Sanum lebih memilih pergi dari tempat tukang gali kubur tanpa menawar lagi. Percuma saja meminta kemurahan darinya. Lelaki serakah itu tetap saja tidak mau mengurangi keangkuhannya.
Tunggangan bebek elektronik keluaran tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh tiga kembali dinyalakan, mengantarkan sang Penumpang ke tujuan berikutnya. Motor butut tersebut memang mempunyai usia berkali-kali lipat dari umur pemiliknya. Namun, performanya masih bisa dikatakan lumayan bagus. Buktinya pesawat darat tersebut sukses mencapai gol tanpa mogok sekali pun.
"Wis teko."
(Sudah sampai.)
Rudy mengerem motornya. Ia mematikan mesin. Kemudian, dijagangnya kendaraan antik itu begitu para penumpang telah turun.
Mereka parkir di halaman tepat di sebelah kuburan. Burung hantu menguak, perkutut berdekut, sapi melenguh, jangkrik mengerik, sendaren gapangan meraung di langit malam. Orkestra malam seakan menyambut kedatangan mereka.
Sanubari melihat area pemakaman yang diterangi cahaya temaram kekuningan. Pikirannya mulai membayangkan kemunculan makhluk astral seperti pocong, kuntilanak dan kawan-kawan. Angannya yang berkelana membuat bulu kuduknya menegak dengan sendirinya tanpa ia inginkan.
Tiba-tiba, bunyi debuman keras membuat Sanubari terlonjak dan berteriak, "Mamak, setan!"
Jantungnya berdegup kencang. Ia refleks memeluk erat ibunya. Sangat jelas bahwa makhluk tadi menyerempet rambut belakangnya sebelum membentur tanah.
"Bejo tenan uripmu, Le-le."
(Beruntung sekali hidupmu, Nak-nak.)
Rudy yang menyaksikan detik-detik menyeramkan itu menghela napas lega sambil mengelus dada. Jantungnya turut berdetak tidak karuan.
"Sujukno kambil mau ora nyebloki endasmu lo."
(Untungnya kelapa tadi tidak menjatuhi kepalamu loh.)
Mendengar perkataan Rudy itu, Sanubari semakin ketakutan. Ia membatin, "Ka-ka-kambil? Sanukno glundung-glundung plecek?"
(Ke-ke-kelapa? Jangan-jangan glundung-glundung plecek?)
Sanubari tidak berani menoleh ke belakang maupun menatap ke bawah. Ia takut kelapa yang menggelinding itu akan berubah menjadi potongan kepala. Kepala manusia dengan mata membelalak penuh darah dan lidah panjang menjulur. Membayangkannya saja sudah membuat Sanubari merinding. Ditambah lagi wangi melati yang menyengat menusuk hidung sedari tadi.
Sanum memeluk putra semata wayangnya. "Syukur, sampeyan isih diayomi Gusti Pengeran. Aku ora ngerti maneh lak kambile nyebloki sampeyan tenan, Le."
(Syukur, kamu masih dilindungi Gusti Pangeran. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa bila kelapanya benar-benar menimpamu, Nak.)
Saat ini, Hanya Sanubari satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh Sanum. Ia tidak ingin kehilangan putranya secepat itu dan hidup sendirian.
"Wis-wis, ayo ngaleh! Bahaya lak enek kambil ceblok maneh."
(Sudah-sudah, ayo pindah! Bahaya kalau ada kelapa jatuh lagi.)
Rudy mengajak mereka untuk berpindah. Ia juga menuntun motornya agak menjauh dari pohon kelapa tersebut. Setelah itu, mereka berjalan menuju rumah yang berbatasan langsung dengan area kuburan. Hanya tersekat tanaman pagar di antaranya.
Rudy mengetuk pintu. Tidak perlu menunggu lama, pintu pun dibukakan. Suara gaduh terdengar jelas tatkala pintu terbuka. Padahal di luar sama sekali tidak terdengar keriuhan manusia sebelumnya.
Mereka bertiga dipersilakan masuk. Pria yang tampangnya seperti preman menyuruh ketiganya duduk di kursi kayu sebelah meja karambol. Sanubari sungguh tidak menyangka bahwa dalam rumah akan ada banyak orang.
