Hari sebelumnya Sanubari langsung menjahit seragamnya sendiri sepulang sekolah. Ia tidak menceritakan apa pun tentang kejadian yang dialaminya selama di sekolah. Pagi ini, ia makan dengan buru-buru seperti hendak ketinggalan kereta.
"Kalem-kalem to, San maeme!"
(Pelan-pelan makannya, San!)
"Selak telat, Mak."
(Keburu terlambat, Bu!)
Sanum melirik jam dinding yang tertempel pada pilar kayu penyangga rumah. Jarum jam panjang masih berada di antara angka lima dan enam.
"Sek jam setengah pitu ngonolo. Paling kene-sekolah sepuluh menit mlaku teko."
(Masih jam setengah tujuh gitu loh. Mungkin dari sini ke sekolah sepuluh menit jalan kaki sampai.)
"Mengko olahraga. Pengen Endang teko sekolah Ben ISO leren sek."
(Nanti olahraga. Mau cepat sampai sekolah biar bisa istirahat dulu.)
"Oh, terus Kuwi seragammu nyapo? Kok enek jahitane?"
(Oh, terus itu seragammu kenapa? Kok ada jahitannya?)
"Kecantol paku, Mak."
(Tersangkut paku, Bu.)
Sanubari sengaja berbohong. Ia tidak ingin membuat ibunya khawatir. Biarlah dirinya sendiri yang tahu bahwa ia kesulitan mendapatkan teman di sekolah.
"Oalah, Le-le! Mbok yo sing ngati-ngati! Kok Yo ora omong Ben Tak dondomne? Mosok Kuwi seragam putih bolahe Ireng? Wayahe Yo putih to, Le."
(Oalah, Nak-nak! Makanya kamu lebih hati-hati! Kenapa tidak bilang-bilang biar kujahitkan? Masak itu seragam putih benangnya hitam? Seharusnya 'kan putih, Nak.)
Sanum mengacak-ngacak rambut putranya gemas. Dia sangat menyayangi anaknya yang selalu ingin terlihat mandiri.
"Ra Nemu bolah putih. Yo sak enek wae."
(Aku tidak menemukan benang putih. Ya seadanya saja.)
Sanubari memasukkan Kuningan bulat telur ceplok terakhir ke mulutnya. Setelah itu, ia segera menghabiskan air putih yang sudah disiapkan lalu berpamitan.
"Budal sek, Mak!"
(Berangkat dulu, Bu!)
Sanubari beranjak setelah mencium punggung tangan ibunya. Ia berlari meninggalkan rumah yang masih berdindingkan anyaman bambu itu.
Sesampainya di tengah jembatan, sebuah Ledok melintas. Tanpa pikir panjang, Sanubari naik ke bagian belakang Ledok yang sedang melaju tersebut. Ia duduk di sebelah mesin selip yang dimuat.
Pengemudi yang menyadari pun menegurnya. "Wo, Bocah ngawur! Lak Tibo, piye? Sembrono!"
(Wo, Bocah ngawur! Bagaimana kalau jatuh? Dasar ceroboh!"
Namun, Sanubari malah tertawa riang kemudian dengan santai menjawab, "Ora-ora, Pak. Aman terkendali. Sukses Munggah tanpo kejaduk aku. Nunut, yo?"
(Tidak-tidak, Pak. Aman terkendali. Aku sukses naik tanpa kejedot. Nebeng, ya?)
Pengemudi Ledok itu membiarkan Sanubari menumpang. Bocah sepuluh tahun itu menikmati pemandangan di sekitarnya. Bentangan sawah di kanan-kiri jalan, capung-capung berterbangan, langit biru tanpa awan. Bahkan ada pula belalang yang hinggap di hidungnya. Sanubari menangkap serangga hijau itu.
"Konco-koncoku wae ora enek sing gelem cedek-cedek aku naging walang iki malah nemplok tanpo dikongkon."
(Teman-temanku saja tidak ada yang mau dekat-dekat denganku tetapi belalang ini malah menempel tanpa disuruh.)
Sanubari tersenyum menatap binatang itu. Kemudian, ia melepaskan hewan itu, membiarkannya terbang bebas. Keindahan alam memang sangat luar biasa. Kekuatannya selalu bisa menenangkan hati Sanubari.
Tidak seberapa lama kemudian mereka sampai. Pengemudi Ledok berhenti di samping sekolah untuk menurunkan Sanubari. Sanubari pun melompat dan berterimakasih.
Saat berjalan menuju gerbang sekolah, seseorang melewati Sanubari dengan sepeda. Sanubari berinisiatif untuk menyapanya terlebih dahulu.
"Abi!"
