"Sabar yo, Num!"
Ia melepaskan Sanum kemudian mengajak Idris berpamitan. Para gerombolan pengacau kejam itu turut pergi setelah Rudy dan Idris pulang. Tinggallah Sanubari berdua bersama ibunya.
Sanubari mengenali penampilan para penjahat yang mengusir semua orang dari rumahnya. Kaos hitam dengan gambar sabit kematian dan kucing. Itu sama persis dengan pakaian yang dikenakan orang-orang yang berada di rumah juru kunci kuburan.
Mafia kuburan tersebut tidak hanya melarang ibunya untuk menyemayamkan kakeknya di lahan pemakaman tanpa membayar. Akan tetapi, mereka juga tidak mengizinkan seorang pun untuk mengurus jenazah sang Kakek. Mereka benar-benar keterlaluan.
Sanum berjalan mendekati jasad ayahnya. Ia memeluknya.
"Sorone dadi wong melarat yo, Pak?"
(Sengsaranya menjadi orang melarat ya, Pak?)
Sanum tidak kuasa menahan ungkapan isi hatinya. Kata-kata itu keluar begitu saja berbalutkan kepiluan.
Sanubari menangis dalam diam menyaksikan pemandangan menyedihkan. Di saat-saat seperti ini, ia paling tidak tahu harus bagaimana. Ia hanyalah bocah yang belum banyak pengalaman. Ia belum tahu bagaimana sikap yang tepat untuk menunjukkan kepedulian. Satu hal yang bisa ia lakukan tanpa belajar adalah merasa.
Sanum melepaskan pelukan lalu menyeka air matanya. Bagaimanapun juga masih ada banyak hal yang harus ia lakukan. Ia tidak bisa berlarut-larut dalam peratapan tanpa melakukan apa pun. Sanum beranjak menjauh dari pembaringan sang Ayah.
Sanubari memperhatikan langkah Sanum. Ibunya itu mengambil cangkul yang terletak di sudut ruangan.
"Arep nang ngendi, Mak?"
(Mau pergi kemana, Bu?)
Sanum menoleh begitu mendengar pertanyaan putranya. "Arep ngeduk joglangan nak buritan. Sampeyan nak kene sek wae. Babuko lak ngantuk!"
(Mau menggali lubang di belakang rumah. Kamu di sini saja. Tidurlah bila mengantuk!)
Sanum bermaksud hendak menggali kuburan sendiri. Semua harus ia lakukan sendiri karena bantuan telah diusir. Tiada gunanya lagi menunggu hari esok. Toh hari ini atau esok sama saja. Sanum tetap harus mengurus semuanya sendiri.
Menyicil pekerjaan yang lebih mudah mungkin akan meringankan bebannya. Menggali kuburan sepertinya akan menghabiskan waktu cukup lama. Sebab, Sanum belum pernah menggali lubang sedalam itu. Karena itulah ia lebih mendahulukan berkotor-kotor sebelum memandikan jenazah.
Sanubari menanggapi pesan ibunya dengan gelengan. "Emoh. Aku melu Mamak wae."
(Tidak mau. Aku ikut Ibu saja."
Sanubari berlari kecil menyusul ibunya yang melewati pintu belakang. Nyali Sanubari terlalu ciut untuk tetap berada dalam ruangan ditemani kesenyapan.
Ibu Sanubari kembali berbalik badan. "Yo, wis. Sampeyan ngenteni Nang ngarep Lawang wae. Eh, tapi tutupen disek Lawang ngarepan, Le! Mengko enek kucing mlebu."
(Ya, sudah. Kamu tunggu di depan pintu saja. Eh, tapi tutuplah dulu pintu depan, Nak! Nanti ada kucing masuk lagi.)
"Iya, Mak."
(Iya, Bu.)
Sanubari bergegas menutup pintu lalu kembali dengan membawa dingklik. Ia duduk di tengah gawang pintu sambil memperhatikan ibunya yang sedang mencangkul.
Baru empat–lima ayunan, seseorang menyapa Sanum. Ia menawarkan diri untuk menggantikan Sanum.
"Macul Kuwi panggawehane wong Lanang. Kene aku wae sing nutukne!"
(Mencangkul itu pekerjaannya lelaki. Sini biar aku saja yang melanjutkan!)
Ia adalah Rudy. Rudy datang bersama Idris. Rupanya kedua orang itu tidak benar-benar pulang setelah diusir. Mereka hanya sembunyi di suatu tempat, menunggu para berandalan pergi. Kemudian mereka kembali ke rumah Sanubari setelah memastikan kondisi aman.
"Pak Rudy kalih Ustaz Idris kok mriki malih? Bahaya menawi preman-preman wau ngertos panjenengan-panjenengan mriki malih damel bantu Kulo."
(Pak Rudy dan Ustaz Idris kok kemari lagi? Bahaya bila para preman tadi tahu bahwa kalian kembali ke sini untuk membantu saya.)
Sanum celingukan. Matanya bergerak ke sana-kemari risau. Ia masih merasa ngeri dengan bayangan orang-orang bersenjata yang mengancamnya.
