"Sanu!"
Sanum menghampiri putranya. Ia mengelap darah yang terus mengalir dari kening Sanubari. Sanubari meringis kesakitan.
Jidatnya berdenyut-denyut sekaligus perih. Tubuhnya pun ngilu.
Dana tidak bisa hanya berdiam diri menyaksikan kekerasan itu. Ia meninggalkan makanannya yang bahkan belum habis setengah.
"Melakukan pemerasan sekaligus perusakan properti. Kalian telah melanggar HAM. Ditambah lagi melakukan tindak kekerasan pada anak di bawah umur. Jelas itu pelanggaran atas hak perlindungan anak. Sepertinya kalian akan dikenai pasal berlapis."
Salah satu dari pemalak tersebut menyolot begitu mendengar kalimat Dana. "Sopo Kowe? Ora usah sok ngerti! Jelas wong Iki sing salah mergo ora gelem mbayar pajek keamanan."
(Siapa kau? Tidak usah sok tahu! Jelas-jelas orang ini yang salah karena tidak mau membayar pajak keamanan.)
"Pajak keamanan? Kalian saja menghancurkan dagangan ibu ini. Bagaimana mungkin kalian menyuruh wanita tidak berdaya ini membayar kepada orang yang jelas tidak bisa menjamin keamanan dan kenyamanan untuknya?" sarkas Dana.
"Pajek Kuwi kewajiban. Kewajiban kudu dibayar lak ora gelem keno sanksi."
(Pajak itu kewajiban. Kewajiban harus dibayar bila tidak ingin dikenai sanksi.)
Pemalak itu merasa menang dengan perkataannya. Mereka berdua tersenyum mengejek. Kecongkakan keduanya melangit bak balon berhidrogen yang terlepas dari genggaman anak kecil—siap meledak kapan pun terkena paparan panas.
"Pajak memang ada macam-macam. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn). Tempat ini dipinjamkan teman ibu ini dengan cuma-cuma, bukan kewajibannya untuk membayar pajak. Berdasarkan keterangan ibu ini, kurasa penghasilannya tidak sampai sembilan juta per bulan. Itu berarti pendapatannya tidak dikenai pajak penghasilan. Dilihat dari jualannya pun ini bukanlah objek pajak yang bisa terkena PPn."
Penjelasan panjang lebar dari Dana itu semakin menyudutkan para pemalak. Inteligen mereka yang tidak lebih tinggi dari anak sekolah dasar membuat mereka kesulitan mencari celah untuk mempertahankan pendapatnya. Mereka bahkan tidak tahu menahu mengenai seluk beluk perpajakan yang dibicarakan Dana.
Melihat lawannya tidak bisa membantah tidak lantas membuat Dana menghentikan ocehannya. Ia masih saja melanjutkan pidatonya bak seorang jendral pajak. Bila ini adalah kompetisi debat, sudah dapat dipastikan bahwa Danalah pemenangnya.
"Memang sih ada pajak warung yang dikelola oleh pemerintah daerah. Tapi, jika dilihat dari kriteria bisa atau tidaknya warung ini dikenai pajak, tetap saja warung ini akan bebas pajak. Pajak itu tidak bisa sembarangan diterapkan. Ada aturan-aturan tertentu yang tercantum dalam undang-undang. Pungutan paksa untuk kepentingan pribadi itu namanya pemalakan. Bukan pajak."
Kali ini Dana yang tersenyum miring. Bukannya ia ingin menyombongkan pengetahuannya, ia hanya tidak suka melihat kesewenang-wenangan.
Kalimat-kalimat Dana berhasil memanas-manasi hati para pemalak. Sedikit percikan sindiran dari Dana itu telah menyulut balon emosi mereka. Kemurkaan pun meledak.
Para pemalak itu mengumpat. Salah satu dari mereka hendak memukul Dana. Namun, Dana dengan sigap membanting lalu menginjak dadanya. Seorang lagi yang menyaksikan rekannya dapat dilumpuhkan dengan mudah pun kabur.
Namun, itu hanyalah siasat. Pemalak yang lari tersebut kembali dengan membawa lebih banyak orang. Taruna ikut turun tangan membantu Dana yang dikepung oleh lebih dari sepuluh orang.
