Maylani Iffana Azra Hutabarat, seorang sarjana hukum yang bercita-cita untuk menjadi advokat, atau bahasa umumnya pengacara. Kedua orangtuanya sempat menentang keinginan sang putri bungsu. Mereka lebih senang kalau Lani mengikuti jejak mereka menjadi Pegawai Negeri Sipil. Namun, sejak duduk di bangku SMA Lani memang sudah bercita-cita untuk menjadi seorang advokat. Itu sebabnya, ketika lulus SMA, Lani memilih fakultas hukum untuk menimba ilmu. Setelah berhasil meraih gelar sarjana hukum, ia mengikuti pendidikan profesi advokat. Perjuangan Lani belum sampai disitu saja, ia juga harus ikut ujian advokat. Alhamdulillah, Lani dinyatakan lulus, dan itu artinya ia harus melaksanakan magang di kantor advokat. Setelah melalui musyawarah yang alot dengan kedua orangtuanya, Lani diizinkan untuk magang di ibu kota Jakarta. Meski dengan berat hati, namun kedua orangtuanya tidak ingin mematahkan samangat Lani yang begitu menggebu-gebu.
Selama sepekan ini ia sangat sibuk mempersiapkan keberangkatannya ke Jakarta. Lani mengepak pakaian, buku-buku dan barang-barang yang akan dibawanya. Ia juga sudah mengontak sahabatnya-Latifah-yang saat ini bekerja di sebuah instansi pemerintah di Jakarta, agar menjemputnya di bandara. Latifah menyanggupi dengan senang hati. Kedatangan Lani memang sangat diharapkannya.
Sebagai seorang Ibu, Mama sangat khawatir untuk melepas putrinya, karena itu beliau ngotot untuk ikut mengantar Lani ke Jakarta. Lani ingat, dulu waktu kuliah di Padang, Mama juga begitu. Sebenarnya Lani ingin Papa ikut, tapi Papa tidak mau meninggalkan kebun kelapa sawitnya.
“ Ada sedikit masalah Lani, dan Papa harus menyelesaikannya. “ kata Papa penuh wibawa. Yah, sejak pensiun dari kantor kecamatan, Papa memang kelihatan lebih serius mengelola kebun sawitnya ketimbang dulu sewaktu masih aktif jadi PNS.
"Masalah apaan sih Pa? “
“Kamu tahu apa soal sawit? Papa jelasin juga nggak bakal ngerti. Kamu kan tahunya KUHP, undang-undang ini, undang-undang itu. “
“Ah, Papa bisa aja deh. Lani kan sering juga ikut ke kebun sawit. “
“ Ikut kan cuma jadi sopir Papa aja. Sesampainya disana kamu malah asyik ngelamun dibawah pohon sawit atau kalau nggak kamu baca buku. “
Lani terkekeh.
“Kalau kamu pergi, siapa lagi ya yang jadi sopir Papa. “ kata Papa lirih.
Lani tertegun. Iya benar, mata Papa kan sekarang kurang awas, kaki Papa juga sering sakit – akibat penyakit asam urat yang beliau derita – makanya nggak mau bawa mobil atau sepeda motor sendiri. Lani lah yang selalu setia mengantarkan Papa, bahkan tidak malu untuk memboncengnya naik motor, satu hal yang masih aneh dalam pandangan orang-orang di kampungnya.
Dulu Lani pernah bercanda,
“Ntar menantu yang bakal nyetir atau boncengin Papa. “
“Papa kan udah punya menantu, tuh si Alif. “
“Kan jauh Pa…”
“Maksudnya suami kamu? “
Lani tertawa, memamerkan lesung pipinya.
“Ah, paling-paling bakalan jauh juga. “
Tak sadar air mata Lani meleleh. Sedih juga akan meninggalkan Papa. Dia pasti kangen.
“Kenapa nangis? “ Tanya Papa, padahal beliau sendiri berusaha menahan air mata yang sejak tadi mengambang, sikap yang sama juga pernah beliau tunjukkan saat akan melepas Lia.
Lani membuang muka sambil buru-buru menghapus air matanya.
“Ih, siapa yang nangis?“
Papa mengacak rambut putrinya itu.
“Oh, ya Pa, sore ini kita jalan-jalan yuk. “
“Naik mobil? “
“ Nggak, naik motor aja. Lani boncengin Papa. “
“Boleh. “
Lani tersenyum.
