Lima hari setelahnya, suasana dalam kereta kuda yang dinaiki dua orang beda lawan jenis itu lumayan canggung. Masing - masing dari mereka hanya menatap keluar jendela yang pemandangannya hanya diisi oleh kegelapan.
Aku lebih suka pergi bersama pak tua itu. Pasti tidak akan secanggung ini, karena beberapa alasan aku juga tak bisa membawa Avrim. Sial sekali nasibku!
"Aku tahu kau menggerutu dalam hati." Ucap Hendrick yang wajahnya dihalangi oleh buku.
Clara hanya mendengus mendengarnya.
Sebenarnya Clara malam ini tampil sangat cantik dan sempurna, hanya saja sikap uniknya melukai jati dirinya sebagai perempuan.
Gaun berwarna biru dongker dihiasi renda putih. Ada corak bunga krisan di sekitar dada dan pinggangnya, itu membuat kesan anggun.
Warna gaun Clara dipilih Avrim, Avrim bilang gaunnya membuat Clara jadi lebih 'terlihat'. Mungkin perkataan Avrim dilandasi kenyataan kulit Clara yang pucat. Kalau putih akan jadi kurang warna, jadi inilah hasil kerja keras Avrim.
Bibirku berminyak sekali, aku yakin sudah membersihkan hasil polesan lipstik Avrim. Ternyata rasa lipstik zaman dulu benar - benar tidak enak!
Tidak, tunggu dulu. Apa aku pernah menggunakan make up sebelum terlempar ke sini?
Karena Clara memasang wajah berpikir yang amat serius. Itu mencuri perhatian Hendrick, dia sudah lelah dengan banyaknya kelakuan di luar nalar makhluk tak jelas di hadapannya ini.
Hendrick sudah pasti angkat tangan.
"Jangan terlalu banyak berpikir. Wajahmu saat ini sangatlah jelek, kau mau lihat? Aku bisa memberimu cermin."
Dia ini sangat suka menyulut emosi, ya? Mungkin karena dia keturunan murni Duke tua itu, maka jadinya begini. Bahkan tanpa bertanya sekalipun, orang - orang akan tahu jika mereka punya hubungan darah.
"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Bisik Clara.
Namun jarak di antara mereka sejak awal memang tidak jauh sehingga Hendrick mendengar semua itu secara jelas. Dia tahu bagian mana yang mirip dari apa yang Clara pikirkan.
Itu sudah pasti kemampuan membuat emosi orang, sebenarnya itu tidak patut dibanggakan.
Karena Hendrick tak mau menciptakan adu mulut lainnya, dia memutuskan mengalah dan tetap diam hingga mereka sampai.
Setelah perjalanan panjang yang begitu lama dan sangat sunyi seperti berjalan di makam. Akhirnya istana sudah ada di depan mata.
"Ingat skenarionya." Bisik Clara pada Hendrick.
"Aku tahu."
Tangan Clara yang dibalut sarung tangan putih mengambil sebuah kain tipis yang senada dengan warna gaunnya. Clara memakainya sebagai cadar untuk menutupi wajahnya.
Karena Duke mengatakan bahwa rupaku tidak ada yang boleh melihatnya, namun aku juga tetap harus melindungi si menyebalkan ini. Hanya cara ini yang bisa kupikirkan.
"Jika saya tersesat atau malah menarik tangan pria lain. Maka saya akan segera melaporkan hal ini pada Duke Wayne atas ketidakadaannya tanggung jawab dari anda." Sahut Clara dari balik cadarnya, Hendrick mendengus.
"Memangnya kau tidak bisa melihat dari dalam sana?"
"Bisa. Hanya saja itu buram dan saya tidak yakin mampu melihat dalam jarak yang sama seperti tanpa memakai cadar."
Hendrick hanya berdecak mendengarnya.
...****...
Buset! Itu istana atau rumah segede kota? Ckck! Tidak kusangka aku yang gembel ini bisa masuk ke dalam sana. Mungkin aku harus berterima kasih pada siapa saja yang melemparku ke novel ini.
