Lomba makan kerupuk digantung dengan tangan terikat, balap karung dan egrang, sepak bola terong serta panjat pinang—semua itu masih awet menjadi pemanis hari istimewa yang hanya hadir setahun sekali. Para bapak bersorak riang. Semua barang berharga dipuncak batang berminyak dengan tinggi berkisar lima meteran telah berhasil diturunkan seluruhnya.
Dentuman musik dangdut remix yang diputar dengan pengeras suara menggetarkan kaca-kaca jendela. Musik dangdut murni yang awalnya menyajikan kemerduan bunyi gendang bertalu-talu kini bak musik disko. Seakan-akan jalanan siang beratapkan langit cerah berubah menjadi diskotek dengan matahari sebagai lampunya.
Semua orang bergoyang, berdendang menikmati euforia. Meskipun adapula orang yang terganggu dengan kebisingan itu, mereka tidak peduli. Pesta adalah pesta.
Lagipula ini adalah perayaan desa yang didukung oleh pemerintah kota. Tidak akan ada warga yang berani memprotesnya sekalipun mereka merasa terganggu. Perbedaan pendapat dan selera merupakan hal yang lazim. Pihak yang tidak setuju mau tidak mau harus menghargai kesepakatan mayoritas.
Apalagi ini adalah peringatan momentum berharga negara sekaligus bangsa, tidak seharusnya terjadi perdebatan. Hari ini adalah tanggal tujuh belas Agustus, hari kemerdekaan negara Indonesia. Konser Akbar diselenggarakan di area sekitar balai desa untuk memuliakan hari penting di masa lampau ini.
Penyanyi-penyanyi terkenal didatangkan untuk meramaikan acara. Undangannya pun tidak main-main. Pejabat penting daerah setempat turut hadir dalam pesta pora tersebut.
[Setelah ini akan ada penampilan spektakuler dari Ariana dan Gedang band. Jangan kemana-mana! Tetap ikuti sampai penghujung acara malam nanti! Selamat menikmati istirahat kalian, semuanya!]
Pengumuman dari pembawa acara itu menggema sampai radius ratusan meter. Beberapa orang masih bertahan di depan panggung. Mereka meneriakkan nama penyanyi dangdut yang sedang naik daun.
"Ariana. Ariana. Ariana!"
Para lelaki—tua/muda, beristri/lajang, duda/perjaka berbaur menjadi satu. Saat seperti itu, mereka tidak lagi memikirkan status masing-masing. Adapun ibu-ibu yang merasa kesal dengan kelakuan suaminya, pada akhirnya menarik sang Suami dengan menjewer telinga sambil menyeret paksa.
Posisi matahari telah sejajar dengan kepala manusia. Teriknya pun sudah bisa mendidihkan air. Namun, itu tidak menyurutkan semangat warga untuk mengikuti rangkaian acara.
Banyak orang hilir mudik menghampiri stand demi stand untuk membeli makanan/minuman, mainan, rokok dan lain-lain. Anak-anak berjingkrak-jingkrak dalam rumah balon, saling lempar bola plastik dalam kolam mandi bola. Semua orang sungguh tenggelam dalam kesenangan masing-masing.
Para penjaja makanan tidak mau kalah dengan musik pop yang bergema. Mereka memainkan instrumen tradisional yang telah menjadi andalan dari generasi ke generasi. Penjual cilok menekan pentolan karet terompet kecilnya sehingga menimbulkan bunyi tolit-tolit. Penjual es krim sesekali memukul gongnya hingga menciptakan bunyi tong-tong yang nyaring. Abang bakso mengetuk-ngetuk Kentongan bambu kecilnya hingga menciptakan bebunyian tik tok-tik tok. Pedagang es memainkan mangkuk dengan sendok membentuk bunyi dentingan yang merdu.
Para pedagang itu menciptakan konsernya sendiri untuk mengundang pelanggan, memperkaya khazanah melodi di hari ulang tahun negara. Di tengah ingar bingar tersebut, nampaknya ada dua orang berbadan tegap yang kurang puas dengan kepanitiaan acara. Di tengah lautan manusia, mereka bergosip tanpa berbisik.
"Pelit amat panitianya. Masak ngasih makan cuma sedikit? Mana bisa kenyang?"
"Padahal bisa mengundang artis dengan biaya puluhan juta. Tapi ngasih konsumsinya cuma nasi kucing."
"Emang nasib kita aja yang kurang beruntung kali."
"Andaikan saja ada yang jualan pecel porsi kuli."