Burju-burju ma ho, na marsikkola i
Asa dapot ho nasinitta ni roha mi
Molo matua sogot au, ho do manarihon au
Molo matinggang au inang
Ho do na manogu-nogu au
(Boru Panggoaran-Charles Simbolon)
Sebuah lagu batak disenandungkan Papa. Lagu ini adalah lagu yang selalu melekat di hati Lani. Lagu yang menceritakan harapan seorang ayah agar putrinya sukses dan bisa menemaninya di hari tua. Lani mengusap air matanya yang mulai turun ke pipi
@@@
Perpisahan itu semakin dekat. Lani termangu memandangi kamarnya; tempat tidur, lemari, meja belajar, rak buku yang biasanya sangat penuh sekarang hampir kosong karena isinya telah berpindah ke kardus, komputernya yang selama ini menjadi sarana pencari nafkahnya – Lani memutuskan hanya akan membawa laptop –yang pasti tidak akan ada lagi yang menyentuhnya, topi wisuda dan medali yang tergantung, beberapa piala yang berhasil dia raih dari perlombaan menulis cerita fiksi dan karya tulis, majalah dindingnya dan semua yang ada dikamar itu membuat dada Lani sesak.
Lani keluar dari kamar…
Dipandanginya setiap sudut rumah hijaunya; dapur yang selalu menjadi tempatnya bereksperimen dengan resep-resep yang dia ciptakan sendiri. Lani ingat saat bulan Ramadhan, tiap hari Lani membuat puding dengan bentuk dan rasa yang berbeda-beda hasil kreasinya sendiri dan membuat Papa ketagihan, tak jarang juga gagal dan membuat seisi rumah tertawa, ruang makan tempat mereka sekeluarga saling menumpahkan isi hati saat makan, tempat Papa memberikan petuah-petuahnya, tempat Mama ngomel-ngomel karena Kak Lia yang malas makan malam, Lani yang selalu minum air es nggak kenal waktu mau pagi, siang, malam bahkan tengah malam. Lani melirik TV yang lebih sering menyala tetapi tidak ada yang menonton – kebiasaan buruk Lani; menyalakan TV, berbaring dengan karpet kecil dan bantal guling bersarung mobil balap Formula 1, lalu bersiap untuk membaca, bukan menonton siarannya – diatas TV itu adalah tempat paling nyaman buat Yoyo, kucing keluarga Lani yang imut dan pintar karena mengerti jika namanya dipanggil dan suka menemani Mama kalau sedang bekerja. Semua itu menambah perih di hati Lani. Dan…motornya, kendaraan yang selalu setia menemaninya pergi. Lani memang lebih suka naik motor ketimbang naik mobil, katanya lebih asyik, bisa nyalip dan ngebut yang selalu bikin Mama menjerit kalau sedang dibonceng olehnya.
Lani beralih ke halaman belakang…
Tempatnya menjemur pakaian, bermain bulu tangkis bersama Papa, tempatnya latihan karate sendiri, main basket sendiri dan tempatnya melamun yang diartikannya sebagai sarana pencarian inspirasi. Ah, ternyata seluruh sudut rumah ini memberikannya kenangan yang sangat berarti. Duh, Lani…kayak nggak bakalan pulang aja, bisik hatinya. Kamu kan bisa pulang kalau lebaran atau bisa ambil cuti.
Lani memejamkan mata.
Dan besok…adalah hari terakhirnya ikut pengajian kelompok, ia pasti akan merindukan teman-temannya; Adelia, Hasanah, Safitri, Andina, Wanti, dan Mbak Kartika yang kalem juga murah senyum. Lani yang selalu meramaikan suasana karena dia memang periang. Lani yakin, besok dia pasti tidak bisa menahan air matanya.
Lusa, dia dan Mama akan berangkat ke Medan dan selanjutnya akan bertolak dengan pesawat menuju kota Jakarta, kota yang masih asing bagi Lani dan entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk kesana, yang jelas ia melihat mimpinya disana. Lani menghembuskan nafasnya ke udara. Kesedihan ini juga dirasakannya ketika akan meninggalkan Padang dengan segala aktivitas, ukhuwah dan cinta yang pernah terukir disana. Lani memang orang yang mudah terharu dan sulit melupakan hal-hal yang pernah lekat dengannya.
@@@
Lani tersentak mendengar alarm ponselnya yang bergetar-getar di bawah bantal – kebiasaan buruknya selalu menaruh ponsel dibawah bantal – tangannya merogoh bawah bantal dengan mata yang masih terpejam, kelopak matanya terasa lengket. Lani mengucek-ngucek matanya sebentar, melihat jam di layar ponsel, jam tiga dini hari. Ia melirik Latifah yang masih terlelap di seberang sana. Lani bangkit, dalam hati ia bertakbir, berusaha melawan setan-setan yang mengikat ruhnya dengan simpul-simpul ngantuk. Pada takbir ketiga Lani mengepalkan tinjunya ke udara, ALLAHU AKBAR!!!
