"Uhuk ... uhukk ..."
Zara tiba-tiba terbatuk ketika ia mengambil salah satu buku usang di salah satu rak. Tiba-tiba rasa pusing menyerangnya kembali.
Ia pun berpegangan pada salah satu rak untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Mulutnya hanya bisa komat-kamit membaca doa, agar rasa sakit itu sedikit berkurang.
Ataukah ini efek ia tidak rajin meminum obat dari dokter kapan hari?
Sungguh ia sama sekali tidak menyukai obat itu. Zara tipikal orang yang paling tidak menelan pil. Oleh karena saat ia disuruh minum obat, ia selalu membuangnya di dalam lengan bajunya yang panjang. Baru sesudahnya saat tidak ada orang ia membuangnya di closet.
...***...
Rini yang baru saja sampai di perpustakaan segera mencari keberadaan sahabatnya itu. Kedua sahabatnya itu memang keterlaluan. Disaat ia sedang menikmati ciptaan Tuhan yang maha sempurna malah ditinggalin.
"Dimana Zara ya?" gumamnya.
Ia pun menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Lalu menyusuri setiap lorong yang ada diruangan itu.
"Hai ..." ucapnya senang ketika ia bisa menemukan sosok sahabatnya itu pada salah satu lorong rak buku.
Untungnya saat itu kondisi Zara sudah agak baikan, jadi Rini tidak curiga akan hal yang barusan terjadi pada Zara.
"Kamu tu ya, aku cariin dimana-mana eh taunya nyangkut di perpus."
Omelan Rini pun keluar tanpa rem, lancar banget kek jalan tol ... meskipun begitu, Zara menikmati suara renyah sahabatnya itu.
Lalu mereka pun duduk pada salah satu bangku. Zara memeriksa apakah benar buku yang ia ambil tadi benar-benar ia butuhkan atau tidak.
Sedangkan Rini masih asyik dengan ocehannya. Sampai ia tersadar kalau apa yang ia ucapkan barusan tidak di dengar olehnya.
"Zaraaa ... kamu tu denger ga sih omongan gue dari tadi."
"Shutttt ... diem ... jangan berisik, ini perpus!"
"Ya gue tau ini perpus tapi setidaknya lu dengerin gue ngomong gitu loh!"
Lagi-lagi Zara hanya memberikan kode agar Rini menutup mulutnya karena saat ini ia lagi konsen pada buku tebal di hadapannya.
Jelas saja wajah Rini semakin kusut karena sahabatnya itu sama sekali tidak memperhatikannya.
...***...
Beberapa jam kemudian, kelas De sudah selesai. Menurut perjanjian ia harus segera menemui Om nya di ruang kerjanya.
Ia pun segera pergi untuk menemuinya.
Tok
Tok
Tok
"Excuse me, sorry is there anyone?"
"Yes, please come in."
De mulai memasuki ruangan itu dan mendudukkan dirinya tepat didepan pamannya itu.
"Bagaimana Om, apa ada hal penting?"
Tanpa ekspresi apapun lelaki di depannya itu segera meraih sebuah kotak dari dalam lacinya dan memberikannya pada De.
De tentu saja bingung akan tingkah pamannya itu. Ia menaik turunkan alisnya guna mencari tau apa yang sedang dilakukan pamannya itu.
"Tolong berikan itu pada Mayra."
"Hah, kenapa harus aku Om?"
Lelaki itu menyandarkan dirinya pada kursinya, terdengar jelas hembusan nafas kasar disana. Matanya menerawang jauh ke atas. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat itu.
"Bilang saja itu hadiah dari teman lamanya yang tak sempat ia berikan saat hari pernikahan tantemu."
"Hah ..."
"Gak usah banyak tanya, serahkan barang itu padanya dan katakan sesuai apa yang aku katakan padamu tadi."
"Hmm ... oke."
De pun mengambil kotak kecil berwarna hitam itu dan memindahkannya ke dalam tasnya.
Beberapa saat kemudian terdengar langkah sepatu dari arah pintu. Ya itu suara langkah dosen Lia. Mungkin ia sudah selesai mengajar karena itu ia kembali ke kantor.
Karena di ruangan itu sudah ada orang lain, De pun permisi. Lagi pula ia sudah berjanji pada keponakannya,Tasya, ia akan pulang cepat hari ini.
...***...
Selesai mata kuliahnya, Zara merasa kangen dengan keluarga Rini. Ia pun berniat untuk mengunjungi paman dan bibinya itu.
