Andre sangat sibuk dengan kasus yang ditanganinya. Jarang sekali dia berada di kantor. Sesekali ia mengajak Lani berdiskusi tentang informasi yang didapatkannya, bertiga dengan Mardin. Andre sudah berhasil mendapatkan keterangan dari tukang kebun dan sopir keluarga Wijaya juga dari Ketua RT, tetangga bahkan beberapa orang pembantu rumah tangga sekitar komplek perumahan itu.
“Jadi, menurut sopirnya, Nyonya Amalia pernah selingkuh? “ tanya Lani.
Andre mengangguk.
“Beberapa kali dia pernah mengantarkan Nyonya Amalia bertemu laki-laki itu. “
“Mungkin saja temannya, Mas.“
Andre menggeleng. “Mereka sangat mesra, tidak seperti teman biasa.“
“Tuan Wijaya tahu?“
“Menurut Pak Samin, Tuan Wijaya tidak tahu. “
“Mungkin saja dia sudah tahu. “ ujar Mardin.
“Mungkin. “ gumam Andre.
“Lalu, dia dendam dan menghabisi nyawa istrinya itu.“ lanjut Mardin.
Mereka bertiga terdiam.
“Tapi, kata Bu Niar mereka tidak pernah bertengkar.“ kata Lani.
“Didepan Bu Niar mungkin iya, tapi di belakangnya? “
“Terus, informasi apa lagi yang Mas Andre dapatkan? “
“Menurut Pak RT dan para tetangga, keluarga Wijaya jarang sekali bergaul dengan mereka. Keluarga itu sangat sibuk, sehingga interaksinya dengan masyarakat sekitar sangat sedikit. Tentang Bu Niar, semua orang mengatakan kalau beliau sangat baik. Tidak ada catatan hitam tentang beliau di mata mereka. “
Lani menghela nafas lega, setidaknya bukan hanya dia yang berpikiran demikian, jadi dia percaya bukan karena Bu Niar menangis-nangis dihadapannya.
“Informasi dari tukang kebun apa?“ tanya Mardin.
“Nah, itu dia, aku belum berhasil bertemu dengannya. Waktu aku kesana, Pak Samin bilang, sudah dua minggu dia
tidak masuk, tapi tidak tahu alasannya apa. “
“Kau nggak nanya alamat rumahnya?“
“Sudah, dan rencananya besok aku kesana.“
“Kapan sidangnya, Mas?“ tanya Lani.
“Dua hari lagi.“
Wanita itu tampak lebih segar dibandingkan saat pertama kali bertemu dengannya. Lani menanyakan kabarnya, wanita itu menjawab sambil tersenyum.
“Ini, saya bawakan Ibu makanan. “ Lani mengeluarkan sebungkus sate Padang dari dalam tasnya, tadi dia sengaja mampir untuk membeli itu.
“Terima kasih, Mbak.“
“Ibu tampaknya sudah lebih tegar sekarang. “ kata Andre.
“Alhamdulillah. Saya menyerahkan semuanya pada Allah. Saya sudah tidak takut lagi, saya yakin Allah
akan tunjukkan kebenaran itu.“
“Saya senang mendengarnya, Bu.“ kata Lani haru.
“Oh, ya, Pak Pengacara sama Mbak ini suami istri ya? “
Andre dan Lani berpandangan. Kaget.
“Kok, Ibu berpikiran begitu?“
“Soalnya sangat serasi. Malahan mirip. “
Andre tertawa. “Tapi sayangnya bukan, Bu. “
Lani menatap Andre. Sayangnya? Kenapa dia bilang sayangnya? Apakah dia mengharapkan ucapan Bu Niar benar? Ada geletar aneh di sudut hati Lani, tapi berusaha ditepisnya segera.
“Saya kan sudah pernah memperkenalkan, Lani ini asisten saya. Masa Ibu lupa, sih? “
“Saya ndak lupa, tapi bisa saja kan istri jadi asisten. “
Andre tertawa lagi. “ Saya belum menikah, Bu. Ibu doain, dong biar saya segera dapat jodoh. “kelakar
Andre.
“Insya Allah. Tapi, kenapa nggak sama Mbak Lani ini aja. “
Andre melirik Lani sekilas. Lani tampak sedikit gugup dengan ucapan Bu Niar.
“Ah, Ibu bisa aja. Ternyata Ibu suka bercanda juga.” kata Lani. “Oh, ya, anak Ibu pasti sudah menikah semua ya. “ Lani mengalihkan pembicaraan.
