Pengacara Cintaku
Maylani Iffana Azra Hutabarat, seorang sarjana hukum yang bercita-cita untuk menjadi advokat, atau bahasa umumnya pengacara. Kedua orangtuanya sempat menentang keinginan sang putri bungsu. Mereka lebih senang kalau Lani mengikuti jejak mereka menjadi Pegawai Negeri Sipil. Namun, sejak duduk di bangku SMA Lani memang sudah bercita-cita untuk menjadi seorang advokat. Itu sebabnya, ketika lulus SMA, Lani memilih fakultas hukum untuk menimba ilmu. Setelah berhasil meraih gelar sarjana hukum, ia mengikuti pendidikan profesi advokat. Perjuangan Lani belum sampai disitu saja, ia juga harus ikut ujian advokat. Alhamdulillah, Lani dinyatakan lulus, dan itu artinya ia harus melaksanakan magang di kantor advokat. Setelah melalui musyawarah yang alot dengan kedua orangtuanya, Lani diizinkan untuk magang di ibu kota Jakarta. Meski dengan berat hati, namun kedua orangtuanya tidak ingin mematahkan samangat Lani yang begitu menggebu-gebu.
Selama sepekan ini ia sangat sibuk mempersiapkan keberangkatannya ke Jakarta. Lani mengepak pakaian, buku-buku dan barang-barang yang akan dibawanya. Ia juga sudah mengontak sahabatnya-Latifah-yang saat ini bekerja di sebuah instansi pemerintah di Jakarta, agar menjemputnya di bandara. Latifah menyanggupi dengan senang hati. Kedatangan Lani memang sangat diharapkannya.
Sebagai seorang Ibu, Mama sangat khawatir untuk melepas putrinya, karena itu beliau ngotot untuk ikut mengantar Lani ke Jakarta. Lani ingat, dulu waktu kuliah di Padang, Mama juga begitu. Sebenarnya Lani ingin Papa ikut, tapi Papa tidak mau meninggalkan kebun kelapa sawitnya.
“ Ada sedikit masalah Lani, dan Papa harus menyelesaikannya. “ kata Papa penuh wibawa. Yah, sejak pensiun dari kantor kecamatan, Papa memang kelihatan lebih serius mengelola kebun sawitnya ketimbang dulu sewaktu masih aktif jadi PNS.
"Masalah apaan sih Pa? “
“Kamu tahu apa soal sawit? Papa jelasin juga nggak bakal ngerti. Kamu kan tahunya KUHP, undang-undang ini, undang-undang itu. “
“Ah, Papa bisa aja deh. Lani kan sering juga ikut ke kebun sawit. “
“ Ikut kan cuma jadi sopir Papa aja. Sesampainya disana kamu malah asyik ngelamun dibawah pohon sawit atau kalau nggak kamu baca buku. “
Lani terkekeh.
“Kalau kamu pergi, siapa lagi ya yang jadi sopir Papa. “ kata Papa lirih.
Lani tertegun. Iya benar, mata Papa kan sekarang kurang awas, kaki Papa juga sering sakit – akibat penyakit asam urat yang beliau derita – makanya nggak mau bawa mobil atau sepeda motor sendiri. Lani lah yang selalu setia mengantarkan Papa, bahkan tidak malu untuk memboncengnya naik motor, satu hal yang masih aneh dalam pandangan orang-orang di kampungnya.
Dulu Lani pernah bercanda,
“Ntar menantu yang bakal nyetir atau boncengin Papa. “
“Papa kan udah punya menantu, tuh si Alif. “
“Kan jauh Pa…”
“Maksudnya suami kamu? “
Lani tertawa, memamerkan lesung pipinya.
“Ah, paling-paling bakalan jauh juga. “
Tak sadar air mata Lani meleleh. Sedih juga akan meninggalkan Papa. Dia pasti kangen.
“Kenapa nangis? “ Tanya Papa, padahal beliau sendiri berusaha menahan air mata yang sejak tadi mengambang, sikap yang sama juga pernah beliau tunjukkan saat akan melepas Lia.
Lani membuang muka sambil buru-buru menghapus air matanya.
“Ih, siapa yang nangis?“
Papa mengacak rambut putrinya itu.
“Oh, ya Pa, sore ini kita jalan-jalan yuk. “
“Naik mobil? “
“ Nggak, naik motor aja. Lani boncengin Papa. “
“Boleh. “
Lani tersenyum.