Dengan senang hati, Rini pun menerima niat baik Zara. Mereka pergi ke rumah Rini dengan diantar oleh sopir Zara.
Sudah dua hari ini memang ia memakai sopir pribadi untuk mengantarkannya kemana saja. Sebenarnya kapan hari Andrew pernah menawarinya untuk mengantar jemput Zara tetapi ia menolaknya.
Sudah pasti itu karena ulah neneknya yang selalu membatasi pertemuannya dengan pamannya itu.
Dongkol, kesel ... sudah pasti. Tetapi Andrew hanya keponakan dari neneknya, dan lagi ia hanya karyawan di perusahaan neneknya. Bisa-bisa kalau ia macam-macam ia bisa di deportasi kembali ke negaranya.
Nenek tua itu memang mempunyai seribu cara yang tidak bisa diprediksi oleh Andrew. Sehingga membuat Andrew harus tunduk pada setiap perintahnya.
.
.
Empat puluh lima menit kemudian Zara sudah sampai di rumah Rini. Mereka berdua segera keluar dari mobil tatkala melihat ibunya Rini sedang menyapu halaman.
"Assalamualaikum tante ..."
sapa Zara sopan.
"Waalaikumsalam, eh ada Zara."
Lalu Zara pun mencium punggung tangan ibunya Rini, begitu pula dengan Rini yang melakukan hal yang sama dengannya.
"Sudah lama tidak kesini, makin cantik saja."
"Terus... puji terus ... anak sendiri enggak pernah dipuji eh sekali ada temennya main dipuji mulu," gerutu Rini sambil masuk rumah.
"Hush ... gak sopan!" bentak ibunya.
Zara hanya tersenyum melihat keakraban ibu dan anak itu. Sedangkan ia sendiri, kapan ia bisa merasakan hal sama dengan Rini?
Neneknya saja selalu sibuk, lalu ia harus bermanja dengan siapa?
Tak mau memikirkan lebih jauh, Zara mengikuti langkah Rini dan ibunya yang sudah masuk ke dalam rumah.
"Zara ... sini ..."
Tiba-tiba Rini datang dari arah dapur mengagetkan Zara yang sedang melamun.
"Kemana?"
"Udah ikut aja ..."
Rini menarik tangan Zara dan mengajaknya ke belakang rumahnya. Kebetulan ayah Rini sedang menyembelih ayam kampung.
Zara yang tidak enak hati menyapa pamannya itu.
"Sore paman? maaf sedang apa?"
"Eh Zara, ini ibunya Rini bilang ingin makan ayam, jadi bapak potong saja salah satu ayam peliharaan bapak."
"Owh ..."
"Harus sampai seperti itukah jika Rini atau bibinya ingin makan ayam?" batinnya.
Padahal jika ia ingin makan ayam, tanpa perlu repot-repot ia sudah bisa menikmatinya. Tapi kini ia melihat sendiri kesusahan sahabatnya itu.
"Kamu ga jijik sama darah kan Zara?" tanya Rini tiba-tiba muncul dari arah belakang dan sudah berganti baju.
Zara menggeleng.
"Kamu duduk disini saja ya, biar aku bantuin bapakku dulu."
"Eh, aku juga mau bantu..."
"Nggak usah, kamu disini saja."
Lalu Rini menghampiri ayahnya dan membantunya mencabuti bulu ayam tadi. Di sela-sela kegiatannya mereka sempat bercanda, sehingga pekerjaan itu segera selesai.
Sedangkan ibunya Rini sudah menyiapkan bumbu untuk memasak ayam tersebut. Karena tidak enak hati, Zara membantu untuk mengupas bumbu-bumbu tersebut.
Meskipun Zara tidak bisa memasak, tetapi setidaknya ia bisa membantu mempersiapkan bahan-bahannya.
.
.
.
~Bersambung~
.
.
...⚜⚜⚜...
..."Terkadang kehidupan orang di luar sana tidak seindah yang kita bayangkan, kenyataan banyak orang yang lebih tidak beruntung ketimbang kita. Jadi, apapun yang kita miliki saat ini, hendaknya kita selalu mensyukurinya." ...
^^^Fany^^^
...⚜⚜⚜...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
CebReT SeMeDi
done
2021-10-25
0
haryani
lanjut ka
2021-10-16
1
My Lady
semangat
2021-10-13
1