“Woi…bangun…” Lani mengguncang-guncang tubuh Latifah.
Latifah menggeliat. Belum ada tanda-tanda dia akan bangun, Lani mengguncang tubuhya lebih keras lagi. “Ayo dong Fah…”
“Duh…Lani…aku ngantuk banget nih. Tadi malam lembur sampai jam dua. Aku tidur baru satu jam. “ keluhnya tanpa membuka mata.
”Setidaknya dua rakaat aja…ayo dong…”
Latifah membuka mata. “Sehari ini absen dulu deh…beneran nih, ngantuk banget, daripada aku shalat sambil tidur.”
Ia terkekeh, didorongnya bahu Latifah. “Dasar! “
Lani menuju kamar mandi. Dinginnya air wudhu mengembalikan kesadaran Lani sepenuhnya. Sekarang Lani terlihat segar dan dia siap untuk menghadap pemilik ruhnya di sepertiga malam terakhir, malam yang selalu ditunggu-tunggu oleh seorang hamba untuk bermunajat kepada-Nya lebih dekat, tanpa sekat.
Usai melaksanakan shalat Tahajjud, Lani membuka mushaf Al-Qur’an kesayangannya, dengan suara perlahan dibacanya kalam-kalam Ilahi. Lani merasa sejuk jiwanya, tentram hatinya. Setelah membaca beberapa halaman, Lani duduk di tempat tidur, mengambil buku yang selalu berada dibawah bantalnya
– ini adalah salah satu kebiasaan Lani juga – dan mulai membaca, ia menunggu waktu Subuh tiba. Tapi Lani tidak bisa berkonsentrasi dengan bacaannya, Lani teringat kampung halaman, rumah, kamar, dan Papa-Mama nya. Ini adalah hari pertama ia magang. Ia diterima di Kantor Hukum Ibrahim Tobing dan rekan. Lani senang sekali saat itu, apalagi Pak Tobing anak Medan juga dan sekarang sudah sukses di Jakarta. Kantornya besar, advokat yang bekerja disana juga banyak
“Disini kebanyakan orang Batak, kau bisa kenalan besok; ada Pak Hutagalung, Pak Marbun, Bang Manik, Fauzan Siregar, Mardin Silalahi. Ada juga memang yang bukan orang Batak tapi cuma dua, Andre dan Sartika. Pegawainya banyak yang bukan orang Batak. “ Jelas Pak Tobing saat Lani pertama kali datang ke kantornya.
Lani manggut-manggut.
Lani menarik nafas dalam-dalam, aku akan berusaha belajar sebaik mungkin. Aku berjanji akan membuat Papa dan Mama bangga, bisiknya dalam hati.
“Lan, bangun…” ada suara yang mendesak, ditambah dengan guncangan pada tubuhnya yang cukup keras. Lani membuka mata, Latifah berdiri dengan wajah basah.
“Sana shalat Subuh. Kita kesiangan.“
Lani tersentak, jadi dia ketiduran? Padahal tadi setelah tahajjud niatnya ga tidur lagi, tapi ternyata malah ketiduran.
“Jam berapa sekarang? “
“Jam setengah enam…”
“Hah?!!!”
Lani melompat dari tempat tidurnya. Hari pertamanya magang kok malah ada insiden kesiangan sih. Padahal Lani sudah bertekad hari pertamanya harus membuat kesan yang baik. Kantor Pak Tobing jauh di Jakarta Selatan, mana Jakarta kalau pagi-pagi macet banget.
Setelah shalat Subuh, Lani langsung mandi dan berpakaian dengan tergesa-gesa. Dibereskannya tempat tidur sebentar. Latifah memandanginya dengan tertawa kecil.
"Jangan ketawa dong Fah, temannya kesusahan malah senang. “
“Aku bukannya senang, kamu kalau tergesa-gesa ekspresinya lucu banget. “
“Duh, malah bercanda dong.” Lani memasang kaus kakinya. “
“Kamu sarapan dulu gih…udah aku siapin. “ ujar Latifah
“Nggak usah Fah, ntar makin telat “
“Eits…ga boleh gitu, dong. Ntar maag kamu kumat lagi lho, kalo maag kamu kumat biasanya migrain kamu juga
nyusul kan kumatnya. Kalau udah begitu, kamu nggak bisa kerja, trus ngerepotin aku juga. “
“Aduh…Latifah Nuraini jangan kasih ceramah sekarang ya, ntar aja kalau aku udah pulang dari kantor. “
“Kalau gitu kamu bawa bekal ya ke kantor, aku siapin. “ Latifah beranjak menuju dapur.