Burju-burju ma ho, na marsikkola i
Asa dapot ho nasinitta ni roha mi
Molo matua sogot au, ho do manarihon au
Molo matinggang au inang
Ho do na manogu-nogu au
(Boru Panggoaran-Charles Simbolon)
Sebuah lagu batak disenandungkan Papa. Lagu ini adalah lagu yang selalu melekat di hati Lani. Lagu yang menceritakan harapan seorang ayah agar putrinya sukses dan bisa menemaninya di hari tua. Lani mengusap air matanya yang mulai turun ke pipi
@@@
Perpisahan itu semakin dekat. Lani termangu memandangi kamarnya; tempat tidur, lemari, meja belajar, rak buku yang biasanya sangat penuh sekarang hampir kosong karena isinya telah berpindah ke kardus, komputernya yang selama ini menjadi sarana pencari nafkahnya – Lani memutuskan hanya akan membawa laptop –yang pasti tidak akan ada lagi yang menyentuhnya, topi wisuda dan medali yang tergantung, beberapa piala yang berhasil dia raih dari perlombaan menulis cerita fiksi dan karya tulis, majalah dindingnya dan semua yang ada dikamar itu membuat dada Lani sesak.
Lani keluar dari kamar…
Dipandanginya setiap sudut rumah hijaunya; dapur yang selalu menjadi tempatnya bereksperimen dengan resep-resep yang dia ciptakan sendiri. Lani ingat saat bulan Ramadhan, tiap hari Lani membuat puding dengan bentuk dan rasa yang berbeda-beda hasil kreasinya sendiri dan membuat Papa ketagihan, tak jarang juga gagal dan membuat seisi rumah tertawa, ruang makan tempat mereka sekeluarga saling menumpahkan isi hati saat makan, tempat Papa memberikan petuah-petuahnya, tempat Mama ngomel-ngomel karena Kak Lia yang malas makan malam, Lani yang selalu minum air es nggak kenal waktu mau pagi, siang, malam bahkan tengah malam. Lani melirik TV yang lebih sering menyala tetapi tidak ada yang menonton – kebiasaan buruk Lani; menyalakan TV, berbaring dengan karpet kecil dan bantal guling bersarung mobil balap Formula 1, lalu bersiap untuk membaca, bukan menonton siarannya – diatas TV itu adalah tempat paling nyaman buat Yoyo, kucing keluarga Lani yang imut dan pintar karena mengerti jika namanya dipanggil dan suka menemani Mama kalau sedang bekerja. Semua itu menambah perih di hati Lani. Dan…motornya, kendaraan yang selalu setia menemaninya pergi. Lani memang lebih suka naik motor ketimbang naik mobil, katanya lebih asyik, bisa nyalip dan ngebut yang selalu bikin Mama menjerit kalau sedang dibonceng olehnya.
Lani beralih ke halaman belakang…
Tempatnya menjemur pakaian, bermain bulu tangkis bersama Papa, tempatnya latihan karate sendiri, main basket sendiri dan tempatnya melamun yang diartikannya sebagai sarana pencarian inspirasi. Ah, ternyata seluruh sudut rumah ini memberikannya kenangan yang sangat berarti. Duh, Lani…kayak nggak bakalan pulang aja, bisik hatinya. Kamu kan bisa pulang kalau lebaran atau bisa ambil cuti.
Lani memejamkan mata.
Dan besok…adalah hari terakhirnya ikut pengajian kelompok, ia pasti akan merindukan teman-temannya; Adelia, Hasanah, Safitri, Andina, Wanti, dan Mbak Kartika yang kalem juga murah senyum. Lani yang selalu meramaikan suasana karena dia memang periang. Lani yakin, besok dia pasti tidak bisa menahan air matanya.
Lusa, dia dan Mama akan berangkat ke Medan dan selanjutnya akan bertolak dengan pesawat menuju kota Jakarta, kota yang masih asing bagi Lani dan entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk kesana, yang jelas ia melihat mimpinya disana. Lani menghembuskan nafasnya ke udara. Kesedihan ini juga dirasakannya ketika akan meninggalkan Padang dengan segala aktivitas, ukhuwah dan cinta yang pernah terukir disana. Lani memang orang yang mudah terharu dan sulit melupakan hal-hal yang pernah lekat dengannya.
@@@
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Serenarara
Marga check! Bisa lah itu jadi advokat, udah cocok. Paten kali! /Joyful/
2025-02-26
0
Abu Yub
aku mampir thor/Pray/
2025-03-27
0