Beberapa orang memakai baju yang sama, kaos hitam dengan gambar siluet dua sabit kematian berwarna merah yang menyilang. Terdapat siluet kepala kucing dengan warna merah yang lebih gelap di titik persilangannya. Gambar tersebut terlukis cukup besar dan jelas di punggung kaos.
Sanubari memperhatikannya, para orang dewasa itu ramai sendiri. Bocah cilik itu pun gagal paham, apa serunya menyentil-nyentil lempengan menyerupai medali di atas meja hingga masuk ke lubang di sudut-sudut meja. Mereka terlihat begitu asyik. Kehebohan yang mereka ciptakan pun sedikit berlebihan menurut Sanubari.
Kata-kata kasar dan umpatan tidak senonoh mengudara begitu saja kala ada yang kalah taruhan di antara mereka. Sungguh suasana yang amat tidak disukai Sanubari. Ditambah lagi dengan adanya bau asap rokok serta bebauan tidak sedap lain yang mengganggu hidung, Sanubari semakin tidak bisa bertahan lebihh lama di sana.
Bebauan itu sungguh membuat tidak nyaman. Sanubari sendiri tidak bisa mengenali bau apa itu. Ia menggerak-gerakkan kaki dan tangan gelisah. Beberapa kali dia membuang napas kasar.
Akhirnya, kepada ibunya, Sanubari berbisik, Mak, ayo mulih!"
(Bu, ayo pulang!)
Dengan berbisik pula Sanum menjawab, "Sabar! Diluk engkas."
(Sabar! Sebentar lagi.)
Sesaat kemudian, seseorang dari bagian lain rumah memasuki ruangan. Lelaki berusia empat puluhan itu berhenti sejenak. Perhatiannya tertuju pada Sanubari sebelum akhirnya duduk di kursi berseberangan dengan Sanubari dan ibunya.
"Sampeyan-sampeyan iki ono opo mrene?"
(Ada apa kalian datang kemari?)
Sukun namanya. Dialah juru kunci sekaligus salah satu ketua pengurusan pemakaman di desa tersebut. Ia mulai menghisap rokok yang baru dinyalakan. Perhatiannya masih saja belum teralihkan.
Merasa risih dipandangi, Sanubari pun menundukkan kepala, menatap ke kaki yang ia pancatkan pada bagian bawah meja. Ia mainkan kakinya itu untuk mengalihkan pikiran.
Sementara itu, dengan lemah lembut Sanum menjawab, "Bade nyuwun Tulung nyiapaken kuburan."
(Mau meminta bantuan untuk menyiapkan kuburan.)
Sukun meniupkan kepulan asap dari mulutnya lalu membalas, "Iso-iso."
(Bisa-bisa.)
Kata pertama itu memberikan harapan pada Sanum. Namun, kalimat-kalimat penjelas berikutnya seketika menghancurkan harapan yang baru saja terbentuk.
Harga sewa tanah kubur untuk orang dewasa selama satu tahun adalah seratus lima puluh juta. Bisa juga menyewa secara bulanan dengan harga lebih mahal. Yaitu, dua puluh juta rupiah.
Adapun yang hanya setengah harga. Namun, panjang kuburan tidak lebih dari satu meter. Mustahil menguburkan kakek Sanubari dengan kuburan sesempit itu.
Sanum berusaha menegosiasi harga yang selangit itu. Sayang, tetap saja Sanum tidak mampu membayar biaya termurah yang ditawarkan.
Satu juta untuk satu bulan. Dalam masa sewa, mayat bisa saja dipindahkan sewaktu-waktu dan tempat kuburnya diserahkan kepada pihak lain yang berani membayar lebih tinggi. Jelas itu sangat merugikan menurut Sanum. Sudah membayar mahal tetapi tetap saja ada kemungkinan terkena penggusuran.
Jenazah bukanlah harta karun yang bisa dipendam kemudian digali lagi untuk diambil sesuka hati. Sanum tidak akan membiarkan jasad ayahnya dipermainkan seperti itu.
Pengurusan jenazah memang bisa menjadi ladang bisnis yang sangat menguntungkan di zaman ini. Seorang penggali kubur bahkan bisa meraup ratusan juta dalam sekali gali. Sebab, biasanya orang-orang kaya tidak akan menawar supaya mendapatkan harga rendah untuk menguburkan kerabatnya yang wafat.
