"Nenek... Zara kangen banget sama nenek..." ucap Zara dengan posisi masih mendekap sang nenek.
"Nenek juga sayang, oh ya bagaimana hari ini?"
"Seneee...ennggg ... banget nee...nekkk."
"Sungguh?"
Zara mengangguk senang.
"Alhamdulillah," ucap nenek sambil mengusap kepala cucunya.
.
.
Ekspresi kebahagiaan itu begitu terpancar kuat dari wajah cucunya itu.
.
.
"Nenek tau ga, hari ini aku makan kue dan minuman kesukaanku nek."
"Oh ya! ... trus jadi pergi sama Rini dan Hesti?"
"Jadi dong..."
"Jadi ... jadi begini nek ceritanya ...."
.
.
Ahirnya sore itu Zara bercerita panjang lebar tentang keseruannya pergi dengan teman-teman nya.
Dengan sangat jelas keceriaan itu tergambar di wajah cantik Zara. Nenek merasa lega, setidaknya hari ini ia sudah memberikan keputusan yang tepat untuk cucunya itu.
Terlebih ahir-ahir ini perhatian darinya sangat berkurang untuk cucu satu-satunya itu.
.
.
...⚜⚜⚜...
...Kediaman Abraham....
"Bik, ayah belum pulang?"
"Belum Tuan, tetapi beliau berpesan kalau Tuan sudah pulang dari kampus untuk segera menelpon beliau."
"Hmm... "
"Tuan, makan malamnya sudah siap!"
"Iya Bik, sebentar lagi."
De berbalik.
"Ehmm.. simpan saja dulu Bik, nanti kalau aku sudah lapar tolong dipanaskan kembali."
"Baik Tuan, saya permisi."
"Hmm ..."
Lalu De pun pergi menuju kamarnya. Ia melempar tas kuliahnya ke sembarang arah, lalu merebahkan dirinya di atas kasur. Matanya menerawang jauh menembus langit-langit indah kamarnya.
Ia memejamkan matanya sembari mengingat semua kejadian hari ini. Andai ibunya masih hidup, mungkin saat ini ia sudah masuk ke kamarnya dan menyambut kedatangannya.
Pelukan hangat akan ia terima saat ini sama seperti yang didapatkan Brian tadi. Nyatanya hal itu tidak akan pernah terjadi. Selama beberapa tahun ini ia selalu melewati hari-harinya dengan kesendirian.
Mau di luar negeri ataupun disini sama saja. Ia merasa sendirian.
Saat ini De sungguh merindukan sosok ibunya. Sejak ia tinggal di rumah ini, semua bayangan dan kenangan bersama ibunya kembali menghinggapinya.
Semua memori dan kenangan indah seolah-olah berputar-putar kembali saat ini. Membuat De semakin tersiksa dan menginginkan ibunya kembali. Andai ayahnya bisa sedikit saja memperhatikannya tentu ia akan lebih merasa bahagia.
Ia begitu iri dengan sahabatnya, Brian. Meskipun ia kini tinggal bersama neneknya, tetapi ia bisa melihat dengan jelas. Saat ia datang tadi, neneknya menyambutnya dengan penuh kehangatan.
Terlihat jelas kasih sayang neneknya terhadap Brian. Di dalam hati kecil De, ia juga ingin mendapat pelukan kehangatan dari orang-orang yang menyayanginya.
Tapi siapa yang sayang padanya? bahkan ayahnya lebih memilih untuk menghabiskan waktunya untuk mengurusi kerajaan bisnisnya. Satu hal lagi yang membuatnya jengah, kekasihnya lebih memilih berselingkuh dengan orang lain.
Lalu salahkah dia lahir di dunia ini?
"Oh ****... hidup ini kejam," umpat De.
Ingin ia pergi meninggalkan rumah ini dengan segera. Buat apa dia tinggal disini kalau kehadirannya saja tidak diakui.
De bangun, lalu meraih kunci mobilnya, dan ia bergegas menuruni anak tangga dan pergi menuju mobilnya yang masih terparkir di depan rumah itu.
Pelayan rumah yang menyadari tuan mudanya mau pergi, segera berlari mengejar anak majikannya itu ke halaman.
"Tuan ... tuan ... mau kemana?" tanyanya sambil ngos-ngosan.
Tentu saja ia harus berlari sekuat tenaga untuk mengejarnya, langkah kakinya begitu kecil akan kalah jika dibandingkan langkah kaki tuan mudanya itu.
