"Ngapunten, Kulo mboten saged nyaguhi syarat puniko."
(Maaf, saya tidak bisa memenuhi syarat tersebut.)
Para pria bermuka garang menertawakan penolakan Sanum itu. Mereka riuh sendiri, merendahkan Sanum. Entah sejak kapan sebagian dari mereka mulai ikut mendengarkan perbincangan Sanum dan juru kunci.
"Mau njaluk digratisne. Mbasan dikeki gratis emoh. Piye ta?"
(Tadi minta digratiskan. Begitu diberi gratis malah tidak mau. Bagaimana sih?)
"Sanes mekaten., Tapi syaratipun mboten sepadan."
(Bukannya begitu. Tapi syaratnya tidak sepadan.)
Tidak ada orang waras yang mau mengorbankan yang masih hidup hanya untuk mayat. Penawaran tersebut sungguh terdengar konyol di telinga Sanum. Sebagai seorang anak, dirinya memang harus berbakti. Ia harus mengurus jenazah ayahnya dengan layak.
Namun, Sanum tahu bahwa sebuah jasad tidak lagi membutuhkan bakti duniawi. Melainkan lebih ke bakti surgawi. Bila ia tidak bisa mendapatkan bantuan untuk mengurus jenazah ayahnya, maka ia akan mengurusnya sendiri. Ia yakin itu tidak akan merubah statusnya menjadi anak durhaka. Keputusan hatinya sudah bulat.
Diam-diam Sukun menahan rasa dongkol karena gagal memengaruhi Sanum. Wanita itu adalah pelanggan pertama yang sulit ditaklukkan.
Sukun membuAng puntung rokoknya lalu pindah duduk ke sebelah Sanubari. Ia memiting Sanubari dan mendongakkan kepala bocah itu.
"Opo gunane duwe anak setan tapi ora iso ngasilne?"
(Apa gunanya punya anak setan tapi tidak menghasilkan?)
Sukun menatap mata anak itu dengan tajam. Jempol dan jari-jemarinya mencekal pipi Sanu bari dengan kuat. Bocah itu pun kesakitan.
"Anakku duduk anak setan. Culno!"
(Anakku bukan anak setan. Lepaskan!)
Sanum menanggalkan bahasa sopannya. Ia merasa tidak perlu menghormati orang yang berusaha menyakiti putranya itu. Sanum berusaha melepaskan lengan lelaki yang mengapit leher Sanubari. Namun, tenaga Sukun terlalu kuat untuk Sanum.
Merasa tidak tahan, Sanubari pun menginjak kaki Sukun sekuat tenaga. Sanubari berharap tindakan itu bisa membebaskannya dari dekapan Sukun.
"ARGH!" teriak Sukun yang spontan mendorong Sanubari.
"Aw." Sanubari yang menabrak ibunya pun memegangi pipi. Pipinya terasa perih akibat goresan kuku Sukun. Darah segar keluar dari lukanya.
"Dasar bocah kurang ajar!" seru Sukun yang hendak memukul Sanubari.
Namun, gerakannya terhenti tatkala seluruh orang dalam ruangan dengan serempak berkata, "Selamat datang, Ketua Jin!"
Semua orang kecuali Rudy, Sanum, Sanubari dan Sukun berlutut memberi hormat. Mereka menunduk tanpa berani mengangkat kepala sebelum dipersilakan.
Sementara itu, Sukun yang tadinya sok berkuasa mendadak menjadi seperti seekor tikus yang dicengkeram kucing. Ia tidak lagi menghiraukan rombongan Sanum. Sosok yang baru saja memasuki ruangan kini menyita penuh perhatiannya.
"Ketua Jin? Ada apa gerangan Anda mengunjungi pondok sederhana kami?"
Mendadak Sukun beralih dari bahasa Jawa ke Indonesia. Dengan panik ia berdiri. Pikirannya dipenuhi dengan ketakutan. Ia paham betul bahwa dirinya akan berada dalam masalah bila ketua berjabatan tinggi seperti Jin menemui mafia kuburan kecil selevel preman kampung seperti kelompok yang dibawahinya.
Sanubari masih tidak mengerti mengapa suasana mendadak tenang. Rudy berbisik kepada Sanum untuk mengajaknya pergi memanfaatkan kesempatan itu. Sanum pun meneruskan pesan itu kepada Sanubari.
Sanum dan Rudy berlari keluar dengan menunduk. Tidak ada orang-orang Sukun yang mengejar mereka sebab bawahannya itu masih diam berlutut bak patung. Tiga orang yang baru hadir pun membiarkan mereka lewat karena tidak punya urusan dengan mereka.
Sanubari yang berada di paling belakang tanpa sengaja menabrak salah satu pria berjaket hitam yang sedang berdiri. Ia terlalu sibuk mengamati kondisi sekitar sampai tidak terlalu memperhatikan langkahnya.
"Maaf," ucap Sanubari lalu menyusul ibunya.
Mata lelaki yang ditabrak Sanubari itu terus mengikuti arah kepergiannya. Hingga akhirnya dia pun membuka mulut yang sedari tadi terkunci rapat.
"Siapa anak itu?"
