Aeneas tetap bergeming. Ia cukup tahu bahwa keributan sedang berlangsung. Sikap tenangnya itu karena dia mengerti asistennya akan mengatasi kericuhan ini.
"Bapak-bapak, ibu-ibu, sekali lagi saya tegaskan bahwa kami ini manusia," ucap asisten Aeneas.
"Lalu, kenapa matanya hijau?"
"Sebelumnya perkenalkan, nama saya Kelana. Orang Indonesia sama seperti kalian. Oleh karena itu warna mata kita sama. Sementara bos saya ini—dia orang Italia. Banyak orang-orang dari benua Eropa yang memiliki iris mata cerah seperti bos saya ini," papar Kelana.
"Kok bisa? Benua Eropa itu dimana? Kenapa matanya bisa seperti itu?"
Masih saja ada yang meragukan keterangan Kelana. Mereka pun kembali riuh sendiri, menganggap Kelana sedang berbohong. Salah seorang yang tmperamental memprovokasi para warga.
"Tunggu apa lagi? Ayo cepat hajar! Jangan percaya penipu dan iblis ini!"
"Mereka mungkin saja memiliki ilmu gendam."
"Benar, mungkin penipu ini sedang berusaha menghipnotis kita dengan terus-terusan mengajak bicara. Kemudian, mereka akan menjarah rumah kita begitu kita semua terhipnotis."
"Benar."
"Ayo hajar!"
Para lelaki maju, menyerang Aeneas dan Kelana secara bersamaan. Kelana dengan sigap mencekal tangan seseorang yang lebih dulu mendekat sambil mengacungkan senjata. Ia menekuk tangan lelaki itu. Pria itu pun menjerit kesakitan.
Kelana merebut golok yang dibawanya lalu melempar jauh-jauh. Kemudian diangkatnya tubuh lelaki itu dan melemparnya kepada beberapa orang yang mendekat.
Arti agak menjauh dari gawang pintu bersama putrinya. Ia takut terlibat dalam perkelahian dadakan itu. Apalagi bila sampai menjadi korban salah sasaran. Dia tidak mau. Wanita culas itu masih ingin hidup panjang. Dipeluknya sang Anak yang kini sedang menangis ketakutan.
Perkelahian masih terus berlangsung. Kelana seorang diri mampu menghadapi mereka tanpa campur tangan Aeneas sedikit pun. Aeneas masih tetap berdiri diam di tempatnya.
Rupanya, sebuah kesalahan hanya merampas senjata lalu menjatuhkan tanpa melukai mereka. Beberapa dari mereka bangkit, mencari senjata yang telah di lempar sembarangan lalu kembali menyerang. Sepertinya Kelana harus melakukan sedikit ancaman.
Tiga orang mendekat. Kelana merebut senjata salah satu dari mereka. Seperti sebelumnya, dia melempar senjata rampasan tersebut. Celurit melesat, nyaris menyerempet seorang bapak yang hendak mengambil golok yang tergeletak di tanah. Celurit tersebut menancap ke tanah, tepat di depan ujung jari yang terulur pada golok.
"Uwaaaa!" teriak bapak itu terperenyak.
Ia jatuh terduduk dengan posisi tangan menyangga. Jantungnya langsung ketar-ketir akibat kejadian itu. Hampir saja nyawanya melayang terkena sabetan celurit terbang. Ia tidak berani lagi terlibat dalam perkelahian dan memutuskan untuk lari pulang.
Kelana menendang pria yang satunya hingga terjatuh. Sementara satu lagi yang masih mendekat, ia pelintir tangannya lalu membalik badannya. Tangan kirinya ia gunakan untuk mengunci tangan kiri pria itu. Sedangkan tangan kanan ia gunakan untuk memegang tangan kanan pria yang memegang golok. Diarahkannya sisi tajam golok terhadap pria yang disandranya.
"Berhenti menyerang bila tidak ingin teman kalian terluka!" ancam Kelana dengan suara yang sengaja dikeraskan.
Para emak-emak rumah tangga yang sedari tadi menjadi penonton telah berkurang jumlahnya. Ada yang masih di halaman, ada pula yang bersembunyi di balik pagar sambil mengintip. Bapak yang disandra Kelana berusaha menjauhkan golok dari lehernya. Namun, tenaga Kelana terlalu kuat.
"Kumohon, jangan bunuh aku!" pinta sandra itu gemetar ketakutan.
"Saya tidak akan membunuh Anda bila Anda tidak melawan setelah saya lepaskan," bisik Kelana.
"Baik, aku berjanji," ucap Sandra itu dengan nada lemas.