"Kau mau turun atau kutinggalkan?"
Clara yang sedang mengagumi keindahan Istana menghentikan aktivitasnya karena suara ketus di dekatnya.
"Iya - iya. Saya turun-?"
Clara menatap heran pada Hendrick yang sudah mengulurkan tangannya untuk membantu Clara turun. Ini cukup langka, tidak biasanya Hendrick menjadi baik hati(?).
"Ingin kubantu atau kutarik kau dengan kasar?" Lagi - lagi hanya ada suara ketus. Clara jadi jengah sendiri karena manusia tak berhati yang satu ini.
Dengan amat sangat terpaksa, Clara mengambil uluran tangan itu dan turun layaknya bangsawan.
Hehe... untung aku ini sangat pandai mengingat sesuatu. Aku bisa tahu gaya seorang gadis dari novel - novel yang kubaca, tentu saja. Panggil aku master novel! Muehehehehe.
Bersiaplah, Nona sandiwara datang!
Hendrick menautkan alisnya melihat sikap Clara yang berubah drastis. Dia berpikir kalau gadis ini daripada menjadi hantu di kediamannya lebih baik dihempas saja ke perkumpulan teater.
Namun sesuatu yang ia lihat membuat alisnya bersatu. Karena cadar Clara hanya menutupi sampai bawah hidungnya. Hendrick masih bisa melihat bibir Clara yang sedang tertawa tak jelas.
"Hah... Seharusnya aku tahu ini akan terjadi." Gumam Hendrick. Dia sudah lelah bahkan sebelum sandiwara dimulai.
Karena jarak pandang Clara yang menurun, dia digandeng oleh Hendrick layaknya mereka ialah pasangan. Clara yang terus saja menunduk membuat Hendrick semakin menatap Clara ajaib.
"Mengapa pandanganmu terus ke bawah?"
"Saya hanya tak mau gaun yang panjang ini membuat saya terpeleset. Nanti saya malah malu sendiri karena jatuh secara tak elit."
"Terserah kau saja."
Saat mereka berdua masuk ke aula, semua orang menatap mereka berdua penasaran. Tapi yah, Hendrick tidak mau meladeni kata - kata tak berguna mereka.
Lalu dia melirik Clara yang sibuk menunduk karena takut terjatuh tak elit katanya. Setidaknya Clara mempunyai cadar itu sebagai peredam suara.
"Hei, siapa yang bersama dengan Duke Muda?"
"Jangan - jangan gadis disebelahnya adalah calon pengantinnya."
"Mengapa dia memakai cadar? Apa wajahnya jelek?"
"Benarkah? Waduh... aku patah hati kalau itu faktanya."
"Pasangan wanita? Bukankah Duke Muda mencintai sesama jenis?"
Komentar terakhir membuat Hendrick berkedut kesal. Clara disampingnya, walau menunduk, tapi Hendrick bisa tahu jika gadis itu sedang menahan tawanya. Tubuh Clara bergetar hebat karena tawa yang tertahankan.
"Kalau mau tertawa, tertawa saja." Kata Hendrick acuh.
Clara menutup mulutnya dengan anggun. "Saya tidak berani Tuan Duke Muda."
Hendrick menginjak kaki Clara dengan sengaja. Untung gaun Clara lebar sehingga kelakuannya bisa tertutupi dengan baik.
"Aduh...!" Clara hanya bisa menahan rasa sakitnya karena tak lucu jika dia berguling - guling di aula karena kesakitan.
Hendrick tersenyum mengejek melihatnya.
Clara ingin membalasnya, tapi yang dia injak hanya lantai kosong. Karena tak kena target, Clara menatap kesal Hendrick. Hendrick yang punya tinggi badan jauh diatasnya, membuat dendam Clara semakin besar.
Untung saja mereka berada di dekat dinding aula, sehingga tak banyak yang sadar apa yang mereka lakukan.
Kelakuan mereka hanya disadari oleh dua orang. Duke Wayne melihat pemandangan antik itu dengan datar.