"Untuk apa mengurusi anak itu? Biarlah mereka pergi. Anak itu hanya anak yang terkenal sebagai anak jin di desa ini. Bisa-bisa kita ketiban sial kalau berlama-lama bersamanya," jelas Sukun dengan tersenyum grogi.
"Anak jin?" Jin menatap tajam kepada Sukun.
Sukun yang merasakan tekanan dari tatapan itu langsung meluruskan keambiguan frasanya. "Maksud saya anak makhluk gaib yang disebut dengan jin. Bukan anak Anda-Ketua Jin. Dia lahir tanpa ayah. Warna iris matanya juga tidak seperti warga lokal sehingga para penduduk menduganya sebagai titisan dedemit."
Dengan dingin Jin menanggapi, "Aku tidak percaya hal-hal mistis seperti itu."
"Daripada hanya berdiri, kenapa kita tidak berbincang sambil ngopi santai saja? Mari-mari silakan Ketua Jin!" Sukun mengacungkan tangan ke kursi kosong yang sebelumnya ditempati Sanum.
"Kalian berdirilah! Kembalilah ke kegiatan masing-masing! Kalian boleh tetap di ruangan ini tetapi jangan ramai!"
Jin melepaskan dua tas pedang yang tersandang di bahunya. Tas hitam berisi jian (pedang bermata ganda). Sementara tas berwarna biru Dongker berisi katana (pedang bermata satu). Diserahkannya senjata itu kepada kedua anak buah yang menyertainya lalu duduk.
"Hey Botak, ambilkan camilan dan buatkan minuman untuk ketua Jin!" perintah Sukun.
Si Botak mengajak rekannya untuk melaksanakan titah Sukun. Sementara Sukun berusaha beramah-tamah dengan Jin. Namun, usaha Sukun itu sama sekali tidak ditanggapi oleh Jin. Tanpa basa-basi, Jin langsung menyinggung kesalahan Sukun.
"Aku dengar kau menaikkan harga tanah kuburan tetapi mengurangi setoran ke atas."
"Itu ...."
Syaraf-syaraf Sukun semakin menegang. Ia tidak bisa mengelak. Berbohong sama saja dengan bunuh diri. Berterus terang pun tidak bisa memberikan pengampunan dengan mudah. Posisinya serba salah.
"Kau pikir seorang koruptor dalam organisasi sendiri bisa diterima di dunia bawah? Kegelapan dunia bawah tetap tidak akan bisa menyembunyikan kesalahanmu. Jiwa-jiwa kotor sepertimu harus diberantas. Katakan! Kau ingin disucikan dengan cara ditusuk atau ditebas?"
Ancaman tersebut membuat Sukun berkeringat dingin. Wajahnya seketika pucat pasi. Dengan tubuh bergetar, Sukun bersujud di atas meja.
"Ampuni saya, Ketua! Saya berjanji akan memberikan semua kekurangannya dan tidak akan mengulangi," mohon Sukun.
"Ini kali ke tiga aku memperingatimu secara langsung. Keputusan dari pusat sudah final." Jin berdiri. Ia ulurkan tangan kiri kepada anak buahnya lalu lanjut berkata, "Bas!"
Anak buahnya yang bernama Bas mengeluarkan sebilah pedang dari tas pedang hitam. Diserahkannya pedang tersebut kepada Jin.
Lelaki yang lebih muda dari Sukun itu menarik pedang dari sarungnya. Sukun berniat untuk kabur ketika mendengar bunyi pedang dicabut. Namun terlambat. Pedang dengan dua sisi tajam telah terlebih dahulu membelah tulang dan jantungnya sebelum sempat bereaksi.
Jin mencabut pedang dan memberikannya kembali pada Bas. "Bersihkan!" titahnya datar lalu berpesan kepada anak buah Sukun.
"Kalian, kuburkanlah mayat ketua kalian ini!" Ia menunjuk jasad Sukun yang dalam posisi sujud sambil memandangi gerombolan pria yang berkumpul di area meja karambol. "Kalian boleh meminta tarif semahal-mahalnya dari keluarganya dan bisa kalian bagi rata tanpa perlu memotong untuk setoran. Hanya kali ini saja izin ini diberikan. Manfaatkanlah!" lanjutnya tersenyum sok ramah.
Di saat yang bersamaan, Bas mengeluarkan tisu dari balik jaket hitamnya. Ia duduk bersila mengelap pedang. Kemudian mengambil botol kecil dari saku lain. Disemprotkannya cairan dari botol tersebut ke bilah pedang hingga basah. Setelah itu, dielapnya sekali lagi bilah dengan tisu. Begitu selesai, barulah pedang dimasukkan kembali ke sarungnya.
"Hey, kau!" Jin menunjjuk ke kerumunan. "Siapa pun salah satu dari kalian apakah ada yang tahu tentang anak bermata hijau tadi?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 415 Episodes
Comments
Phoenix
karma nya di bayar kontan hehee..
2021-09-28
0
ⷨㅤㅤ⠀⠀နզ⃠🦃⃝⃡ℱ 𝐧𝐨𝐯𝐢 𝐚𝐣𝐚
bwahahahaha 🤣🤣🤣 dasar para preman cap cip cup kembang kuncup🤣🤣
2021-09-06
5