Mata wanita itu menerawang. “Anak saya satu, Mbak. Tapi ndak tahu dia sekarang dimana. Waktu umur 18 tahun, dia pamit mau merantau ke Jakarta. Bertahun-tahun dia ndak pulang, beberapa kali pernah berkirim surat dan uang. Setelah itu nggak pernah lagi. Sebenarnya saya datang ke Jakarta mau mencari anak saya, tapi ndak ketemu, waktu saya cari ke alamatnya, mereka bilang Bagus sudah pindah. Saya hidup terlunta-lunta, sampai akhirnya bertemu Ibunya Nyonya Amalia dan menawarkan saya untuk bekerja di tempat putrinya. Sejak itu lah saya jadi pembantu. “ ada air mata yang mengambang di pelupuk mata tuanya.
Tak terasa air mata Lani menetes.
“Suami saya meninggal saat Bagus masih kecil. “lanjut Bu Niar.“ Saya sangat kangen sama anak saya, sangat ingin ketemu.“ Air mata menetes di pipinya yang sudah keriput.
“Kalau Allah mengizinkan, pasti bakalan ketemu, Bu. “ Lani mengusap-usap tangan Bu Niar. Bu Niar berusaha
tersenyum.
“Sekarang, biar kangen Ibu sedikit terobati anggap aja saya dan Lani sebagai anak Ibu. Ibu jangan panggil
saya bapak lagi, panggil aja Andre. “
“Terima kasih. “ucap Bu Niar tulus.
“Dua hari lagi kita akan bersidang, Bu. Sebelumnya saya ingin menanyakan beberapa hal.“ Andre
memperbaiki posisi duduknya. “Apa Ibu pernah bertengkar dengan Nyonya Amalia?“
Wajah Bu Niar berubah menjadi muram. “Nyonya memang sering memarahi saya, tapi sebenarnya beliau baik
dan perhatian sama saya. Marahnya Nyonya karena kelalaian saya juga atau barangkali ia sedang banyak pikiran. “ Bu Niar menarik nafas panjang.
“Apa Nyonya Amalia pernah bertindak sangat kasar pada Ibu? “
Bu Niar menggeleng. “Kalau sering, mungkin saya sudah cepat berhenti dari sana. “
“Menurut informasi yang sayadengar, Nyonya Amalia pernah membakar kebaya Ibu ya? “ tanya Andre hati-hati.
“Ah, itu. Saat itu Nyonya marah besar sama saya, karena saya sudah membuat bajunya rusak, padahal baju
itu baru dibeli dari luar negeri. Mungkin juga saat itu Nyonya lagi ada masalah, makanya sampai berbuat seperti itu.“
Lani sangat terharu dengan sikap Bu Niar, dalam kondisi seperti ini pun, dia masih sangat menghormati majikannya, tidak ada kata-kata yang menjelek-jelekkan almarhumah. Hal ini membuat Lani semakin yakin kalau Bu Niar adalah orang baik.
“Apa Tuan Wijaya menduga saya membunuh karena dendam atas kejadian itu? “ tanya Bu Niar tiba-tiba.
Andre terperanjat, dia tidak menyangka Bu Niar akan menangkap apa yang sedang dipikirkannya. Sejurus
kemudian dia berusaha tersenyum.
“Saya tidak membunuhnya, Nak Andre. Saya tidak mungkin dendam hanya gara-gara itu. “
“Saya tahu, Bu. “
Bu Niar menghela nafas, sepertinya dia lega karena Andre mempercayainya.
“Tentang Surip tukang kebun, apakah dia pernah bertengkar dengan Nyonya Amalia? “
“Ndak pernah.“
“Surip setiap hari pulang ke rumahnya? “
“Ya, tapi sesekali dia menginap juga kalau kebetulan diminta Tuan atau Nyonya. “
“Untuk apa? “
“Dulu, Tuan kan punya Satpam, tapi sudah satu bulan ini berhenti, jadi kadang Surip diminta juga untuk menjaga rumah. Surip itu masih muda, kira-kira sebaya Nak Andre ini, dia juga rajin. Sebelum Subuh dia sudah sampai di rumah. Tapi, kenapa Nak Andre nanyain Surip? “
“ Saya harus tahu semua hal yang berkaitan dengan keluarga Wijaya, termasuk Surip. Oh, ya Bu, silahkan
dimakan satenya, tadi Lani sengaja bawain Ibu makanan kesukaannya. Tapi Ibu suka nggak sama sate Padang?“
Lani sumringah.