Tanpa mereka sadari, seseorang sedang menyimak pembicaraan mereka. Penguping tersebut kemudian memegang salah satu tangan mereka. Lelaki yang dipegang tangannya pun menoleh. Rupanya pencuri dengar itu adalah seorang bocah cilik.
"Pak-pak, Bapak mencari warung pecel?" tanya bocah itu yang tidak lain adalah Sanubari.
Sanubari cukup fasih berbahasa Indonesia. Walaupun sehari-hari dia lebih sering berbicara dengan bahasa Jawa. Selama belajar di sekolah, para guru membiasakan murid-murid untuk menggunakan bahasa Indonesia ketika jam ajar berlangsung. Sehingga, hal tersebut bisa menjadi latihan pengucapan bagi para murid.
"Wah, kedengeran, ya? Jadi malu." Lelaki itu tersenyum.
Sanubari membalasnya dengan senyuman juga lalu berkata, "Saya tahu warung pecel dekat sini. Kalau Bapak mau, saya bisa mengantar kalian."
"Benarkah?"
"Um." Sanubari mengangguk. "Mari ikut saya!" lanjutnya.
Kedua lelaki itu pun mengikuti Sanubari. Mereka memasuki halaman orang, melewati kebun di sebelah rumah tersebut kemudian melompati pagar batako setinggi bahu Sanubari. Dari sana mereka berjalan lurus ke seberang jalan.
"Sudah sampai. Ini dia warungnya."
Sanubari menggiring mereka ke sebuah warung yang sangat sederhana. Hanya sepetak ruangan tidak berpintu dengan dinding kayu membentuk huruf u. Tempat duduknya pun lesehan. Papan-papan kayu dijajarkan kemudian digelari tikar. Sementara atapnya hanyalah terpal yang dilapisi dengan tumpukan anyaman pelepah daun kelapa.
"Monggo-monggo!" sambut Sanum yang duduk di belakang etalase makanan. "Dahar Ten mriki nopo dibungkus?" imbuhnya.
"Makan sini saja. Nasinya yang banyak, paket komplit," jawab salah satu lelaki yang langsung diladeni oleh Sanum.
Kedua lelaki tersebut memahami bahasa Jawa. Namun, mereka tidak bisa berbicara dengan bahasa Jawa.
Perkara mendengar dan memahami itu hal yang mudah. Lain halnya dengan berbicara. Semua butuh praktik supaya bisa. Begitulah bahasa.
Bisa menulis tetapi belum tentu bisa mengucapkannya. Bisa mengucapkannya tetapi belum tentu bisa menulisnya. Bisa memahami maknanya tetapi belum tentu bisa menerapkannya. Bahasa adalah sesuatu yang kompleks. Perlahan akan menghilang dari ingatan bila tidak pernah dipakai atau latih.
"Kok tidak jualan di depan panggung saja? Di sana 'kan ramai. Di belakang panggung begini mana orang tahu kalau ada yang jualan," tanya lelaki yang satunya.
Karena mereka terus menggunakan bahasa Indonesia, Sanum pun juga mengganti bahasanya supaya mereka lebih mudah memahami. "Saya tidak punya uang untuk menyewa tempat di sana, Pak. Bisa dapat tempat jualan di sini saja saya sudah sangat bersyukur."
"Loh, bukannya gratis biaya sewa, ya kalau mau jualan di sana?"
Sanum menggeleng. "Saya sudah mencoba meminta izin tetapi mereka meminta bayaran cukup tinggi. Boro-boro bayar sewa, modal jualan saja pas-pasan. Untungnya ada teman yang mau meminjamkan tempat ini tanpa beban biaya apa pun. Jadi, saya bisa berjualan di sini."
"Tapi yang saya dengar pedagang boleh berjualan di sana tanpa dibebani biaya sepeser pun."
"Entahlah, Pak. Saya tidak mau pusing-pusing memikirkannya. Toh itu bukan urusan saya. Yang penting saya bisa mengais rezeki untuk anak saya." Sanum menyerahkan pesanan yang telah selesai. "Silakan!"
Pria yang pertama kali memesan pun menerimanya. "Aku duduk duluan ya, Dan!"
"Oke, Tar!" Dana menoleh pada Taruna yang beranjak menuju meja lesehan.
Bapak mau makan di sini juga?"
"Iya, nasinya porsi jumbo, ya!"
"Siap, Pak!"
