Sakaratul maut itu sangat menyakitkan. Sanubari belum pernah merasakan bagaimana rasanya nyawa ditarik dari tubuh. Akan tetapi, ia paham itu sepertinya memberikan siksaan yang amat luar biasa.
Sekujur tubuh terasa amat sakit walau hanya mendapatkan sentuhan ringan ujung jari telunjuk tanpa tenaga. Begitulah yang dikeluhkan kakek Sanubari beberapa hari ini. Ia menjerit-jerit, mengerang kesakitan saat Sanubari mengelap tubuhnya. Seolah sedang dicabik-cabik binatang buas, kakek terus saja meronta, menolak pelayanan Sanubari. Tidak jarang Sanubari terkena kibasan tangan hingga terjatuh.
Dua Minggu sudah Sanubari menungguinya. Selama itu pula ia tidak bersekolah. Ia dikeluarkan dari sekolah akibat fitnah yang diluncurkan geng Aldin. Padahal kecelakaan waktu itu murni ketidak sengajaan gara-gara ulah Aldin sendiri. Akan tetapi, tetap saja Sanubari yang harus menerima getahnya.
Ia dan ibunya tidak protes. Tidak pula menuntut keadilan karena mereka tahu bahwa itu sia-sia. Lagipula mereka tidak mempunyai saksi untuk membela serta melepaskan Sanubari dari tuduhan itu. Yang ada fakta akan diputar balikkan dan lebih mempersulit orang kecil seperti keluarga Sanubari bila mereka melawan.
Mengalah adalah pilihan yang tepat. Setidaknya bagi keluarga Sanubari untuk memperoleh kedamaian. Meskipun kini Sanubari hanya memiliki satu kegiatan pasti. Yaitu, menjaga kakeknya yang sakit keras.
Di antara hari-harinya menemani sang Kakek, hari ini adalah hari paling menakutkan. Kakek tidak lagi bisa bergerak. Sekalipun hanya menggerakkan ujung jari. Ia seperti kesulitan bernapas. Mulut terkatup rapat seolah sedang dilem dan dikunci.
"Heh. Heh. Heh."
Hanya suara itu yang berhasil dikeluarkan oleh pita shuaranya. Ia sama sekali tidak memiliki daya untuk berbicara. Matanya melotot. Entah apa yang sedang dilihatnya.
"Pak, dahar ingkang katah nggih supados inggal saras?"
(Pak, makan yang banyak ya, supaya cepat sehat?)
Sanum menyendok bubur sedikit. Ia mencoba membuka mulut sang Ayah dengan tangan kirinya. Sementara Sanubari duduk di belakang sang Kakek untuk menopang tubuhnya. Kedua tangannya memegang lengan kanan dan kiri sang Kakek supaya tidak ambruk menyamping.
"Heh. Heh."
Namun, suara itu terdengar semakin keras dari sang Kakek. Makanan yang coba dijejalkan pun tumpah. Ibu Sanubari segera mengambil sapu tangan dan mengelapnya.
"Abot."
(Berat.)
Tangan Sanubari bergetar. Ia tidak kuat lagi menahan beban tubuh kakeknya.
"Diturokne maneh ae, Le!"
(Ditidurkan lagi saja, Nak!)
Sanuum membantu menyangga tubuh ayahnya dengan tangan. Sanubari minggir. Mereka menidurkan tubuh lelaki tua itu secara perlahan.
Empat jam mereka duduk mendampingi raga yang terbaring. Suara pria itu terdengar melemah seolah mulai tenang. Matanya pun mulai terpejam. Namun, ada suatu hal yang tidak biasa.
"Kok kakung malih ngorok, yo? Padahal Kakung ora tau ngorok lo. Suarane koyok wong pilek—irunge buntet wae."
(Kok kakek jadi mendengkur, ya? Padahal kakek tidak pernah mendengkur loh. Suaranya seperti orang pilek—hidungnya tersumbat saja.)
Perkataan polos putranya itu membuat Sanum cemas. Ia takut yang dikhawatirkannya akan terjadi hari ini. Benar saja. Selang beberapa menit, raga renta itu tidak lagi bersuara.
Dengan lembut Sanum mencoba memanggil, "Pak ... Pak ... Pak?"
Namun tidak ada sahutan. Sanum mencoba menyentuh tangan ayahnya namun tidalagi ada jeritan kesakitan. Air mulai menggenang di pelupuk matanya.
