Ada bagian dari masa lalu yang berpengaruh pada masa depan, ada pula yang tidak. Tidak ada yang bisa memperkirakan bagian manakah yang turut berperan penting dalam kemajuan kehidupan yang belum dijalani. Segalanya akan jelas begitu waktu berbicara. Jauh di masa depan, terjadilah sebuah peristiwa mendarah daging yang sudah terjadi semenjak manusia beranak Pinak.
Pem-bully-an. Ya, benar sekali. Perundungan tetap terjadi walaupun rayap punah ditelan waktu. Layaknya manusia yang berkembang biak, tindakan tindas menindas ini pun turun temurun ke generasi berikutnya. Bagaikan tautan mata rantai yang tidak pernah terputus, tunas baru selalu bermunculan kala yang tua telah lebur dalam kubur.
Mirisnya, akar permasalahan ini terkadang luput dari perhatian orang dewasa. Anak-anak yang baru mulai belajar membentuk pribadi, entah bagaimana bisa mengenal perbuatan kurang terpuji ini. Bahkan mereka tidak segan mempraktikkan kepada anak seumurannya. Seperti halnya peristiwa yang terjadi antara anak sekolah dasar di desa Dayu ini.
"Bekepen cangkeme cek ora iso mbengok!"
(Bungkamlah mulutnya biar tidak bisa berteriak!)
Seorang anak sepuluh tahun tersenyum senang melihat dua temannya mau menurutinya. Mereka memegangi bocah sepantaran yang terus meronta. Empat lawan satu, tentunya anak beriris hijau itu tiada berdaya menghadapi mereka.
"Duwe duwek Piro Yo, cah iki?"
(Punya uang berapa ya, anak ini?)
Seorang anak yang bertingkah layaknya bos mulai menggeledah. Ia merogoh saku seragam putih bocah itu. Akan tetapi, dia tidak menemukan apa pun. Ia beralih memasukkan tangan ke celana bocah itu. Namun, hasilnya tetap nihil. Ia bergerak mundur. Kemudian memandang ke bawah dan memerintah yang lain.
"Periksonen sepatune, Ki!"
(Periksa sepatunya, Ki!)
"Siap, Din!"
Bocah bernama Kiki pun berjongkok di depan korban mereka. Ia melepas sepatu usang bocah itu yang telah jebol di bagian jempol. Dibaliknya sepatu itu. Namun, tidak ada apa pun yang terjatuh dari dalamnya. Ia pun melepas kaos kaki yang sudah melar. Barulah ia menemukan sesuatu dari sana.
"Din, nemu, Din!"
Kiki mengangkat koin kuning ke atas sambil mendongak, menatap bocah yang memerintahnya. Bocah yang dipanggil Din pun menyahutnya dengan kasar. Dialah Aldin, bos kecil dari anak-anak nakal itu. Aldin berdecak kesal.
"Muk limangatus. Kenek kanggo tuku opo?"
(Cuma lima ratus. Bisa buat beli apa?)
"Papeda oleh separo, Din."
(Papeda dapat setengah, Din.)
"Endak mungkinlah tuku muk separo. Bakule opo yo gelem ngedoli?"
(Tidak mungkinlah beli hanya setengah. Mana mau penjualnya membuatkan?)
Salah satu anak yang memegangi bocah beriris hijau menyahut, "Anak setan Iki mosok melarat? Mestinya deke isi duwe maneh. Didelekne nang enggan liyo paling."
(Anak setan ini masak melarat? Pasti masih punya lagi. Disembunyikan di tempat lain mungkin.)
Aldin mengamati bocah beriris hijau dari atas ke bawah. Baju bocah tersebut sudah cukup berantakan akibat ulah mereka. Kemudian, Aldin berkata, "Cepotono klambine!"
(Lucuti pakaiannya!)
Kiki yang bebas hendak melucuti pakaian bocah itu. Baru saja ia menyentuh sabuk si bocah, sebuah tendangan kuat mengenai perutnya. Kiki pun terjengkang. Ia meringis kesakitan.
"Emak ...." Kiki menangis seperti anak manja.
Aldin menoleh sejenak pada Kiki yang tersungkur di lantai. Kemudian, ia kembali menatap bocah beriris hijau dan mengucapkan, "Wo, wis wani maneni, yo?"
(Wah, sudah berani melawan, ya?)
Aldin mengeluarkan pimes dari saku celananya. Ia membuka pimes yang terlipat, menunjukkan sisi tajam dari mata pimes. Ia menyeringai penuh makna ketika menyaksikan bocah beriris hijau itu membelalakkan mata ketakutan. Ia menempelkan sisi tumpul pimes pada dahi bocah itu.
