memintaku menuangkan teh untuk para bos itu. Tapi sayangnya, aku terlalu fokus mendengarkan pembicaraan sehingga tanpa sadar teh panas itu mengenai tanganku.
"Aw!"
Tanganku terkena teh panas. Spontan aku meletakkan tekonya ke atas meja. Namun, saat itu juga air teh dari teko itu menciprat ke celananya. Dengan segera aku pun membersihkannya.
"Tuan, maaf."
Segera kulap celananya dengan tisu tanpa memedulikan tanganku yang melepuh terkena teh panas. Dan tanpa kusadari aku mengelap-ngelap hampir di bagian sensitifnya. Seketika itu juga aku jadi canggung sendiri. Aku melihatnya dan dia melihatku. Posisi ini membuat kedua bola mata kami seolah-olah sedang berbicara.
"Ak-aku ke toilet dulu, Tuan." Aku berpamitan kepadanya.
"Tunggu."
Dia menahan tanganku lalu memanggil pelayan untuk meminta salep. Tak lama pelayan pun datang membawakan salep untukku.
"Obati lukamu sendiri." Dia tiba-tiba jadi perhatian padaku.
Tuan ...?
Seketika aku merasa misiku mulai berhasil. Di dalam pikiranku hanya memikirkan bagaimana cara agar dapat lebih menarik perhatiannya. Kuputar otak dengan cepat lalu kuputuskan untuk pergi ke toilet sebentar.
"Em, Tuan. Aku ke toilet sebentar. Nanti ke sini lagi." Aku memohon izin padanya.
Dia diam lalu mengangguk satu kali. Tak tahu apa yang sedang di pikirannya, segera saja aku pergi ke toilet untuk merapikan diri. Aku pun tak peduli dengan tanganku yang terkena teh panas asal uang satu milyar itu bisa cepat kudapatkan. Namun, saat tiba di depan toilet, aku melihat seseorang yang akan mengancam identitasku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 171 Episodes
Comments
Linamarlina
jadi dekdekan bacanya seru sih
2021-12-15
0
Clara
dilanjut..
2021-11-10
0
Enny Sulasmi
kasian deh kamu cecil . .
2021-10-29
0