"Aku ora wedi Karo wong-wong kae mau. Podo-podo manungsane, ora perlu enek sing diwedeni. Aku mung Wedi karo Sing Nggawe Urip."
(Aku tidak takut dengan orang-orang tadi. Sama-sama manusia, tidak perlu ada yang ditakutkan. Aku hanya takut dengan Sang Pencipta Kehidupan.)
Idris menyetujui perkataan Rudy itu. Ia menimpalinya dengan berkata, "Ngurusi jenazah iku kewajibane awakedewe. Wis sak mestine awakedewe ngelaksanakne kewajiban Tinimbang nelantarke mergo wedi Karo Podo manungsane."
(Mengurus jenazah itu kewajiban kita. Sudah seharusnya kita melaksanakan kewajiban daripada menelantarkannya karena takut dengan sesama manusia.)
Sanum pun menerima bantuan mereka. Penggalian kembali dilanjutkan. Sanubari belajar banyak hal dari apa yang ia saksikan. Manusia itu tidak untuk ditakuti. Seseram apa pun tampang mereka, sekuat apa pun tenaga mereka, sepenting apa pun mereka—manusia tetaplah manusia.
Kendati demikian, Sanubari masih saja takut dengan yang namanya makhluk halus. Ia sama sekali tidak berani menoleh ke belakang dimana jasad kakeknya terbaring. Ia hanya fokus menatap Idris dan Rudy yang sedang bekerja.
Kegigihan serta kebaikan mereka—Sanum, Idris dan Rudy akan selalu membekas di hati Sanubari kecil. Mungkin saja itu adalah sesuatu yang akan berpengaruh dalam pembentukan kepribadian bocah tersebut.
Bunyi cangkulan yang terus terdengar membuat tetangga terusik. Wanita pemilik rumah terdekat pun mendatangi mereka.
"Nyapo iki bengi-bengi kok pacul-pacul?"
(Kenapa ini malam-malam kok gali-gali?)
"Anu, Mbak Arti. Niki ngeduk joglangan damel kuburane bapak."
(Anu, Mbak Arti. Ini menggali lubang untuk menguburkan bapak)
"Sopo omong Kowe oleh ngubur mayit Nang kene?"
(Siapa bilang kau boleh mengubur mayat di sini?)
"Kulo mboten angsal nguburaken ten makam. Dadose Kulo putusaken ngubur ten pekarangan piyambak kemawon."
(Saya tidak boleh menguburkan di makam. Jadi saya putuskan untuk menguburkannya di pekarangan sendiri.)
"Jare sopo Iki lemahmu?"
(Kata siapa ini tanahmu?)
"Niki ancene sanes gadahan kulo tapi bapak."
(Ini memang bukan milik saya tapi bapak.)
"Ngimpi! Iki lemah wek anku, yo!"
(Mimpi kamu! Ini tanah milikku, ya!)
Sanum tidak percaya mendengarnya. Sanum yakin bahwa ayahnya pernah berkata lahan sempit ini merupakan miliknya. Ia tidak ingat maupun pernah mendengar tentang ayahnya menjual pekarangan yang mereka miliki.
"Pokoke aku emoh yo lak nganti enek kuburan nak lemahku! Lak jek ngengkel, sesok tak bongkar maneh!"
(Pokoknya aku tidak mau ya kalau sampai ada kuburan di tanahku! Kalau masih ngeyel, besok kubongkar.)
Arti masih bersikukuh dengan keinginannya. Ia meninggalkan mereka setelah puas mengomel dan memberi peringatan.
Sanum tidak bisa melawan. Ia tidak memegang akta kepemilikan tanah yang bisa memperkuat keterangannya. Mau dicari pun Sanum tidak tahu dimana sang Ayah menyimpannya.
Sanum tertunduk lesu dengan pasrah.Persoalan kubur mengubur ini benar-benar memusingkan seolah dimana pun orang miskin berada, baik hidup maupun mati mereka tetap tidak diterima masyarakat.
Idris menepuk bahu Sanum memberi saran. "Ora usah susah! Dikuburke nyang Buri masjid wae."
(Tidak usah susah! Dikuburkan di belakang masjid saja.)
"Angsal?"
(Boleh?)
"Masjid deso 'kan tanah waqaf. Dudu hake sopo wae kanggo njaluk upah kanggo nghunakne."
(Masjid deso 'kan tanah waqaf. Bukan hak siapa pun untuk meminta upah atas penggunaannya.)
Pernyataan itu membuat Sanum merasa lega. Akhirnya jalan keluar atas masalahnya ditunjukkan juga.
Idris dan Rudy berdiskusi tentang bagaimana cara mereka mengangkut jenazah. Jarak masjid dan rumah Sanum cukup jauh. Tidak mungkin mayat dibopong dengan berjalan kaki.
Beberapa saat kemudian mereka mufakat. Rudy mengantar pulang Idris lalu kembali mengendarai mobil bak milik Idris.
Jenazah dimuat di belakang. Sanubari naik di belakang juga bersama Idris. Sementara Sanum duduk di depan dengan Rudy yang menyetir.