"Mengapa anakku jadi lebih banyak bergerak? Lebih penting lagi, apa yang mereka lakukan?" Lirihnya.
Di sisi lain, perang saling menginjaki kaki jadi lebih intens. Beberapa kali Clara hampir jatuh kalau tubuhnya tak ditahan oleh Hendrick.
"Tidak biasanya anda datang berdua, bahkan bersama seorang wanita pula." Suara lembut dari pria tampan yang menghampiri mereka.
Perang kaki berhenti mendadak, dan posisi Clara sangat tidak menguntungkan. Sebab di balik cadar besar dan panjang miliknya, ada sesuatu yang melingkari pinggangnya, dan itu adalah tangan Hendrick.
Dia pasti mulai memegangnya saat aku hampir terjatuh, dia melakukannya untuk menahanku atau ada udang di balik batu?
Saat seseorang datang, Hendrick melepaskan pegangannya dan memberi hormat seseorang itu.
"Salam sejahtera untuk Pangeran Mahkota Ranunculus."
"Salam sejahtera untuk Pangeran Mahkota Ranunculus."
Clara pun mengikutinya walau dengan gaya gadis bukannya pria. Namun, setelah itu Clara malah sibuk sendiri dengan pakaiannya yang berantakan atau tidak setelah adegan meraba - raba itu.
Pangeran Mahkota, Rovers Artlenzt melihat keangkuhan Clara sambil tersenyum. Padahal kalau cadarnya dibuka, bukan wajah angkuh yang ia dapatkan melainkan wajah konyol.
"Apakah gadis ini akan menjadi calon Anda, Duke Muda?" Tanya Rovers, masih dengan senyum ganjilnya.
Clara yang melihatnya nyaris ingin memberikan tinju pada Rovers seperti yang para pegulat lakukan pada lawannya. Sayangnya itu hanya bisa terpenuhi dalam imajinasi belaka miliknya.
Abaikan tentang kekaguman sesaatnya pada Rovers melihat rupa pria ini yang diberkahi banyak anugerah. Tuhan pasti memberikannya kasih sayang tak terhingga. Namun Clara nampak muak setelah pria tertampan di Benua Herbras ini angkat suara.
Hendrick menggeleng pelan. "Bukan, Yang Mulia. Saya bersamanya karena gadis ini 'buta', dia tidak bisa melihat jalan dengan benar."
Clara mendadak ingin menyumpal cabai sebanyak mungkin ke dalam mulut Hendrick. Memang benar tentang ia tak bisa melihat jalan dengan benar. Tapi, buta? Rasanya memang pria ini pandai menyulut emosi lawan bicaranya.
Rovers melirik pada Clara yang asyik menunduk. "Apa dia memakai cadar untuk menutupi mata butanya?"
"Anda bisa menganggapnya begitu."
Jawaban Hendrick malah membuat Rovers semakin heran sekaligus penasaran. Bukankah aneh kalau gadis ini tak buta tetapi memakai cadar. Jadi, apa alasannya? Rovers membatin.
"Namun, kau begitu alergi kalau didekati wanita. Sekarang kau datang dengan bergandengan tangan bersama wanita ini. Bukankah hubungan kalian sudah cukup untuk disebut spesial?"
"Anda boleh berpikir sesuka hati tentang saya dan gadis ini. Namun saya takkan begitu banyak bicara tentangnya."
Mengapa wajahnya seperti lantai mahal? Menyebalkan sekali harus melihat wajahnya semalaman ini.
"Kalau begitu, apakah sku boleh meminangnya menjadi istriku?" Tanya Rovers dengan senyum berkembang di wajahnya.
"....!"
TBC
Jangan lupa like dan komen ^-^
So, see you in the next chapter~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Yuli Yanti
ada typo di dpn harusnya saya
2022-10-27
1
senja
jadi cadarnya kayak pendekar? yg nutup mata smpe hidung?
2022-01-18
1
MALES NGETIK
Khakhakha
2021-12-31
3