Bukannya menanggapi, anak perempuan yang disapa hanya memarkir sepeda lalu berjalan melewatinya. Ia memasang wajah tidak acuh seolah malas berurusan dengan Sanubari.
"Isuk-isuk kok wis kusut? Opo mari diseneni, yo?"
(Pagi-pagi kok sudah kusut? Apa baru dimarahi, ya?)
Sanubari memiringkan kepala memperhatikan anak perempuan yang meninggalkannya. Pemikiran polosnya selalu menepis prasangka buruk tentang keengganan mereka bergaul dengannya.
Berikutnya, tiga orang siswi berjalan mendahului Sanubari di saat ia berpikir. Mereka berjalan sambil berbincang-bincang. Sanubari berlari kecil menyusul begitu menyadarinya.
"Fizah!" panggilnya dengan riang.
"Iya, Sanu," jawab malu-malu Hafizah sembari menoleh ke arah Sanubari.
Akan tetapi, salah satu teman Hafizah mendadak menariknya menjauh, mengajak berjalan lebih cepat. Kedua teman Hafizah terlihat tidak senang dengan kehadiran Sanubari.
"Ojo omong-omongan ambek cah kuwi!"
(Jangan berbicara dengan anak itu!)
"Ho-oh, mengko kesurupan."
(Iya, nanti kamu kesurupan.)
"Betul. Iso-iso didadekne tumbal pesugihan wong tuane."
(Betul. Bisa-bisa dijadikan tumbal pesugihan orang tuanya.)
"Deloko to! Matane ijo. Opo enek wong matane ijo koyok ngono?"
(Lihatlah! Matanya hijau. Apa ada orang matanya hijau seperti itu?)
"Anak setan paling."
(Anak setan mungkin.)
"Serem."
Sanubari bisa mendengar bisik-bisik yang mereka lakukan. Sanubari memperlambat langkahnya. Bibirnya pun berubah melengkung ke atas.
Ia tidak tahu siapa yang menyebarkan berita bohong itu. Yang dia tahu, pelaku pesugihan itu pasti kaya raya. Begitulah yang dia pahami dari sinetron azab yang terkadang ia intip dari rumah tetangga.
Sementara kondisi perekonomian keluarganya jauh dari kata kaya. Sehingga, dapat dipastikan bahwa desas-desus keluarganya melakukan pesugihan itu tidak benar.
Namun, fakta bahwa dirinya tidak pernah tahu siapa ayahnya itu tidak bisa dipungkiri. Dalam hal ini, ia tidak tahu apakah dia benar anak manusia ataukah memang anak setan.
Masalahnya, Sanubari tidak pernah melihat makhluk gaib yang namanya iblis, jin, setan atau apalah itu. Ia tidak tahu bagaimana warna mata mereka. Entah merah, kuning atau hijau—semua itu diluar nalar Sanubari. Ia sendiri tidak mengerti mengapa matanya bisa berwarna hijau—sehijau pupus daun.
*****
Siang itu, pelajaran olahraga berakhir disusul dengan jam istirahat pertama. Sanubari menyelonjorkan kakinya di bawah pohon belimbing. Ia menikmati setiap hembusan angin sepoi yang mengeringkan keringatnya.
"Seger," lirihnya.
Di jam-jam seperti ini, biasanya anak-anak lain memanfaatkan uang sakunya, membeli es untuk mengusir dahaga. Sanubari yang dijatah lima ratus rupiah untuk dua hari hanya bisa menyaksikannya, mencuri pandang sambil menahan rasa iri.
"Ayo Melu!"
(Ayo ikut!)
Aldin menendang Pelan ujung kaki Sanubari. Ia berdiri sambil bersedekap.
"Heh?" Sanubari menatapnya bingung.
"Ora usah hah heh-hah heh! Endang ngadeko, Lemot!"
(Tidak usah hah heh-hah heh! Cepat berdirilah, Lemot!)
Aldin menatap Sanubari penuh intimidasi. Kakinya terus saja menyenggol-nyenggol kaki Sanubari.
"Ayo!" kata dua teman Aldin yang dengan kompak mencekal lengan Sanubari dari sisi yang berbeda.
Mereka memaksa Sanubari, mengajaknya ke kebun belakang sekolah. Area tersebut sangat sepi. Sebab, kebun tersebut memang tidak berada di pinggir jalan. Posisinya diapit bangunan sekolah dan rumah warga secara menyiku. Adapun jalan setapak. Namun, jalan tersebut jarang dilalui orang.
Kedua teman Aldin mendorong Sanubari hingga terjatuh. Punggung Sanubari menghantam batang pohon bendo, ia terduduk di bawah pohon besar itu.
"Endi duwekmu?"
(Mana uangmu?)
Aldin mengulurkan tangannya. Bocah ini tidak pernah bosan memalak Sanubari. Meskipun cukup sering ia tidak mendapatkan apa pun dari Sanubari.