“Oh, suka sekali. Terima kasih. “
“Kalau gitu Ibu makan ya biar Lani senang. “
Lani tahu Andre sengaja menggodanya dan ingin sekali rasanya Lani melempar lelaki itu dengan pena ditangannya. Geregetan sekali rasanya, akhirnya ia hanya bisa senyum-senyum sambil mendelik. Andre menahan senyum, dia senang melihat Lani kesal.
Bu Niar menyuap sate ke mulutnya dengan air mata berlinang, mungkin beliau ingat anaknya. Hal ini membuat hati Lani terenyuh.
“Nak Andre sama Nak Lani nggak makan? “
“Ntar aja, Bu. “ sahut Andre yang sibuk dengan lap top nya.
@@@
“Kamu mau ikut ke tempat Surip? “ tanya Andre.
Lani melongo.
“Eh, Lan. Ditanya kok malah melongo gitu. “
“Berdua aja, Mas. “
“Ya iyalah berdua, emang mau ngajak siapa lagi? Bu Niar? “
Lani nyengir. “Tapi, Mas…” Lani menggantung ucapannya. Masa berduaan aja satu mobil, nggak mau ah.
“Saya naik mobil, kamu naik taksi. Kamu pikir saya juga mau pergi bareng kamu? Rugi saya.“
Lani garuk-garuk kepala. Dia tertawa dalam hati, menertawakan kebodohannya sendiri. Pasti lah Andre tidak
mau pergi berduaan saja dengannya kecuali dalam kondisi darurat.
“Atau kamu mau naik mobil saya, saya naik taksi. “
“Sebenarnya mau aja, tapi saya kan belum hafal jalan-jalan di Jakarta. Maklum lah baru beberapa bulan disini.“
“Ya udah, kamu naik taksi aja. “
“Kalau nggak ikut, gimana Mas? “
“Terserah kamu. “
Lani terdiam.
“Tapi, kenapa? Bukannya kamu sangat penasaran dengan kasus ini? Kamu nggak ada uang buat ongkos ya? “
Kok bisa tahu sih kalau keuangan Lani sedang seret. Yah, namanya juga masih mengandalkan kiriman
orangtua. Sama saja seperti waktu Lani masih kuliah. Bedanya sekarang ia bukan mahasiswa tapi calon advokat yang sedang magang. Walaupun kalau dilihat dari segi keuangan tidak ada bedanya. Lani harus berusaha berhemat, walau bagaimanapun juga malu kalau harus sering-sering meminta kepada orangtuanya.
“Uang saya cuma cukup buat ongkos naik taksi ke kantor, terus naik bus ke kontrakan saya. “ jawab Lani jujur.
Andre mengeluarkan dompet dari sakunya lalu menyodorkan tiga lembar uang seratus ribu. Lani kaget.
“Cukup?“
“Nggak usah, Mas. Makasih. “ Lani menolak. “Saya nggak usah ikut aja, deh. “Malu dong dikasih uang sama pembimbing magang. kata hati Lani.
“Nggak usah malu. Ambil aja. Anggap aja ini honor kamu karena sudah membantu saya. “
Lagi-lagi Lani kaget, Andre seperti bisa mendengar isi hatinya.
Tangan Andre dengan uang tiga ratus ribu masih terulur, sebenarnya cukup menggiurkan juga.
“Rejeki nggak boleh ditolak lho, ntar beneran nggak dapat rejeki. “
Lani tertawa mendengar kata-kata kuno Andre. "Kalau atas nama honor saya mau terima, Mas. Tapi
kalau atas nama kasihan, saya nggak mau. Sebenarnya saya masih punya uang, tapi saya kan harus berhemat karena walau bagaimana pun saya tidak ingin memberatkan kedua orangtua. “
“Emang saya minta penjelasan kamu? “
Menyebalkan! Rutuk Lani dalam hati.
“Orang Medan emang suka gengsi ya. “
Alis Lani terangkat. “ Maksudnya? “
“Ah, sudahlah. Nggak usah dibahas. Anggap aja ini honor kamu. Oke? “
Lani mengangguk, lalu menerima uang dari tangan lelaki. Apa tadi katanya? Orang Medan suka gengsi? Awas ya Andre, besok-besok anda akan mendapatkan balasan, kata Lani dalam hati. Dapat orang Medan baru
tahu rasa!
@@@
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
almira.gumaisha
cieeeee...mbak lani mulai naksir om pengacara
2025-03-03
0