Berbeda dengan orang kecil seperti keluarga Sanubari, penawaran para pengurus jenazah bagaikan bilah pedang tajam yang menembus jantung mereka. Biaya itu sungguh menyesakkan bagi orang-orang miskin.
Sanum masih belum menyerah. Ia terus mengusahakan supaya jenazah ayahnya bisa mendapatkan yang terbaik.
Melihat kegigihan Sanum memohon, Sukun pun berkata, "Aku ISO wae nggratisne selawase."
(Aku bisa saja menggratiskan selamanya.)
"Temenan, Pak?"
(Benarkah, Pak?)
Seulas senyum terbit di wajah Sanum. Akhirnya usahanya membuahkan hasil. Ada kegembiraan tersendiri di hatinya yang berduka.
Sukun mengetukkan batang rokok ke asbak lalu berucap, "Tapi Ono syarate."
(Tapi ada syaratnya.)
Dengan semangat Sanum menyahut, "Nopo syaratipun?"
(Apa syaratnya?)
"Ndonorke motone bocah nang sandingmu Kuwi kanggo Aldin. Lak ora gelem, yo diwutakne pisan wae moto loro-lorone."
(Mendonorkan mata anak di sebelahmu itu untuk Aldin. Kalau tidak mau, ya dibutakan sekalian saja kedua matanya.)
Sanubari terkesiap mendengar persyaratan itu. Secara tidak langsung lelaki itu menyebutnya. Walaupun dia tidak menyebut nama Sanubari.
Sanubari paham betul bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Penyebutan nama Aldin serta posisi duduk menjadi petunjuk baginya.
Sanubari memandang lelaki di hadapannya yang tersenyum licik. Lelaki tersebut seolah menuduh Sanubari menjadi penyebab kebutaan mata kanan Aldin dan ingin membalas dendam dengan membuat persyaratan itu.
Sanubari yang keheranan pun membatin, "Aneh. Aku ora kenal wong iki. Tau cetuk yo ora. Tapi kok iso ngerti masalahku ambek Aldin, yo?"
(Aneh. Aku tidak mengenal orang ini. Pernah bertemu pun tidak. Tapi kenapa bisa tahu masalahku sama Aldin, ya?)
Segala hal tentang Sanubari selalu saja cepat tersebar dengan mudahnya. Bahkan orang asing yang tidak terlibat secara langsung dalam setiap peristiwa yang dia alami sampai bisa tahu kejadiannya. Dua Minggu ini Sanubari sama sekali tidak keluar rumah sehingga dia belum tahu bagaimana anggapan para warga terhadapnya saat ini.
Rudy yang dari tadi hanya berperan sebagai pendamping mulai angkat bicara. "Ngapunten, donor Niku mboten saged sembarangan. Kados cocok DNA-nipun. Menawi mboten cocok, nggih mboten saged netranipun dicangkok."
(Maaf, donor itu tidak bisa sembarangan. Harus cocok DNA-nya. Kalau tidak cocok, ya tidak bisa matanya dicangkokkan.)
Sebagai pendamping, Rudy menaruh rasa prihatin pada Sanubari. Ia tidak bisa membiarkan oknum-oknum miskin moral ini merusak masa depan bocah cilik ini.
———©———
Catatan :
*Sendaren adalah pita yang diikatkan pada bilah bambu melengkung. Bentuknya menyerupai busur panah. Bisa mengeluarkan bunyi seperti raungan ketika diterpa angin.
*Gapangan adalah salah satu jenis layang-layang. Layang-layang jenis ini memiliki dua bagian. Badan bagian atas dan bokong bagian belakang. Bentuknya menyerupai serangga yang hanya memiliki bagian tubuh kepala dan abnomen saja. Pada bagian moncong biasanya diberi sendaren.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 415 Episodes
Comments
Manami Slyterin🌹Nami Chan🔱🎻
baru ku baca
2022-03-18
1
Dhina ♑
Kalau itu Hantu Kepala yang menggelinding, duh ngeri banget, sumpah 👻👻👻👻
2021-10-25
1
ARSY ALFAZZA
semangat selalu thor 👍🏻
2021-10-02
3