De berhenti dan sedikit menoleh, "Aku ingin keluar sebentar!"
"Itu Tuan, anu .... "
Hosh ... hosh ... hosh ...
masih jelas terdengar suara nafas tidak teratur dari pelayannya itu
"Anu Tuan, tadi barusan Tuan besar telepon, beliau menyuruh Tuan untuk menjemput seseorang di bandara."
De mengerutkan dahinya, "Siapa?"
"Maaf untuk hal itu saya tidak tau Tuan."
"Lebih baik, tuan mencari tau sendiri saja, saya permisi."
"Hmm ..."
De lantas mengurungkan niatnya, dirogohnya kantung celananya dan tidak menemukan ponselnya.
Dengan sangat terpaksa ia pun berbalik kembali menuju ke kamarnya. Tentu saja untuk mengambil ponselnya yang tertinggal.
Bukan itu saja, sejenak ia ingin mendinginkan kepalanya yang tadi terasa panas. Lagi pula tubuhnya sudah lengket disana sini.
Alangkah baiknya ia berendam atau setidaknya mandi terlebih dahulu.
Dengan segera ia pun kembali ke kamarnya. Setelah berhasil sampai, ia melepas satu persatu kancing kemejanya sehingga terlihat dengan sempurna pahatan otot-ototnya serta roti sobek miliknya itu.
Pahatan maha karya sempurna dari sang pencipta kini jelas terlihat dari bentuk tubuh De. Olahraga yang ia lakukan selama bertahun-tahun telah membuat tubuh serta badannya begitu proporsional dan menggoda.
"**** ..."
adalah sebutan yang sempurna untuknya.
Membuat siapapun yang melihatnya terpesona dan tergoda, begitu pula dengan Laura, mantan kekasihnya.
.
.
Ehh... tunggu dulu mereka belum putus... wkwkwk.. maaf author oleng😂
.
.
Setelah semua pakaian De terlepas ia pun segera masuk kamar mandi. Diraihnya gagang shower dan keluarlah air segar yang mengalir dari shower.
Membasahi kepala hingga ujung kakinya. "Ahh ... sensasinya begitu menyegarkan."
Membuat De sejenak bisa melepaskan semua penat yang meng-hinggapinya. Ia memejamkan matanya dan menikmati setiap tetesan air itu sembari menghirup aroma lavender dari kamar mandinya.
Setelah tubuhnya basah kuyup, ia pun berendam dengan air hangat yang sudah ia beri sedikit aroma terapi di dalamnya.
Aroma relax menyeruak di seluruh kamar mandi. Membuat De merasa nyaman untuk sejenak.
.
.
Tiga puluh menit kemudian, De telah selesai melewati ritual mandinya. Ia pun keluar dari kamar mandi dan menuju ruang ganti.
Diraihnya sebuah kaos hitam yang dipadukan dengan celana jeans dengan variasi robek-robek di lutut. Tak lupa ia menyemprotkan parfum di pergelangan tangannya, lalu ia meraih sebuah arloji dan menyematkannya di tangan kanannya.
Ia tidak menyisir rambutnya dan hanya merapikan sedikit ujung rambutnya. Memang ia lebih suka tampilan fresh seperti ini. Karena ia baru saja keramas, jadi ia akan membiarkan rambutnya acak-acakan.
Setelah semuanya siap, ia mengambil dompet, ponsel dan kunci mobilnya. Lalu ia pun turun ke lantai satu.
"Bibik ...."
"Iya Tuan ..."
"Makanannya tolong disimpan dulu, nanti kalau saya sudah pulang baru dihangatkan kembali, aku pergi menjemput seseorang dulu."
"Baik Tuan."
Lalu De meninggalkan rumahnya untuk menuju bandara. Setelah selesai mandi, ia sempat melirik ponselnya untuk melihat satu pesan dari ayahnya.
"De, tolong habis kuliah jemput keponakanmu Tasya dan Bibi Mayra di bandara."
tulis ayah De.
Ia segera menaruh ponselnya di laci dashboard tanpa membalas pesan tersebut terlebih dahulu. Sesudahnya ia menginjak gas dan memacu mobilnya menuju bandara.
Meskipun capek dan penat ia tetap melaksanakan perintah ayahnya. Lagi pula Bibi Mayra adalah adik ayahnya, dan Tasya adalah saudara sepupunya.
