[Perlakukan dia dengan baik, jangan sampai ada cacat sedikit pun! Kurasa kita bisa menjualnya dengan harga mahal. Kudengar Gafrillo sedang mencari anak. Aku yakin dia mau membeli dengan harga tinggi bocah yang sangat mirip dengannya itu]
Sekilas Jin membaca pesan yang dikirim King sesaat setelah panggilan video berakhir. Dimatikannya ponsel pintar begitu pesan dipahami dan memastikan tidak ada lagi pesan masuk. Kemudian, Jin kembali ke kamar dimana para anak buahnya dan Sanubari berada.
"Pindahkan bocah ini ke kamar sebelah!" Jin memegangi puncak kepala Sanubari.
"Baik, Jin."
"Ah, jangan lupa lepaskan ikatannya itu! Aku tidak ingin ada bekas dipergelangan tangannya atau pun memar. Jadi, pastikan untuk memperlakukan dia dengan baik dan jangan menyiksanya!" pesan Jin kepada anak buahnya.
Sanubari menjadi lebih panik ketika menyadari dirinya tidak akan dipulangkan. Ia tidak bisa membedakan lagi kapan harus memakai saya dan aku. Di kepalanya sekarang hanya ada satu pemikiran—yang penting bisa berkomunikasi supaya tidak disekap.
"Kumohon lepaskan aku! Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa bila menculikku. Ibuku tidak akan bisa menebusku."
Sanubari terus meronta saat mereka menyeretnya keluar. Ia terus-terusan menoleh kepada Jin, berharap lelaki itu akan membebaskannya karena sepertinya semua orang patuh kepada orang yang dipanggil Jin itu. Awalnya Jin hanya tersenyum. Namun, pada akhirnya kaki lelaki berperawakan atletis itu tergerak juga untuk mendekat. Mereka pun berhenti sejenak.
Jin memegang rahang Sanubari dengan tangan kanannya lalu berkata, "Kau adalah aset berharga. Tanpa tebusan dari ibumu pun kami akan tetap mendapatkan banyak uang."
Perhatian Jin tertuju pada selembar persegi panjang cokelat yang menempel di kening Sanubari. Ia menyentuhnya lalu melanjutkan ucapannya.
"Kuharap sesuatu di balik plestermu iini tidak akan membekas."
Sanubari mendesis saat Jin sedikit menekan area tengah plester dengan jempolnya. Rasanya masih ngilu karena luka itu belum sembuh seratus persen. Di saat yang bersamaan, perut Sanubari berbunyi.
"Kau lapar ya, Bocah?" tanya Jin yang tidak berani ditanggapi oleh Sanubari.
Sejenak mereka terdiam. Berhubung Sanubari tidak jua bersuara, Jin pun kembali berkata, "Kebetulan aku juga lapar. Apa kalian jugA lapar?"
Jin memandang anak buahnya. Salah satu dari mereka pun berinisiatif untuk menawarkan bantuan.
"Kau ingin makan apa, Jin? Biar aku yang keluar membelikannya."
"Tidak perlu. Aku yang akan memesankan makanan untuk kita semua," tolak Jin yang berbalik badan. Ia berjalan mengambil ponselnya yang masih dipegang Bas lalu kembali bertanya, "Kita bertiga belas, kan?"
"Dua belas."
"Sekarang tiga belas termasuk anak itu." Jin menunjuk Sanubari yang masih berada di ambang pintu. "Untuk apa kalian masih di situ? Kurung dia di ruangan sebelah dan jaga baik-baik, jangan sampai kabur!"
"Siap, Jin!"
"Ayo jalan, Bocah!"
"Lepaskan aku! Kumohon, aku ingin pulang!"
Sanubari terus memberontak dan memohon. Akan tetapi, permintaannya sama sekali tidak digubris. Mereka memasukkan Sanubari ke dalam ruangan lalu menguncinya.
Sanubari terus berteriak meminta dibukakan pintu sambil menggedor-gedornya. Sayang, usahanya itu sia-sia. Semakin berteriak, rasa lapar semakin membuatnya lemas. Ia sudah berlari ke sana-kemari seharian. Tenaganya terkuras habis untuk itu. Kini Sanubari hanya bisa terduduk bersandar pada daun pintu.
Kisaran satu jam kemudian, pintu dibuka. Sanubari terkejut. Tubuhnya terdorong pintu yang dijorokkan ke dalam. Seseorang memasuki ruangan.
"Dimana bocah itu?"
Betapa terkejutnya ia saat mengetahui pemandangan kamar kosong di hadapannya. Ia bergegas masuk lebih dalam untuk memastikan Sanubari tidak kabur. Ia belum menyadari bahwa Sanubari masih di balik pintu yang baru saja didorongnya. Sanubari memanfaatkan kesempatan itu untuk keluar kamar dengan cepat.
Namun, baru saja Sanubari melewati gawang pintu, seseorang mencekal bahunya. "Mau kemana kau bocah?"