Sanum meletakkan tiga centong PEnuh nasi ke atas piring. Ditambahkannya tumis nangka muda lalu tiga jenis sayuran rebus—bayam, jipang dan kecambah disebelahnya. Disiramkannya kuah soto ke atas sayur rebus dan nasi sebelum menuangkan sambal pecel. Inilah yang membuat pecel Sanum semakin nikmat.
"Jadi, anak ini anak ibu, ya?" Lelaki itu menatap bocah penunjuk arah tadi yang kini telah duduk di sebelah Sanum.
"Iya." Sanum tersenyum.
"Wah, pintar juga mencarikan pelanggan untuk ibunya, ya. Bagus!" Dana mengacungkan kedua jempol nya kepada Sanubari. "Bantu terus orang tuamu, Nak!"
"Tentu, Pak. Saya tidak akan mengizinkan mamak susah payah bekerja jika nanti saya sudah mendapatkan pekerjaan beruang banyak," balas Sanubari.
"Maaf, mau pakai lauk apa, ya?"
"Tempe goreng dua sama perkedel dua saja."
Sanum menambahkan lauk yang disebutkan oleh Dana. Yang terakhir ia memberikan rempeyek udang impun. Tidak lupa irisan mentimun dibubuhkan sebagai pelengkap.
"Silakan!"
"Terimakasih."
Dana duduk di depan rekannya setelah makanan bak gunungan berada di tangan. Belum sempat Sanum duduk, dua orang lain kembali masuk ke warung.
"Monggo! Dahar mriki nopo dibungkus?"
(Silakan! Mau makan di sini atau dibungkus?)
Sanum masih setia menyambut Pelanggannya dengan senyuman. Begitulah prinsip seorang penjual. Harus banyak tersenyum dan ramah bila ingin pelanggan berdatangan serta betah. Kendati demikian, Sanum tidak pernah merasa terpaksa melakukannya. Segalanya dia lakukan dengan tulus.
"Pajak keamanan!" Salah satu lelaki mengulurkan tangannya.
"Hah?" Sanum merasa bingung dengan permintaan pria tersebut.
"Ndang bayaren pajak keamanan dodolan nang kene! Ojo nyuwe-nyuweni panggawehanku!"
(Cepat bayar pajak keamanan berjualan di sini! Jangan memperlama pekerjaanku!)
"Kulo mboten Nate mireng ...."
(Saya tidak pernah mendengar ....)
"Halah, pokoke Ndang bayaren lak ora gelem daganganmu tak rusak!"
(Halah, pokoknya cepat bayar kalau tidak ingin daganganmu kurusak!)
Pemalak itu tetap memaksa. Tidak peduli warung sedang sepi pelanggan atau tidak.
"Ngapunten, tapi Kulo dereng angsal yotro balas sak Niki."
(Maaf, tapi saya sama sekali belum mendapatkan uang sekarang.)
Sanum berkata jujur. Pelanggan pertamanya adalah Dana dan Taruna yang saat ini sedang makan.
"Alesan tok!"
(Alasan saja!)
Pemalak itu murka. Mereka mengobrak-abrik dagangan Sanum. Wakul digulingkan. Nasi pun tercecer di tanah. Piring-piring dijatuhkan. Bunyi pecahan pecah belah pun mewarnai alunan musik yang sedang berputar.
Sanubari geram melihat kelakuan dua pemalak itu. Ia mengambil sapu lidi lalu memukuli mereka.
"Ojo ngerusak dagangane mamakku!"
(Jangan merusak dagangan ibuku!)
"Bocah ita-itu!"
(Bocah macam-macam!)
Salah satu dari pemalak itu mencekik Sanubarri dan mengangkat tubuhnya. Sapu pun terjatuh dari tangan. Bocah itu memejamkan mata menahan sakit. Rasanya seperti ingin muntah kala kerongkongannya ditekan sangat kuat.
Berikutnya, pemalak itu melempar Sanubari. Kening kanan Sanubari membentur pojokan etalase. Etalase pun pecah menghantam tanah bersamaan dengan Sanubari yang terjatuh menimpanya.
"Sanu!"
Sanum menghampiri putranya. Ia mengelap darah yang terus mengalir dari kening Sanubari. Sanubari meringis kesakitan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 415 Episodes
Comments
wan byt
ngeribjuga jk masih ada kondisi preman spt itu
2021-10-09
1
ⷨㅤㅤ⠀⠀နզ⃠🦃⃝⃡ℱ 𝐧𝐨𝐯𝐢 𝐚𝐣𝐚
porsi jumbo
2021-09-09
1