Serangkaian proses penguburan jenazah hanya dikerjakan berdua. Mulai dari penggalian liang lahat hingga pemandian jenazah—semua itu dilakukan oleh Idris dan Rudy. Sementara Sanum terus membacakan tahlil sampai jenazah siap untuk disalatkan. Sedangkan Sanubari hanya duduk di sebelah ibunya.
Salat jenazah hanya dilakukan perempat—Rudy, Sanubari, Sanum dengan Idris sebagai imam. Rudy dan Idris sudah mencoba mengajak yang lain. Namun, tidak ada lagi yang berani ikut dalam proses tersebut setelah datangnya ancaman.
Proses pemakaman usai sekitar pukul dua dini hari. Kedua pria dewasa itu mengantar Sanum dan Sanubari pulang. Setelahnya mereka kembali ke rumah masing-masing.
Dua jam berlalu begitu cepat. Tidak ada satu pun dari kedua anak dan ibu itu yang bisa terlelap. Waktu subuh pun datang mengantarkan berita yang menyesakkan dada.
[Inalillahi wa Inna ilaihi Raji'un. Telah meninggal ustaz Idris pagi ini pukul tiga empat puluh ....]
Pengumuman dari toa musala setempat itu membuat Sanum membelalakkan mata. Awalnya ia berpikir bahwa ia mungkin saja salah dengar. Namun, pemberitahuan tersebut diulang beberapa kali dengan nama yang sama terucap jelas.
[Inalillahi wa Inna ilaihi Raji'un. Telah meninggal bapak Rudy ....]
Pemberitahuan lanjutan tersebut membuat Sanum semakin berprasangka buruk. Tidak mungkin kedua penolongnya meninggal di waktu yang bersamaan.
Sanum mulai mengaitkan penolakan yang ia lakukan pada juru kunci serta ancaman para preman di rumahnya semalam. Bila kematian Idris dan Rudy ada sangkut pautnya dengan pengurusan jenazah, maka itu sungguh perbuatan yang tidak bisa diterima. Bagaimana mungkin mereka bisa menghabisi nyawa seseorang hanya karena memberikan bantuan padanya? Sanum merasa bersalah telah melibatkan mereka.
"Koyoke pak Rudy karo ustaz Idris jek tas ngewangi awake Dewe ngubur Kakung. Ketorone sehat-sehat tapi kok ujuk-ujuk mati yo, Mak?"
(Sepertinya pak Rudy dan Ustaz Idris baru saja membantu kita menguburkan kakek. Kelihatannya juga sehat-sehat tapi kok mendadak meninggal ya, Bu?)
Sanubari duduk di depan tungku. Ia menghangatkan diri sambil memasukkan kayu yang perlahan termakan api. Sedangkan sang Ibu sibuk menggoreng kerupuk beras.
"Urip LAN patine manungso sopo sing ngerti, Le. Mangkane Kawit sak iki kumpulno sangu Ben ora getun lak dicelok Gusti Pangeran sak wayah-wayah!"
(Hidup dan matinya manusia siapa yang tahu, Nak. Makanya, kumpulkanlah bekal mulai dari sekarang supaya tidak menyesal bila dipanggil Gusti Pangeran sewaktu-waktu!)
"Lah, nak njero kuburan opo yo enek bakul pentol, sosis, es wawan? Kok Ndadak nggowo sangu?"
(Lah, di dalam kuburan memangnya ada penjual pentol, sosis, es wawan? Kok harus bawa uang saku segala?)
"Dudu sangu ngono Kuwi. Wong mati wis ora butuh panganan. Tapi sangu arupo amalan becik. Amalan becik kang akek iki sing besok ISO Nggawe uripe awake Dewe mulyo sak wide mati. Ojo sapisan-pisan ngelakoni tumindak olo lak ora pengen sengsoro saklawase!"
(Bukan bekal seperti itu. Orang meninggal sudah tidak butuh makanan. Tapi bekal berupa amalan kebaikan. Amalan kebaikan banyak inilah yang kelak bisa membuat hidup kita Mulya setelah meninggal kelak. Jangan sesekali berbuat keburukan bila tidak ingin sengsara selamanya!)
"Wong mati ISO Urip maneh?"
(Orang meninggal bisa hidup kembali?)
"ISO tapi Nyang alam liyo."
(Bisa tapi di alam lain.)
Sanum tersenyum. Ia mulai menjelaskan dasar-dasar kehidupan sesederhana mungkin agar mudah dipahami oleh Sanubari. Semakin diterangkan, semakin beranak Pinak pula pertanyaan Sanubari. Keingin Tahuan anak-anak bagaikan aliran sungai yang terus mengalir menuju lautan—Tiada habisnya bila dituruti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 415 Episodes
Comments
BlueMoon🔵
Kak Cho... Aku mau promosi dong, bolehin ya? Baca novelku yuk, judulnya Lin & Kin. Novel baru, tolong diramekan ya... Terima kasih..🖤
2021-12-22
1
wan byt
mesakne
2021-10-09
1
GreaDDoel
lanjut tor
2021-10-04
1