Malam itu De membelah jalanan ibukota dengan kecepatan sedang. Hanya butuh waktu empat puluh lima menit, ia sudah sampai di bandara. Suasana malam itu cukup sepi sehingga ia lebih cepat sampai di bandara.
Beruntungnya pesawat yang ditumpangi bibinya itu baru saja tiba. Ia pun menuju tempat untuk penjemputan penumpang.
Ia tidak mau masuk ke bandara dan memilih untuk menunggu mereka di pintu kedatangan tamu mancanegara.
Benar saja, belum sampai sepuluh menit, dari arah kejauhan sudah terlihat keponakannya yang comel itu. Tasya kecil melambai-lambaikan tangannya ke arah De.
"Mom, itu kak De..."
"Mana sayang, ah ... iya, mari kita kesana."
"Ayuk Mom."
Tasya kecil sangat rindu pada De, begitu pula dengan De. Kehadiran Tasya sudah seperti adik kandungnya sendiri.
Bahkan dulu yang memberi nama waktu bibinya melahirkan adalah De. Yang kebetulan saat itu ia sedang liburan sekolah di Korea.
.
.
.
Lalu seperti apakah keponakan De yang katanya comel itu? ...
.
.
Setelah beberapa saat ahirnya mereka sampai di depan De. Ia pun menyalami tantenya itu dan memberi salam.
"Malam tante ..."
"Malam De, wah lama tak berjumpa kamu semakin tampan saja.
Tasya kecil menyenggol lengan mamanya. Baginya yang boleh memuji De hanya dirinya. Selain itu sejak tadi De belum menyapanya sehingga Tasya merasa diabaikan. Membuat dirinya memonyongkan bibirnya sehingga menambah kesan lucu padanya.
Tentu saja De tergelak dengan polah lucu keponakannya itu. Sejak dulu Tasya memang keponakan yang unik baginya.
Karena setiap ada yang memujinya pasti ia akan bertingkah seperti itu. Mungkin jika ia sudah dewasa bisa-bisa De menjadi tidak bisa mendekati gadis-gadis karena ada dia disisinya.
Tante Mayra memberi kode pada De agar ia menyapa Tasya terlebih dahulu agar ia tidak merajuk.
Bukannya menuruti isyarat dari tantenya, De malah sengaja menggoda Tasya. Setidaknya polah tingkahnya bisa membuatnya sedikit tersenyum.
"Tante, dimana Tasya? apa tante tidak mengajaknya kemari?"
Mendengar De tidak menyadari kehadirannya, Tasya menghentak-hentakkan kakinya ke lantai karena kesal.
Dengankedua tangan bersedekap di depan dada dan kedua mata yang melotot, ia memandang tajam pada De.
"Kak Dee ...." teriaknya kesal.
De hanya tertawa menanggapinya. Dengan segera ia menggendong keponakannya itu.
Senyum Tasya pun terbit tatkala De tiba-tiba mengangkatnya dan menggendongnya.
"Kamu marah sama kakak?" tanya De sambil menyentil ujung hidung Tasya yang imut.
"Ahh ... jangan sentuh hidungku ..." gerutunya.
Tetapi yang namanya De, jika jiwa usilnya sudah tiba siapapun tidak bisa mencegahnya.
Sedangkan Mayra hanya geleng-geleng melihat keponakannya mengerjai putrinya itu. Setidaknya kedatangannya kali ini bisa mengukir sedikit senyum di wajah De.
Kedatangannya kali ini bukan kesengajaan seperti biasanya, tetapi hal itu atas permintaan Roy, ayah De. Beberapa hari yang lalu ia menelpon dan sedikit bercerita padanya.
.
.
>>>FLASH BACK ON
Kring
Kring
Kring
Bunyi telepon pagi itu mengusik seorang wanita cantik yang sedang melakukan olahraga yoga. Karena dering telepon yang tak kunjung usai ia pun segera menghampiri alat komunikasi berbentuk bulat gepeng itu.
Sepersekian detik selanjutnya ia sudah menempelkan gagang telepon itu di salah satu telinganya.
"Hallo ..." ucap seseorang di sebelah sana.
"Hallo ..."
"Ini aku Mayra, kakakmu ..."
"Hai kak, apakabar?" ucapnya senang.
"Alhamdulillah baik."
Sambil memijat ujung hidungnya ia pun menceritakan maksud dan tujuannya. Mayra pun manggut-manggut saat kakaknya itu bercerita.