Namun, Kelana tidak langsung melepasnya.Ia masih harus memanfaatkannya sebagai Sandra selama beberapa saat lagi.
"Bapak-bapak, Ibu-ibu, dimana pun kalian berada. Baik yang di sini atau pun sedang bersembunyi, harap turunkan senjata kalian! Saya kemari bukan untuk mencari masalah. Kalian bisa tetap berkumpul di halaman ini atau pulang. Terserah kalian. Tapi saya harap kalian bersedia tetap di sini sejenak. Ada hal yang harus saya jelaskan kepada kalian supaya hal semacam ini tidak terjadi lagi di masa mendatang."
Selesai berbicara, Kelana melepaskan Sandranya. Bapak yang menjadi Sandranya itu pun meletakkan senjata ke tanah diikuti warga lainnya yang merasa lebih aman.
Kemudian salah satu warga bertanya, "Apa yang ingin kau katakan kepada kami?"
Kelana sudah mengamati perilaku para warga sejak pertama kali bertemu gadis kecil tadi. Melihat perlakuan mereka terhadap Aeneas saja ia bisa tahu bahwa Sanum dan putranya mengalami kehidupan memprihatinkan di desa ini. Ia bukan peramal tetapi itu sangat mudah diterka melalui kondisi sosial masyarakat. Meskipun ia belum pernah melihat Sanum dan putranya.
Ada tindak pelabelan dan diskriminasi yang terjadi entah disengaja atau tidak. Namun, hasil observasi Kelana menyatakan bahwa sebagian besar melakukannya tanpa sengaja. Terbukti dari kesalah pahaman yang baru saja terjadi, mereka mencap Aeneas sebagai setan karena kurangnya pengetahuan. Kemudian, mereka menggunakan keterbatasan pengetahuan tersebut untuk menafsirkan kenyataan baru di mata mereka secara subjektif—yang pada akhirnya menjadi salah kaprah.
Kendati demikian, dua puluh lima persen kemungkinan mereka melakukannya dengan sengaja tidak bisa diabaikan. Hati manusia siapa yang tahu. Mungkin saja ada oknum yang memanfaatkan ketidak Tahuan warga untuk menyengsarakan keluarga Sanum.
Tentunya ini tidak baik untuk perkembangan psikologi anak. Sepertinya Kelana dan Aeneas datang di waktu yang tepat. Belum terlalu terlambat untuk memperbaiki segalanya.
Langkah pertama untuk memperbaiki keadaan adalah merubah pola pikir masyarakat dengan memberikan sedikit pengetahuan. Hal ini ditujukan supaya kejadian serupa tidak terulang. Kelana mengambil ponsel pintar dari tas pinggangnya. Dia membuka aplikasi peta lalu mendekati kerumunan warga dan menunjukkan peta dunia pada mereka.
"Kalian lihat ini?" kata Kelana menunjuk posisi sekumpulan pulau, "Ini negara Indonesia. Letaknya ada di benua Asia. Tepatnya Asia Tenggara."
Bersama-sama para warga memperhatikan layar ponsel yang kecerahannya sudah diatur sampai batas maksimal. Mereka menatap jajaran pulau yang telah dikenali sejak dulu. Mereka pun menanggapi perkataan Kelana.
"Ya, aku tahu. Dulu waktu SD pernah disuruh menggambar peta Indonesia."
"Aku juga."
"Sama, aku masih ingat bentuk-bentuknya."
"Kalau Indonesia sih kami semua sudah tahu. Kami 'kan orang Indonesia. Untuk apa kau menunjukkannya kepada kami?"
"Dasar aneh!"
"Iya, aneh."
"Dipikirnya kita kurang pandai kali."
Selanjutnya mereka menyerang Kelana dengan puluhan cibiran tanpa sensor. Mereka tidak lagi berani menyerang secara fisik karena mereka tahu bahwa Kelana sangat kuat. Bila mereka takut dengan kekuatan kelana, seharusnya mereka juga tidak berani mengolok-oloknya. Karena hal tersebut bisa saja memicu kemarahan Kelana.
Namun, kenyataannya mereka terlihat seperti tidak takut sama sekali terhadap Kelana. Itu semua karena perkataan Kelana sendiri. Lelaki itu tidak ingin memancing perkelahian di sini. Itu artinya Kelana tidak akan melakukan kekerasan bila tidak dipancing terlebih dahulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 415 Episodes
Comments
Phoenix
warga di sana yg bersikap konyol tp knp gue yg mrsa malu y ?? primitif bngt hadeeuuhhh
2021-09-28
0
Zoke
entah kenapa aku jadi benci sama warga-warga itu
2021-09-20
0
Afla
lanjut
2021-09-17
0