Sanubari tertangkap basah oleh seorang lagi yang sedang berjaga di luar. Mendengar itu, pria yang berada dalam ruangan pun keluar.
"Masih di sini kau rupanya. Kupikir sudah kabur."
Pria itu menyeret Sanubari kembali masuk. Ia mendudukkan Sanubari di karpet dekat tempat tidur. Pria itu meletakkan kantung plastik agak besar di hadapan Sanubari.
"Ini makan dan habiskanlah! Jangan coba-coba untuk kabur!"
Setelah berpesan seperti itu, sang Pria Dewasa keluar. Pintu dikunci kembali.
Sanubari mencium semerbak aroma lezat menguar dari bungkusan di hadapannya. Lekas ia bongkar isi dari kantung plastik tersebut. Ia mengeluarkan satu per satu isinya.
Sebotol air mineral enam ratus mililiter, susu botol cokelat, sebungkus sate ayam sepuluh tusuk, foam berisi nasi kuning lengkap dengan lauk-mie goreng, orak-arik telur, urap daun pepaya, sambal tomat dan dua perkedel. Sanubari tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ini terlalu mewah untuk makanan korban penculikan.
Sanubari mencoba sesuap nasi. Rasanya sangat pulen dan gurih walau tanpa lauk. Ia pun mencoba mencicipi satu per satu lauknya. Semuanya sangat lezat. Bahkan satenya pun bertekstur lembut. Begitu lembutnya sampai seorang kakek ompong pun mungkin bisa mengunyahnya.
Baru pertama kali seumur hidup, Sanubari bisa menikmati hidangan semewah ini. Hati Sanubari seperti terhipnotis. Ingin rasanya ia diculik setiap hari bila setiap kali diculik bisa memakan makanan selezat ini. Toh mereka tidak memperlakukannya dengan terlalu buruk.
"Jare sopo digondol pek-pekan iku medeni? Malah ISO mangan enak ngono Lo. Wong-wong tuwek ae sing ngeden-ngedeni."
(Kata siapa diculik itu menakutkan? Malah bisa makan enak begitu loh. Para orang tua saja yang menakut-nakuti.)
Hati Sanubari merasa senang. Dibandingkan rumah juru kunci kuburan yang ia kunjungi bersama ibunya waktu itu, kamar yang ditempatinya saat ini jauh lebih baik. Aromanya wangi dan luas. Adapula air conditioner yang menjaga suhu ruangan agar tidak terlalu panas atau dingin.
Sisi lain dari hatinya mempertanyakan apakah memang benar ini yang disebut penculikan. Kemudian ia teringat pada ibunya. Rasanya tidak adil bila dia bisa minum susu dan makan daging enak di sini. Sementara ibunya di rumah hanya bisa makan nasi putih dengan secuil ikan asin dan minum segelas air tawar.
Sanubari bergegas menghabiskan makanan supaya tenaganya segera pulih. Setelah itu ia kembali mendekati pintu keluar dan berteriak-teriak.
"Paman! Paman baik hati yang ada di luar, kumohon bukakan pintu! Aku ingin bertemu ibuku. Aku mau pulang!"
Kali ini bukan hanya tangan dan mulutnya saja yang bergerak. Kakinya pun ikut menendang-nendang pintu. Akan tetapi, tidak peduli seberapa besar kegaduhan yang diperbuatnya, mereka tetap tidak meresponsnya.
Cukup lama Sanubari berteriak sampai tenggorokannya kering. Ia beristirahat sesaat, menenggak air yang masih tersisa. Ia mulai takut tidak bisa bertemu dengan ibunya lagi karena dikurung dalam kamar mewah itu selamanya.
"Aku kudu ISO mulih."
(Aku harus bisa pulang.)
Sanubari mencemaskan ibunya. Padahal dirinya sendiri dalam keadaan yang harus dikhawatirkan. Sanubari memang belum memahami sepenuhnya kondisi yang ia alami saat ini. Namun, naluri anak-anaknya mengatakan bahwa senyaman-nyamannya tempat itu, masih lebih nyaman bila ia bersama ibunya.
Sanubari mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. Hanya ada dua pintu. Satu pintu keluar dan satunya lagi jalan buntu. Ia tidak memeriksa ruangan lebih kecil yang dianggapnya jalan buntu itu.
Di ruangan itu ada sebuah tirai. Kalaupun di baliknya ada jendela, pastilah ia tidak bisa menggunakannya untuk kabur. Sebab, tirai itu searah dengan pintu keluar—yang artinya ada penjaga siap menangkap bila ia melewatinya.
Gorden lebih besar dan luas menarik perhatiannya. Ia menutup pintu dan berlari menuju gorden di seberang tempat tidur. Disibaknya kain tebal yang menjuntai itu. Rupanya masih ada lapisan kain tipis di balik kain tebal berwarna biru itu. Sekali lagi disingkapnya kain agak transparan berwarna lebih cerah dan kalem.