Sanum memeriksa napas dan detak jantung sang Ayah. Tidak ada tanda-tanda organ tersebut masih berfungsi. Nyawa telah ditarik sempurna dari raganya. Seketika tangis Sanum pun pecah. Satu-satunya orang tua yang tersisa kini meninggalkannya.
Sanubari masih tidak mengerti mengapa ibunya begitu tersedu. Di matanya, sang Kakek terlihat sedang tertidur pulas. Seharusnya sang Ibu bisa lega karena kakek sudah tenang. Akan tetapi, reaksinya terbalik.
Sanum menyeka air mata lalu berkata, "Le, sampeyan nak kene sek, yo! Tak kabar-kabar Tonggo disek."
(Nak, kamu di sini dulu, ya! Aku beri tahu tetangga dulu.)
Sanubari menggeleng. Ia memeluk erat lengan ibunya. Semburat jingga telah menerobos masuk melewati jajaran kayu yang seperti jeruji. Sebentar lagi langit akan segera menggelap. Sanubari tidak berani ditinggal sendirian bersama kakek yang menurutnya berubah menjadi menyeramkan beberapa hari ini. Apalagi dalam kegelapan malam dengan hanya sebuah damar sebagai sumber penerangan.
"Melu, Mak!"
(Ikut, Bu!)
Sanum menatap putranya yang memohon dan jasad ayahnya secara bergantian. Jasad ayahnya tidak ada yang menjaga bila Sanubari ikut dengannya. Di sisi lain, ia tidak tega membiarkan Sanubari sendirian. Akhirnya, Sanum pun mengizinkan Sanubari ikut.
"Tutupen jendelane, Le!"
(Tutuplah jendelanya, Nak!)
Sanubari mengangguk menanggapi perintah ibunya. Ia berlari ke seberang dipan, berjalan di sela sempit antara dipan dan dinding anyaman bambu untuk menutup jendela kayu. Sanum hampir saja lupa untuk menutupi jasad ayahnya. Ia pun membentangkan jarit guna menyelimuti mayat.
"Ayo!" ajak Sanum.
Keduanya bergegas keluar dari gubuk sederhana itu. Mereka menuju rumah terdekat—sebuah rumah cukup mewah yang berada tepat di depan gubuk mereka. Itu adalah rumah majikan Sanum. Tempat dimana terkadang ia menjadi buruh cuci/setrika.
Sanum dan Sanubari melepas sandal jepit mereka, melangkah menuju pintu depan. Tiga kali Sanum mengetuk pintu sambil memanggil pemilik rumah.
"Mbak, Mbak Arti, tolong, Mbak!"
Tidak seberapa lama kemudian, pintu pun dibuka. Dengan ketus Arti bertanya, "Ono opo to?"
(Ada apa sih?)
"Bapak Sedo, Mbak."
(Bapak meninggal, Mbak.)
"La, terus opo urusane ambek aku? Konu urusono dewe!"
(Lah, terus apa hubungannya denganku? Sana urus saja sendiri!)
Arti menutup pintunya kembali. Padahal Sanum belum sempat mengutarakan maksud kedatangannya. Mereka pun bergegas ke tempat tetangga lain.
Banyak yang menolak untuk membantu mengurus jenazah kakek Sanubari. Sebab, mayoritas penduduk mempercayai kabar miring tentang keluarga Sanubari. Mereka tidak ingin terkena imbas dan turut menjadi korban pesugihan yang konon dilakukan ibu Sanubari sampai hamil dengan jin.
Gosip tersebut semakin dianggap benar tatkala Sanubari lahir. Iris mata hijau Sanubari dikaitkan dengan hal-hal gaib. Entah siapa yang mengawali kabar burung semacam ini hingga membuat keluarga Sanubari didera kesulitan.
Hanya orang-orang yang memahami bahwa jin dan manusia tidak mungkin bersatu masih bisa berpikir lebih terbuka. Mereka tidak menelan mentah-mentah berita yang belum pasti kebenarannya. Setelah perjalanan panjang, akhirnya ibu dan anak tersebut bertemu dengan orang semacam itu. Pasangan suami-istri menyambut kedatangan mereka dengan baik. Sanum pun menceritakan perihal kematian ayahnya.
"Bapak ngeterne Sanum ke tukang keduk kuburan sek, yo! Kabarono ustaz Idris Karo liyane Ben endang diurus!"