Lani menghela nafas. “Baiklah…” ujarnya menyerah. Latifah muncul dengan kotak bekal yang sudah diisinya dengan nasi dan lauk berikut segelas susu coklat. Lani tersenyum haru, sahabatnya ini ternyata sudah membuatkan susu dari tadi.
“Makasih ya, Fah…” Lani menerima susu dari tangan Latifah dan langsung meneguknya sampai habis.
“Ini bekalnya. “ Latifah menyodorkan kotak bekal di tangannya.
Lani menerimanya dengan senyum dikulum. “Emang Latifah baik banget, deh” dijabatnya tangan Latifah kemudian cipika cipiki. “Aku berangkat dulu ya.” Latifah menyampirkan tas di bahunya.
@@@
Taksi berhenti tepat di depan Kantor Hukum Tobing dan Rekan. Lani keluar dan setengah berlari dia masuk ke kantor tersebut.
Dugh…
“ Auw…” Lani menjerit. Ia terduduk di lantai.
Dihadapannya seorang lelaki juga terduduk dengan kertas dan buku berserakan didekatnya. Lelaki itu menatapnya tajam. Ya ampun,mereka bertabrakan.
“Eh, maaf Pak…maaf. “ Lani bangkit sambil mengusap-usap lengan bajunya, sejujurnya, pinggang dan kakinya sangat sakit sekarang. Ia mendekat, membereskan kertas dan buku-buku yang berserakan.
“Kamu kalau jalan pakai mata dong.” Lelaki itu berdiri.
“Maaf Pak saya nggak sengaja, habisnya buru-buru. “ Lani berusaha tersenyum.
“Kamu sudah menghabiskan waktu saya beberapa menit karena insiden ini. “gerutunya sambil memalingkan wajah.
Lani melongo. “ Saya minta maaf banget Pak. “
“Makanya jangan lari-lari.“ komentarnya.
Lani nyengir.
“Kamu kan punya mata, kalau jalan ya dipakai.“ lanjut lelaki itu lagi.
Cerewet juga dia, pikir Lani.
“Saya emang punya mata Pak, tapi bukan buat berjalan, kalau untuk berjalan saya pakai kaki.“ jawab Lani sengit terpancing emosi.
Dahi lelaki itu berkerut. “Tapi mata kamu juga dipakai ya untuk melihat. Ini akibatnya kalau mata kamu ditaruh di dengkul. Atau mungkin kamu masukin dalam tas, ya.” balasnya tak kalah sengit.
Alis Lani terangkat. Ya Allah, laki-laki ini menambah tidak enak suasana hatinya saja.
“Pak, saya kan sudah minta maaf jadi Bapak jangan marah-marah gitu, dong.“
“Kok malah jadi kamu yang marah, sih? Setiap orang yang mengalami hal ini juga akan berlaku sama seperti saya.“
“Tidak akan semuanya. Tergantung siapa orangnya. Mungkin kalau Bapak, ya…begitu.“
Lelaki itu mengepal tangannya.
"Jadi begini ya Pak, saya minta maaf sekali lagi. Saya benar-benar tidak sengaja, saya juga tidak ingin hal ini terjadi. Saya rugi juga, bukan hanya bapak, waktu saya tersita beberapa menit. Bapak maafin saya, kan?" Lani meyodorkan kertas dan buku-buku milik lelaki itu.
Si lelaki menerima barang-barangnya dan menatapnya dengan sinis.
“Ya. “ jawabnya singkat dan segera berlalu dari hadapan Lani.
Lani menghembuskan nafas ke udara, benar-benar kacau. Hari pertama yang dia khayalkan bakal memberikan kesan manis justru melahirkan kesan kecut di pagi hari. Seandainya nggak telat bangun pagi, nggak akan telat berangkat ke kantor dan Lani pasti tidak akan bertabrakan dengan lelaki
‘cerewet’ tadi. Yang pasti mood-nya nggak akan kacau seperti sekarang ini.
“Tapi, ngapain juga mikir seandainya. Toh semua udah terjadi.“ Lani mengendikkan bahu, bibirnya tersenyum.
