Hari sudah malam namun Sanubari belum juga pulang. Sanum pun mulai menunjukkan mimik muka khawatir. Kecemasan melanda hatinya.
Sejak ia kembali ke rumah sore tadi, nasi di bawah tudungsaji masih belum berkurang. Itu artinya Sanubari belum pulang sama sekali semenjak berpamitan keluar setelah sarapan. Sanum mulai bertanya-tanya apakah yang sebenarnya terjadi. Tidak biasanya Sanubari belum kembali sampai petang. Selambat-lambatnya bocah itu biasanya akan kembali sebelum langit benar-benar gelap.
Sanum paham betul bahwa putranya itu sangat penakut. Dia tidak mungkin berani berjalan sendirian di malam hari. Segala prasangka buruk satu per satu mendatangi benak Sanum.
Bayangan orang-orang jahat yang mengganggu usaha Sanum memakamkan jenazah ayahnya dan merusak dagangan tempo hari tiba-tiba melintas begitu saja. Firasatnya memburuk. Ia takut orang-orang itu melakukan sesuatu pada Sanubari.
Sanum tidak bisa lagi hanya menunggu bertemankan detikan jarum jam. Saat menengok, jam dinding menunjukkan hampir pukul tujuh malam. Sanum pun meninggalkan rumahnya.
Wanita itu bertanya dari tetangga satu ke tetangga yang lain. Sebenarnya ia merasa sungkan untuk bertamu di malam hari. Namun, sebuah tuntutan mengabaikan rasa sungkannya itu. Bagaimanapun juga dia harus menemukan keberadaan Sanubari—putra semata wayangnya.
Cukup jauh Sanum berkeliling. Akan tetapi, tidak ada yang tahu dimana Sanubari berada. Sekalipun ada yang mengaku melihat bocah beriris mata cerah itu, mereka tidak tahu kemana selanjutnya Sanubari pergi.
Malam semakin larut. Rumah-rumah mulai memadamkan pendarnya, kesunyian pun mulai menguasai jalanan. Terpaksa tidak terpaksa Sanum harus menyerah. Mau melanjutkan pencarian pun dia tidak tahu kemana harus melangkah. Ia hanya akan membuang tenaga tanpa arah tujuan pasti.
Berjalan pulang lalu beristirahat adalah keputusan bijak untuk saat ini. Ia bisa melanjutkan pencarian esok hari. Dalam setiap langkah menuju peristirahatan, Sanum berdoa supaya Sanubari sudah berada di rumah begitu sampai.
Sayang, harapannya itu tetaplah masih berwujud keinginan dalam angan. Tidak ada siapa pun ketika ia memasuki rumah kecilnya. Hanya keremangan damarlah yang menyambut kepulangannya.
Dengan perasaan sedih, Sanum mendekati nyala api satu-satunya yang menjadi penghuni ruangan. Ditiupnya setitik api itu. Kegelapan pun menelan ruangan.
Sanum merebahkan badannya, mencoba untuk beristirahat. Namun, ia sama sekali tidak bisa tertidur. Pikirannya masih menggerayang ingin mengetahui kondisi putranya. Nampaknya ketidak tenangan hati akan membuatnya terjaga semalaman penuh.
"Sanubari."
*****
"Mamak."
Sebuah malam dimana anak dan ibu itu berbaring tanpa satu sama lain di sisi. Berselimutkan langit yang sama tetapi di bawah naungan atap berbeda, keduanya saling memikirkan. Insomnia menjadi teman baru yang berdamai dalam panjangnya malam.
Sanubari berguling ke kanan dan kiri, mencari posisi nyaman. Kasurnya sangat empuk. Bahkan lebih lembut dari gelaran galar di rumahnya. Namun, kegelisahan membuat Sanubari tidak bisa menikmati kenyamanan yang ada.
Mulutnya dilakban akibat kegaduhan yang ia perbuat semalam. Sementara tubuhnya dibuntal dengan selimut layaknya gedongan bayi. Hal itu dilakukan supaya Sanubari tidak bisa membuka lakbannya sendiri, tidak pula menggunakan kakinya untuk menendang-nendang sesuatu.
Badannya mulai pegal karena tidak bisa bergerak bebas. Mungkin seperti itulah perasaan bayi saat tubuhnya dililit jarit bak kepompong. Sanubari mengerjap-ngerjapkan mata. Lamat-lamat didengarnya dengungan bahasa asing pertanda fajar hampir memasuki masanya.
Berikutnya waktu bergulir dengan sangat cepat. Sanubari semakin merasa tidak tenang. Tubuhnya merinding dan dingin. Padahal dirinya sedang dibuntal.
Aktivitas pagi terdengar semakin banyak. Namun, tidak satu pun dari penculik itu yang menengoknya. Ia menggeliat tidak sabar. Ia tidak mau tahu apa hal selanjutnya yang akan mereka lakukan padanya. Satu yang saat ini sangat ia inginkan—kedatangan salah satu dari mereka.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Seseorang memasuki kamar. Pria itu melangkah mendekat lalu meletakkan kantung plastik hitam ke atas meja. Sanubari merasa lega begitu lakban dilepas oleh orang itu.