Lalu di ujung sambungan teleponnya itu, ia meminta dirinya untuk pergi ke Indonesia dan membantu untuk mendekatkan dirinya kembali dengan putranya.
Mayra pun menyanggupi permintaan kakaknya itu. Baginya kini saatnya ia balas budi untuknya. Selama ini kakaknya-lah yang membantu dirinya, jika hanya mendekatkan kembali ayah dan anak itu Mayra merasa bisa melakukannya.
"Aku usahakan secepatnya untuk bisa datang ke sana kak, untungnya minggu depan Tasya ada liburan sekolah."
"Alhamdulillah kalau begitu."
"Iya kak."
"Kalau begitu kamu beri tahu saja kapan kamu siap, maka tiketnya akan aku pesankan untukmu."
"Terimakasih kak, secepatnya aku akan memberi kabar."
Tut
Tut
Tut
Ahirnya obrolan pun berahir. Tampak di sudut ruangan Tasya sepertinya sudah memperhatikan dirinya yang lama mengobrol tadi.
Ia pun mendekati ibunya.
"Paman yang menelponkah?"
"Iya sayang.."
"Minggu depan, kita liburan ke Indonesia."
"Asyikk ..." ucapnya sambil melompat-lompat bahagia.
"Ahirnya aku bisa ketemu kakak tampanku ..."
Mayra tersenyum melihat tingkah putri kecilnya itu. Ia berharap kedatangannya kali ini bisa sedikit merubah keadaan.
.
.
>>>FLASH BACK OFF
.
.
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai dimana De memarkirkan kendaraan roda empatnya. Ia pun membukakan pintu untuk tantenya lalu sekalian memasukkan Tasya ke dalam mobil.
Bukannya mendudukkannya di depan, De sengaja mendudukkan Tasya di samping ibunya.
Tasya yang kesal ahirnya merubah posisi tempat duduknya dan melangkah ke kursi depan dekat kemudi.
De geleng-geleng akan tingkah keponakannya yang unik ini. Lalu setelah semuanya siap, mobil segera melaju menuju kediaman ayahnya.
Sepanjang perjalanan Tasya sudah mengoceh kesana kemari dan bercerita banyak hal pada De. Ia begitu senang karena tanpa merengek pun ia sudah bisa bertemu dengan De.
Ia juga bercerita tentang teman-teman sekolahnya, membuat De mengulas senyum sepanjang perjalanan.
Mayra hanya menjadi pendengar saja sama seperti De.
Keriuhan yang terjadi sepanjang perjalanan membuat De mengurungkan niatnya untuk memutar musik di dalam mobil.
Karena tanpa musik pun, suasana di dalam mobil sudah ramai.
De tetap fokus pada kemudinya, tetapi karena jalanan sedikit ramai, mereka pun sampai di rumah dengan menghabiskan waktu empat puluh lima menit.
Sebuah gerbang raksasa menyambut kedatangan mobil De. Setibanya di halaman rumah, semua penghuni mobil segera keluar.
Mayra membawa serta koper miliknya tetapi tangan De menghentikannya.
"Biar bibik yang membawanya nanti tante."
"Iya ..."
Benar saja, dari dalam rumah muncullah beberapa pelayan dan membantu De membawa koper-koper itu.
Sementara itu De, Tasya dan Mayra sudah masuk ke dalam rumah.
"Hmm ... masih sama seperti dulu."
"Wah rumah kakak besar sekali ..."
"Kamu senang?"
"Iya ..."
"Sayangnya ini bukan rumah kakak."
"Hah ..."
"Ya kan bener sayang, ini rumah kedua orangtua kakak, sedangkan kakak belum punya rumah sama sekali."
"Ha ha ha ... kakak lucu sekali."
Lalu mereka tergelak bersama-sama.
Meskipun sepele, sebenarnya ucapan itu penuh makna, dan Mayra tau betul akan hal itu.
Setelah semua barang berhasil di masukkan ke kamar tamu, Mayra dan Tasya meminta ijin untuk ke kamarnya.
Sedangkan De kembali ke kamarnya. Beberapa saat kemudian setelah semua makan malam siap, mereka kembali berkumpul dan makan malam bersama.
.
.
.
...~Bersambung~...
.
.
...Jangan lupa untuk tekan ❤ dan Favorit, agar saat author update akan muncul notifnya ... terimakasih 😊...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
CebReT SeMeDi
trs like
2021-10-25
0
My Lady
semangat
2021-10-13
1
haryani
semangat
2021-10-09
1