Perkelahian pun tidak terelakkan. Namun, cukup mudah bagi prajurit terlatih untuk menghabisi penjahat selevel preman kampung. Dalam waktu singkat, semua berandalan tersebut terkapar di tanah.
Di antaranya ada yang mimisan, giginya rontok, patah tulang dan lain-lain. Dana dan Taruna menumpuk tubuh mereka layaknya karung beras. Adapun yang masih bisa berdiri. Namun, mereka tidak berani lagi melawan. Dari suatu tempat yang tidak mereka sadari, seseorang merekam kejadian tersebut.
Pasca perkelahian, Dana dan Taruna membantu Sanum membereskan dagangan yang berantakan. Namun, mereka hanya bisa merapikan sebagian saja. Sebab, para preman yang tergeletak tidak berdaya masih belum dipindahkan.
Prioritas utama mereka saat ini adalah kondisi Sanubari. Dana dan Taruna membawa Sanubari ke rumah sakit tanpa menghiraukan para preman yang juga membutuhkan perawatan. Beruntung tidak ada luka fatal pada Sanubari. Satu-satunya luka serius yang dialami Sanubari adalah benturan di kepalanya.
Perawat telah memberhentikan pendarahan serta memberikan disinfektan. Plester medis melekat di kening bagian atas Sanubari. Dokter juga telah memeriksa kondisi tubuh Sanubari secara keseluruhan. Benturan tersebut tidak berbahaya untuk Sanubari.
Semua biaya pengobatan ditanggung oleh Dana dan Taruna. Termasuk biaya penebusan obat. Setelah semua rangkaian pemeriksaan selesai, mereka kembali mengantarkan Sanubari dan Sanum pulang dengan mobil jip Dana.
Hari itu Sanum tidak lagi kembali ke tempatnya jualan. Keesokan paginya, Sanum dan Sanubari sarapan bersama seperti biasanya. Menunya pun sederhana. Nasi putih dan ikan asin pipih yang dijual seribuan per bungkusnya. Itu pun mereka jadikan lauk untuk tiga kali makan.
"Mak, mengko dodolan pecel maneh?"
(Bu, nanti berjualan pecel lagi?)
Sanubari mendaratkan sesuap nasi dengan remukan ikan asin. Makan dengan lauk ikan asin memang nikmat dengan tangan langsung tanpa sendok. Apalagi bila menyantapnya saat nasi masih hangat. Itu adalah sebuah kenikmatan yang tidak terkira.
"Ora, Le. Aku wis ora duwe duit kanggo tuku barang-barang dodolan. Mengko paling arep nyetriko ae Nyang omahe mbak Arti. Sampeyan dolano ora opo-opo! Tapi wangsul nek wayahe maem, yo!"
(Tidak, Nak. Aku sudah tidak mempunyai uang untuk membeli barang-barang untuk jualan. Pergilah bermain, tidak apa-apa! Tapi pulang kalau sudah waktunya makan, ya!)
Kebetulan hari ini Sanum memang ada panggilan untuk menjadi buruh di rumah Arti. Setelah menyelesaikan pekerjaannya nanti, Sanum berencana untuk pergi ke tempatnya berjualan kemarin guna membereskan kekacauan yang tersisa. Ia sengaja tidak memberitahu Sanubari. Ia takut para preman akan kembali datang. Sanum tidak ingin putranya dalam bahaya sekali lagi.
Diam-diam Sanubari pun memiliki rencananya sendiri. Seusai melahap santapannya, ia langsung tunggang langgang. Dengan semangat membara, Sanubari berkeliling desa menawarkan jasa.
Sanubari menghampiri beberapa orang yang sedang sibuk memipil jagung. Bergunung-gunung gelondongan jagung belum dipipil memenuhi teras yang cukup luas. Jumlahnya begitu banyak. Tiga orang memipil seharian pun tidak akan bisa menyelesaikannya.
Sebenarnya, akan lebih cepat bila jagung-jagung tersebut dipipil dengan mesin. Namun, kualitas pipilan tangan manusia jauh lebih bagus daripada hasil pekerjaan mesin. Juragan jagung desa ini mengelompokkan jagung dalam beberapa kualitas. Oleh sebab itulah tenaga manusia masih sangat dibutuhkan.