"Paman, saya mau buang hajat besar dan kecil," ungkap Sanubari dengan lemas.
Sedari tadi ia menahan hasrat yang tidak tertahankan. Ia tidak sanggup lagi bersabar lebih lama. Rasanya sungguh menyiksa.
"Maksudmu kau ingin ke kamar mandi?" Lelaki itu lanjut membuka ikatan pada selimut yang membuntal Sanubari.
"Um." Sanubari mengangguk.
Tali telah selesai dilepas. Namun, Sanubari masih berdiam di tempatnya. Lelaki itu pun memandang heran.
Ia lantas bertanya, "Kau ini jadi ke kamar mandi atau tidak? Kalau iya, cepatlah! Aku tidak mau kau mengotori tempat ini."
"Sudah di ujung, Paman. Bagaimana ini? Bergerak sedikit saja bisa-bisa keluar semua," lirih Sanubari yang seolah kesulitan berbicara karena mati-matian menahan gerbang keluar.
"Tahan sekuatnya! Aku akan membantumu."
Pria itu menyibak selimut yang membungkus Sanubari. Bocah itu diguling-gulingkan supaya kain yang tertindih bisa ditarik. Hal tersebut membuat ujung-ujung gerbang Sanubari semakin terangsang dan tidak kuasa menahan tekanan dari dalam.
"Paman, kalau seperti ini bisa-bisa keluar semua," keluh Sanubari yang kemudian dibopong oleh pria itu. Sanubari pun sontak bergidik dan berteriak, "Argh!"
Di saat yang bersamaan pria itu berpesan, "Tahan! Jangan sampai bocor!"
Tentunya ia tidak ingin terkena sesuatu yang menjijikkan. Dengan cepat dia membawa Sanubari ke kamar mandi dalam ruangan tersebut. Lelaki itu menurunkan Sanubari lalu keluar dan menutup pintu.
Di dalam, Sanubari terlihat bingung. Hanya ada tempat penampungan air bertirai tanpa air yang awalnya ia kira sebagai tempat wc berada. Namun, setelah tirai dibuka yang ada hanyalah jeding kosong. Padahal benda tersebut adalah bak mandi yang sering disebut dengan bath tub oleh orang-orang kaya.
Sementara disampingnya ada shower yang dikenali Sanubari sebagai selang. Disebelahnya lagi ada keran dimana di bawahnya ada tempat penampungan air yang lebih kecil dari jeding di sepetak ruangan itu—wastafel namanya. Ada pula tempat duduk yang tidak ia ketahui fungsinya.
Menurutnya, keberadaan kursi dalam kamar mandi itu tidak penting. Ditambah lagi tempatnya jauh dari penampungan air dan menghadap ke pintu. Sanubari mulai berpikir bahwa orang-orang kaya suka merenung di kamar mandi. Maka dari itu dibuatlah kursi dalam kamar mandi.
Ia mengedarkan pandangan, hanya ada kaca dan tempat menaruh sabun saja yang dia tahu. Semua penampakan benda di ruangan itu terlihat baru di mata Sanubari. Bocah udik itu tidak tahu dimana harus melaksanakan hajatnya. Sedangkan massa di dalam semakin kuat mendorong.
"Paman, dimana saya harus melakukannya?" tanya Sanubari dengan polos.
"Duduk saja!" jawab lelaki itu dari luar.
"Duduk?" Sanubari bingung.
Satu-satunya lubang di ruangan itu adalah lubang yang ada di pojok bath tub selain saluran air di lantai. Akan tetapi, lubang tersebut terlalu kecil untuk sebuah kakus. Sanubari tidak bisa banyak berpikir lagi. Kontraksinya semakin kuat. Mungkin memang seperti itulah desain kakus kesukaan orang kaya. Sanubari tidak mau repot-repot ambil pusing.
Sementara itu, sang Lelaki di luar mulai curiga dengan pertanyaan Sanubari. Lekas ia masuk kembali ke kamar mandi.
"Tahan, jangan lakukan di sana!" teriaknya lantang.
Lelaki itu datang tepat waktu. Sanubari sudah masuk ke bath tub dalam posisi berjongkok. Untungnya belum ada satu pun yang terjatuh.
"Terus dimana dong? Sudah tidak tahan nih." Sanubari menoleh dengan pandangan memelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 415 Episodes
Comments
Phoenix
bwaahahahhahahaaaaa...toilet...oh toilet,,knp kau jd drama untuk sanubari yg polos & lugu...
2021-09-28
1
Zoke
😂😂😂😂😂
2021-09-20
0
ⷨㅤㅤ⠀⠀နզ⃠🦃⃝⃡ℱ 𝐧𝐨𝐯𝐢 𝐚𝐣𝐚
ya salam 🙄🤣🤣🤣 katrok bener ya sanubari...tapi kasian juga ya Mak nya pusing nyari kemana mana.
2021-09-13
3