Aldin berbisik, "Ora sah kakehan polah lak ora gelem pipimu tak iris!"
(Tidak usah banyak bertingkah bila tidak ingin pipimu kuiris!)
Aldin memindah pimes ke tangan kiri. Dengan brutal, ia memukuli perut bocah beriris hijau. Entah apa yang telah merasuki Aldin sampai ia terlihat sangat biasa melakukan kekerasan semacam itu. Ia bagaikan perwujudan iblis kecil dalam sosok manusia.
Segala umpatan dan beragam kata kasar meluncur dari mulut Aldin. Para sahabatnya tertawa melihat Aldin beraksi. Sementara si Bocah beriris hijau memejamkan mata menahan pukulan Aldin. Ia merasa risih mendengar ucapan kotor Aldin.
Belum puas Aldin memukulinya, bel masuk kelas berbunyi. Ia pun berdecih. Disayatkannya pimes pada bordiran nama seragam bocah itu lalu mengajak kawan-kawannya pergi.
Kedua anak yang memegangi bocah itu mendorongnya hingga jatuh. Noda merah membasahi seragam putih, melebar hingga mewarnai sebagian nama 'Sanubari' yang tertulis di dada kanan. Sanubari—itulah nama bocah beriris hijau yang kini sendirian.
"Perih."
Sanubari mendesis sambil memegangi dada kanannya. Ia merasakan tangannya basah ketika menyentuh dada. Dilihatnya telapak tangan itu, cairan merah menempel pada jarinya. Sayatan tadi tidak hanya merobek bajunya tetapi juga menggores kulitnya hingga berdarah.
Ia ingin menangis tetapi Sanubari tahu bahwa menangis tidak bisa menyelesaikan masalah. Tidak pula bisa merubah kehidupan bila ia hanya berdiam diri. Bergegas dikenakannya kaos kaki dan sepatu kembali. Lantas, ia pun memasuki kamar mandi.
Sanubari berusaha membasuh noda darah pada seragamnya. Namun, usapan air tidak mampu menghilangkan bekasnya secara sempurna. Ia menyerah dan memutuskan untuk kembali ke kelas. Kelasnya tepat berada di sebelah parkiran motor para guru.
Saat melewati parkiran, Sanubari berhenti sejenak. Ia memandang pantulan dirinya pada spion. Rambut hitam legam seperti orang Indonesia pada umumnya, kulit terlihat lebih cerah namun itu tidak masalah. Satu-satunya yang menjadi masalah adalah warna iris matanya.
"Opo salahe duwe mata ijo?"
(Apa salahnya memiliki warna mata hijau?)
Sanubari hanya bisa menyimpan pertanyaan itu dalam hatinya. Dia memang tidak memiliki iris mata gelap seperti mayoritas orang di sekitarnya. Karena itu pula dia menjadi sasaran penindasan Aldin dan geng kecilnya.
"Kamu kenapa berdiri di situ? Mau bolos?" hardik seorang guru wanita yang membuat Sanubari terlonjak seketika.
"Eng-enggak, Bu," jawab Sanubari tergagap.
"Ya, sudah. Sana buruan masuk kelas!"
"I-iya, Bu."
Sanubari langsung berlari ke kelasnya. Jam pelajaran telah dimulai. Ia terlambat nyaris seperempat jam. Dengan perasaan takut, ia mengetuk pintu. Perhatian guru dan para siswa pun tertuju pada Sanubari yang berdiri di ambang pintu.
"Dari mana saja kamu?" tanya guru yang sedang mengajar.
"Kamar mandi, Pak."
"Cepat duduk di kursimu! Penjelasan akan saya lanjutkan," jawab tegas guru itu.
Sanubari menuju kursinya begitu dipersilakan. Bangku paling belakang menjadi takhtanya seorang diri. Padahal ia adalah murid terpendek di kelas. Namun, Sanubari tidak mempermasalahkan posisi duduknya.
Bagi Sanubari, jam pelajaran merupakan salah satu waktu menenangkan di sekolah. Ia bisa terbebas dari kejahilan Aldin. Cukup memikirkan mata pelajaran yang berlangsung dan rasanya semua beban sosial terlupakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 415 Episodes
Comments
Sui Ika
wow ceritanya keren kk author, mantap mantap,
2022-07-18
0
Laskar Pelangi
belajar banyak nih
2021-11-15
0
KIA Qirana
paling benci bullying
2021-10-25
1