Sanubari yakin bahwa satu tambahan pekerja akan mempercepat semuanya. Itu artinya peluang diterima bekerja di tempat ini sangatlah besar. Ia pun mencoba menemui sang Juragan. Sayangnya ia ditolak dengan alasan tidak ingin tertular nasib buruk yang dibawa olehnya.
Sanubari melanjutkan langkahnya ke tempat lain. Masih dengan antusiasme yang sama, ia mendatangi tempat usaha pembuatan gendang. Tempat luas yang dikelilingi pepohonan rindang itu terlihat sangat sibuk.
Orang-orang fokus melakukan pekerjaannya. Ada yang sibuk memasang kulit pada gendang. Ada yang dengan cekatan menarik tali gendang. Ada pula yang dengan telaten menggambar motif pada gendang dan masih banyak lagi proses lainnya. Masing-masing dari mereka bergerombol sesuai dengan jenis tahapan yang dikerjakan.
Sanubari ingin mencoba melamar pekerjaan di sana. Ia pun meminta untuk dipertemukan dengan pemilik usaha. Namun, bukannya pekerjaan yang ia dapat tetapi sebuah pengusiran.
Sanubari pun berlari dari tempat satu ke yang lain. Ia menawarkan diri sebagai pencuci piring, pengarit, tukang bersih-bersih dan lain sebagainya. Namun, hasilnya tetap sama—apa pun pekerjaannya, penolakan lah yang ia terima. Semua orang seolah ingin menghindari interaksi dengan Sanubari.
Berita kebutaan Aldin akibat ulah Sanubari, kematian Idris dan Rudy karena keluarga Sanubari—semua itu telah tersebar ke seluruh penjuru desa, membuat sebagian orang menjaga jarak dengan Sanubari. Mereka takut terlibat dalam masalah yang mengelilingi keluarga Sanubari. Setiap orang masih sangat sayang dengan nyawa masing-masing. Tidak ada yang berani menunjukkan rasa iba pada bocah yang sedang mati-matian mencari pekerjaan itu.
Tidak disangka menemukan pekerjaan akan sesulit ini. Sanubari bangga pada ibunya sendiri. Wanita dewasa itu mampu menjadi tulang punggung dan menjamin perut Sanubari untuk selalu terisi. Bagi Sanubari, ibunya adalah wanita yang sangat luar biasa. Ia tidak pernah meninggalkan Sanubari, walaupun ia juga harus menjalani kehidupan sulit gara-gara Sanubari.
Padahal Sanubari hanya ingin mencari uang untuk membantu ibunya. Padahal ia hanya ingin mendapatkan pekerjaan untuk meringankan beban ibunya. Namun, dengan keadaannya saat ini, Sanubari merasa tidak berguna.
Hari semakin terik, bulir-bulir keringat menuruni pelipis Sanubari. Beberapa anak berseragam merah putih menggenjot sepeda, melewati jalanan di depan Sanubari. Ia iri dengan mereka yang masih bisa bersekolah. Namun, Sanubari hanya bisa menyimpan keinginannya itu dalam sanubarinya.
Perut mulai keroncongan, Sanubari pun memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, Sanubari tertarik dengan suara televisi dari rumah yang dilewatinya. Nama desanya sempat disebut dalam warta yang tanpa sengaja ia dengar sekilas. Karena itulah Sanubari menjadi penasaran. Ia berbalik arah lalu berdiri di dekat jendela.
[Sebuah video perkelahian antara dua anggota TNI AD dan warga viral di jagad Maya. Karena tindak penindasan yang mereka lakukan, seorang tentara berinisial DA diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya. Sementara rekannya yang berinisial TA diturunkan pangkatnya. Lima korban luka-luka masih dirawat di rumah sakit. Sedangkan tiga korban lainnya hanya mengalami luka ringan. Asmara melaporkan dari Blitar, Jawa Timur.]
Sanubari mendengarkan siaran reporter tersebut dengan seksama. Ia mengenali dua sosok lelaki yang ditampilkan dalam televisi. Mereka adalah orang yang membantu dirinya dan ibunya ketika para preman mengacau. Sejak beberapa saat yang lalu Sanubari berdiri di dekat jendela rumah tetangganya, menyimak keseluruhan isi berita. Anehnya, dalam berita tersebut, kedua orang baik yang menolongnya malah diposisikan sebagai tersangka.