"Wong sugih ancene seneng pemborosan, yo? Selambu ae ndadak dobel-dobel."
(Orang kaya memang suka pemborosan, ya? Tirai saja masak sampai dobel-dobel.)
Pemandangan malam menyambut mata Sanubari tatkala gorden berhasil digeser ke kanan. Terdapat pintu geser kaca transparan di balik gorden. Sanubari mencoba mendorong, menarik serta menggeser pintu. Namun, pintu tersebut sama sekali tidak tergerak sedikit pun.
Sanubari berlari ke meja yang ada di ruangan tersebut, membuka setiap laci yang ada. Namun, ia tidak bisa menemukan benda yang dicarinya. Ia beralih menggeledah almari. Akan tetapi, ia tetap tidak bisa menemukan kunci pintu kaca.
Ia melompat-lompat di depan Almari guna melihat bagian rak teratas. Akan tetapi, di sana juga kosong. Ia pun memikirkan cara lain untuk membuka pintu kaca.
Sanubari mengambil ancang-ancang. Ia memejamkan mata lalu berlari kencang. Bunyi debaman keras pun tercipta tatkala tubuh Sanubari menabrak dinding kaca dan terjatuh menghantam lantai keramik.
"Iyong ...."
(Sakit ....)
Sanubari merintih kesakitan sambil tiduran di lantai. Ia tidak kuasa menahan air matanya. Benturan itu sangat menyakitkan. Sanubari menyesal telah berusaha mendobraknya. Dinding kaca tersebut bahkan sama sekali tidak menampakkan keretakan setelah dihantam sekeras itu.
Setelah itu, seseorang kembali masuk ke ruangan memberikan nasi kotak yang lebih mewah dari menu makan siang. Nasi uduk dengan lauk daging sapi bumbu Bali, sayur capjay goreng, kerupuk udang, sepotong pizza, susu kotak cokelat serta sebotol air mineral. Orang itu keluar setelah mengantar makanan.
Sanubari menikmati makan malamnya dengan sangat pelan. Tubuhnya masih berdenyut tidak karuan akibat ulahnya sendiri. Semua ini sungguh sulit dipercaya.
Sanubari tidak tahu lagi apakah orang-orang yang mengurungnya itu penjahat atau bukan. Mereka terlalu baik untuk dianggap penjahat. Mereka selalu memberikan makanan mahal yang tidak bisa dibeli oleh Sanubari.
Sanubari bahkan mulai beranggapan bahwa mereka lebih baik daripada beberapa orang di sekitarnya. Tetangganya tidak pernah memberikan makanan selezat itu pada keluarga Sanubari. Hajatan pun tidak pernah diundang. Jangankan memberi makanan, hari ini Sanubari meminta pekerjaan saja ditolak mentah-mentah.
Selepas makan, Sanubari kembali melancarkan aksinya. Sebaik apa pun perlakuan mereka, Sanubari tetap tidak ingin dijadikan tawanan dan berpisah dari sang Ibu tanpa sepengetahuannya. Sanubari kapok menjadikan tubuhnya sebagai senjata. Ia mengangkat kursi lalu memukul-mukulkannya pada dinding kaca.
Kekuatan kaca tersebut sungguh di luar bayangan Sanubari. Ia laksana kaca ajaib. Jangankan retak, tergores saja tidak. Padahal kaca biasa akan langsung pecah ketika dihantam dengan dingklik yang lebih kecil dari kursi.
Kebisingan yang diciptakan Sanubari membuat penghuni kamar sebelah terusik. Tiga orang pria langsung mendatangi kamar Sanubari.
"Berisik! Mengganggu jam istirahatku saja!" teriak Jin berang.
Salah satu anak buah Jin yang melihat kelakuan Sanubari langsung menghampirinya. Dia membuat Sanubari menjatuhkan kursi yang digunakan untuk memukul dinding kaca.
"Apa yang kau lakukan bocah?" bentak lelaki itu, "kau bisa merusak properti rumah ini."
"Paman, kumohon izinkan aku pulang! Aku ingin bertemu ibuku," rengek Sanubari namun tidak digubris oleh Jin dan anak buahnya.
Jin malah dengan acuh tak acuh menyuruh anak buahnya. "Tangani dia! Kalau perlu ikat dan sumpal mulutnya! Aku tidak ingin dia mengganggu malam tenangku."
"Siap, Jin," jawab serempak kedua anak buah Jin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 415 Episodes
Comments
Zoke
Sanu pikirkan ibu saat kamu makan enak di sini ya...
2021-09-20
0
ⷨㅤㅤ⠀⠀နզ⃠🦃⃝⃡ℱ 𝐧𝐨𝐯𝐢 𝐚𝐣𝐚
sanubari sanubari...memang dasar bocah sih 🤔🤔🤔 tapi penasaran juga sama orang yang mau beli sanubari,apa mungkin sanubari itu anak nya 🤔🤔
2021-09-12
2