((Bapak antar Sanum ke tukang gali kubur dulu, ya! Beritahulah ustaz Idris dan yang lainnya supaya cepat diurus!)
"Siap, Pak," balas Tara yang langsung menelepon orang-orang yang dimaksud.
Sementara Rudy sang Suami mengambil kunci motor. Kemudiann, dia pergi ke dapur-tempat dimana motornya terparkir. Beberapa detik kemudian deru motor terdengar, disusul dengan bunyi klakson.
"San, Sanum, ayo budal!"
(San, Sanum, ayo berangkat!)
Rudy memanggil dari luar rumah. Sanum pun berpamitan kepada Tara. Ia dan Sanubari keluar dari rumah lalu naik ke boncengan. Mereka Meluncur ke rumah penggali kubur melewati jalanan berpaving dengan pepohonan rindang di kanan-kiri jalan. Sesampainya di rumah penggali kubur, Sanum mengungkapkan niatnya tanpa basa-basi.
"Total bea sedoyo wolong Yuto pun terimo beres. Menawi panjenengan namung mbetahaken jasa pacul nggih sumangga! Beanipun saking Kulo setunggal yuto. Jenengan saged milih damelemah piyambak utawi pekarangan makam deso."
(Total biaya semuanya delapan juta sudah terima beres. Bila kamu hanya membutuhkan jasa penggali, ya silakan! Biayanya satu juta. Kamu bisa memilih untuk menggunakan tanah sendiri atau lahan pemakaman desa.)
Sanum tercengang mendengar penjelasan Ridwan si Penggali Kubur. Tidak disangka dia malah ditawari harga cukup tinggi untuk pengurusan jenazah. Tentunya Sanum tidak memiliki uang sebanyak itu untuk menutupi biaya pemakaman yang sangat mahal.
"Namung nguburaken jenazah, mosok kados bayar sak monten? Mboten saged gratis to?"
(Hanya menguburkan jenazah, masak harus membayar segitu? Tidak bisa gratis kah?)
"Macul Niku damel tenogo Lo. Panjenengan purun nopo pripun menawi nyambut damel nanging mboten dibayar? Wolung Yuto Niku sampun paket hemat saking Kulo. Panjenengan saged angsal regi luwih awis menawi pesen langsung Dateng ketua utawi juru kunci."
(Mencangkul itu membutuhkan tenaga. Memangnya kamu mau bekerja tetapi tidak dibayar? Delapan juta itu sudah paket hemat dari saya. Kamu bisa saja memperoleh harga lebih tinggi bila memesan langsung ke ketua atau juru kunci.)
Ini kali pertama Sanubari tahu bahwa menggali kuburan bisa menjadi profesi yang menghasilkan. Dengan sekali pmbuatan liang kubur saja seorang penggali bisa meraup penghasilan satu juta-an, bila sehari ada tiga orang meninggal maka hanya dalam beberapa jam bisa menghasilkan tiga juta-an.
Profesi yang sangat menggiurkan. Sanubari bisa membantu keuangan ibunya dengan pendapatan sebesar itu. Sempat terbesit cita-cita ingin menjadi tukang gali kubur dalam benak Sanubari.
Namun, setelah dipikir-pikir rasanya pekerjaan tersebut cukup gila. Tarif yang terlalu tinggi hanya akan mencekik rakyat kecil seperti dirinya dan sang Ibu. Mungkin Sanubari tidak akan tega menarik biaya bila saat ini dirinya yang berada di posisi tukang gali kubur.
Sanubari tahu betul bagaimana rasanya menjadi fakir miskin. Jangankan membayar listrik, untuk makan sehari-hari saja belum tentu ada. Sungguh egois dirinya bila ia tega meminta imbalan dari orang yang sedang tertimpa musibah.
"Pripun?"
(Bagaimana?)
Tukang gali kubur tersebut bersedekap menatap Sanum yang terdiam. Ia masih menunggu jawaban wanita itu tanpa sedikit pun menurunkan harga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 415 Episodes
Comments
Laskar Pelangi
haduh, kasian banget sih
2021-11-15
0
MonSop
Aku mampir thor,
Salam dari Just more time 😉
2021-10-21
1
Dhina ♑
Astaghfirullah....mahal banget itu tarifnya buat menggali kubur, 😭😭😭 kasihan jasad kakek Sanubari sudah menunggu, dan tidak ada yang mau menolongnya
2021-10-15
1