"Aku ora duwe."
(Aku tidak punya.)
"Heleh, alesan!" tukas Aldin tidak percaya.
Seperti hari sebelumnya, Aldin mulai mengeluarkan pimes—benda tajam seharga seribuan rupiah yang dijual bebas di sekolahnya. Anak-anak biasanya menggunakan benda tersebut untuk meraut pensil. Berbeda dengan mereka, Aldin lebih sering memanfaatkannya untuk mengancam Sanubari.
Aldin melangkah maju. Ia agak membungkukkan tubuh sambil mengacungkan pimes ke dekat mata Sanubari.
"Hm ... aku penasaran. Piye yo carane Rin ngeleh motone Obito nang Kakashi? Koyoke apik lak njajal nyalini matamu Karo mata truwelu. Malih sisih Abang, sisih ijo."
(Hm ... aku penasaran. Bagaimana caranya Rin memindah mata Obito ke Kakashi, ya? Sepertinya bagus kalau mencoba mengganti matamu dengan mata kelinci. Sebelahnya jadi merah, sebelah hijau.)
Gertakan itu membuat Sanubari ketakutan. Ia semakin memundurkan tubuhnya. Namun, punggungnya sudah menabrak batang pohon bendo. Ia tidak bisa mundur lebih jauh lagi.
Tiba-tiba seekor lipan merambat ke tangan kanan Sanubari. Spontan ia berteriak dan mengibaskan tangan kanannya. Sementara tangan kiri dia gunakan untuk menepis lengan Aldin supaya matanya tidak terkena pimes.
Naas, pergerakan tiba-tiba itu membuat pimes menancap pada mata kanan Aldin. Aldin pun menjerit, ia menangis sejadi-jadinya. Rasa sakit yang amat dahsyat menjalar dari mata kanannya.
Sanubari tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin membantu mencabut pimes itu tetapi takut membuat kondisi Aldin semakin parah. Darah terus mengalir dari mata kanan Aldin.
Teman-teman Aldin yang ketakutan langsung meninggalkan tempat itu. Mereka tergopoh-gopoh menuju ruang guru.
"Pak Guru!"
"Bu Guru!"
"Tolong!"
Ketiga bocah tersebut mengucapkan kalimat yang berbeda-beda secara bersamaan. Kepanikan membuat kalimat mereka semakin tidak jelas. Salah seorang guru yang berada di dalam pun menghampiri mereka.
"Ada apa? Kenapa pada ngos-ngosan begini?"
"Itu ... Pak, Aldin ...."
"Itu ... Sanu ...."
"Kebun ...."
"Ngomong satu-satu dong! Saya tidak paham kalau kalian berbicara secara bersamaan seperti itu. Mana hanya sepenggal-sepenggal pula."
Ketiganya terdiam. Mereka saling lempar pandang. Sepertinya ketiga bocah itu sama-sama menahan rasa takut yang serupa. Mereka memang datang untuk mencari bantuan. Namun, mereka takut untuk berterus terang. Kepanikan nyaris membuat mereka keceplosan.
Melihat ketiga muridnya saling tunjuk dan berbisik, guru itu pun kembali berbicara, "Kiki, coba jelaskan apa yang ingin kalian katakan!"
"Aldin ditusuk Sanu di kebun belakang sekolah, Pak. Darahnya banyak banget. Tadi waktu kami kemari, pimesnya masih nancep. Takut," ungkap Kiki berbohong karena tidak ingin mendapat masalah dengan Aldin.
"Apa? Terus bagaimana Aldin?" seru guru itu terkejut.
"Kami tidak tahu."
"Tunjukkan tempatnya!"
Beberapa guru yang mendengar percakapan itu ikut pergi. Kiki dan teman-temannya membawa para guru ke tempat Sanubari serta Aldin berada. Di sana, Aldin menangis sesenggukan sambil duduk. Sedangkan Sanubari berlutut di depan Aldin dengan tangan seolah ingin menyentuh pimes yang tertancap tetapi Aldin menahannya.
Darah berceceran membasahi kelaras. Para guru tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka menjauhkan Sanubari dari Aldin, memandangnya dengan penuh kebencian. Sanubari tertunduk ketakutan.
Di mata para orang dewasa, Sanubari terlihat sebagai tersangka. Bocah itu benar-benar sendiri. Tidak ada yang membelanya. Tiada pula yang peduli padanya. Entah apa yang akan terjadi padanya setelah ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 415 Episodes
Comments
Laskar Pelangi
wadidaw
2021-11-15
0
Dhina ♑
Kasihan banget sih 😭😭😭
2021-10-15
1
wan byt
ip
2021-10-09
1