"Wayahe wong-wong olo kae sing dihukum. Nyapo malah bapak-bapak mbeneh sing disalahne? "Opo wong-wong wis ora iso nyawang kasunyatan?"
(Seharusnya orang-orang jahat itu yang dihukum. Kenapa malah bapak-bapak baik hati itu yang disalahkan? Apakah mereka tidak bisa melihat kebenaran?)
Hati Sanubari kecil mulai memupuk kebencian. Perasaan negatif itu perlahan berevolusi menjadi dendam. Saat ini mungkin kenangan buruk tersebut bisa tersamarkan oleh sedikit memori indah yang terkadang hadir.
Namun, kenangan yang terkubur dalam putaran waktu bisa saja suatu saat muncul kembali. Otak anak kecil mengikat setiap peristiwa dalam kehidupan dengan sangat kuat. Ada hal-hal yang terekam di masa kecil dan terbawa hingga akhir hayat. Meskipun hal tersebut sama sekali tidak diinginkan. Seseorang tidak bisa mengendalikan maupun memilih kenangan yang ingin dibuang dan dipertahankan.
Sanubari menghembuskan napas kasar. Mimik mukanya kusut mengingat setiap ketidak Adilan yang menjajah kehidupan. Ia mengambil ranting kecil lalu berjongkok.
Diputarkannya ranting seukuran lidi sepuluhan centimeter ke pusaran kecil. Pusaran cekung tanah halus tersebut menyerupai pusaran pasir hisap yang ada di gurun.
"Ndur-undur, metuo-metuo! Lak ora metu omahmu tak bong. Undur-undur, metuo-metuo! Lak ora metu ibumu njegur sumur."
(Ndur-undur, keluarlah-keluarlah! Kalau tidak keluar, rumahmu kubakar. Undur-undur, keluarlah-keluarlah! Kalau tidak keluar, ibumu masuk ke sumur.)
Begitulah bunyi mantra pemanggil undur-undur yang terlontar dari bibir Sanubari. Ia terus mengulang mantranya. Ia hanya ingin mengusir perasaan yang membuat hatinya tidak nyaman.
Seulas senyum terbit di wajahnya kala undur-undur mulai menampakkan badannya. Sanubari meletakkan rantingnya lalu menjimpit binatang kecil itu dengan jempol dan telunjuk.
Diletakkannya hewan abu-abu itu ke telapak tangan kiri. Undur-undur berjalan mundur di atas telapak tangan Sanubari, membuatnya geli merasakan pergerakan kaki-kaki mungil hewan tersebut. Berjalan mundur—mungkin itulah alasan makhluk hidup yang tergolong dalam family mirmeleon tidae ini dinamai undur-undur.
Dibandingkan dengan anak-anak pada zamannya, Sanubari memang lebih sering memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya untuk bermain. Terkesan kuno memang. Namun, hanya hal semacam itulah yang bisa ia lakukan untuk menghibur diri. Sendirian—tanpa seorang kawan pun yang menemani.
Tiba-tiba binnatang bertubuh sintal di tangan Sanubari membulatkan tubuhnya seperti trenggiling. Sanubari membelalakkan mata. Undur-undur menggelinding, terjun bebas ke tanah.
"Um!"
Sanubari tidak bisa berbicara. Mulutnya dibekap dari belakang. Tubuhnya dibopong ke mobil hitam yang sedang menunggu. Ia sama sekali tidak bisa melawan. Mobil hitam yang parkir di pinggir jalan pun meninggalkan tempat itu begitu Sanubari berhasil dibawa masuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 415 Episodes
Comments
wan byt
aneh alur ceritanya,,, dramatis boleh cuman jangan sampe wagu
anggota TNI yg spt itu tdk akan dikenakan sanksi,,, apalagi dipecat krn pasti ada pembelaan dr komandan
mosok anggota kalah dengan preman
ehm,,, dikurangi lebay nya
2021-10-09
1
GreaDDoel
bagus tor.. semangat
2021-10-04
1
Phoenix
tragiss...miriss...hadeeuuuhhh....
2021-09-28
0