“Ya Allah…” Lani menepuk jidatnya. “Kok malah nyantai.” Lani mempercepat langkahnya.
“Maaf Pak, saya telat.“ kata Lani pada Pak Tobing
Pak Tobing tersenyum. “Tidak apa-apa Lani, maklum hari pertama. Hmm…sepuluh menit. “ seraya melirik jam tangannya
Lani nyengir sambil mengusap-usap hidung, kebiasaan kalau sedang bingung atau merasa bersalah.
“Ayo ikut saya.“ Pak Tobing melangkah keluar ruangan-Lani mengikuti-menuju ruangan rapat dan disana sudah menunggu seluruh advokat dan pegawai di kantor itu. Lani sedikit kikuk ketika melintasi ruangan, sebab berpasang-pasang mata menatapnya. Ia berusaha tersenyum pada semuanya.
“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. “ Pak Tobing mengucap salam yang segera dijawab oleh semua yang ada di ruangan tersebut. “ Baik saudara-saudaraku semua, kita kedatangan seorang calon advokat (pengacara) yang akan magang di kantor kita. Namanya Maylani Iffana Azra Hutabarat, asalnya dari Sumatera Utara, asli Batak. “ Pak Tobing memperkenalkan Lani sambil tersenyum. Lani mengangguk.
“Wah…tambah lagi nih anak Medan. “ celetuk seorang bapak.
Lani tersenyum.
“Saya sangat berharap kita semua bisa membantu ananda Lani sehingga kelak dia bisa bergabung bersama kita." tambah Pak Tobing lagi. “Oke Lani, saya akan perkenalkan satu persatu.“ Pak Tobing memperkenalkan rekan-rekannya berikut pegawai satu persatu, yang disebutkan namanya melambai dengan ramah kepada Lani. Lani merasa terharu dengan sambutan mereka yang hangat. Lani mengucap syukur.
“Oh, ya Andre mana? “ Tanya Pak Tobing
“Lagi keluar, Pak. “ jawab Mardin
Pak Tobing manggut-manggut.
...@@@...
Lani dimintai tolong oleh Pak Marbun untuk mengetik eksepsi atas satu perkara yang sedang ditanganinya. Lani menerimanya dengan senang hati, berarti ini adalah tugas pertamanya hari ini. Jadi tukang tik juga Lani sudah berbahagia, yang penting dia bisa magang di kantor ini.
“Lani…” terdengar suara Pak Tobing.
Lani mendongak, lalu terbelalak melihat seseorang yang berdiri disamping Pak Tobing, orang itu pun tidak kalah terkejut ketika melihat Lani.
“Lani, perkenalkan. Ini namanya Andre, seorang advokat muda yang hebat dan beliau ini akan menjadi pembimbing kamu selama magang disini. “ ujar Pak Tobing.
Lani terkejut. Ya Ampun, itu kan lelaki yang tadi ditabraknya di lobi kantor. Ternyata dia salah satu advokat di kantor ini, dan akan jadi pembimbingnya pula.
Ia berusaha tersenyum dan lelaki itu pun hanya tersenyum sekilas tanpa mengulurkan tangan. Selamat, bisik hatinya.
“Saya harap kalian bisa bekerja sama. Andre, tolong bimbing Lani dengan baik ya dan kamu Lani jangan sungkan-sungkan bertanya kalau ada yang tidak kamu mengerti. “
“Baik Pak. “ jawab Andre.
Pak Tobing meninggalkan mereka.
“Maaf atas kejadian tadi, Pak. “
Andre mengangkat kedua bahunya. “It’s oke. Kamu sudah minta maaf beberapa kali dan saya rasa itu sudah cukup.“
“Saya benar-benar nggak sengaja Pak. “
“Nggak usah panggil Bapak, panggil Mas aja. Saya belum setua Pak Tobing.“ Nadanya masih dingin.
Lani mengangguk.
“Nama kamu siapa tadi? “ Andre mengernyitkan dahi.
“Lani, Mas. Maylani Iffana Azra Hutabarat. “
“Panjang banget namanya. “Andre tertawa kecil. “ Cuma kamu orang Batak disini yang namanya panjang begitu. “
Nggak lucu, jerit Lani dalam hati.
"Tapi Mas boleh panggil saya Lani."
"Oh, Lani ya. Temannya Tayo dan Rogi." Lelaki itu tertawa kecil.
What?? Apa katanya? Tayo dan Rogi? Ingatan Lani melayang ke acara kartun anak-anak, Tayo Si Little Bus. Lani menghela nafas. Kapan-kapan kubalas kau, ucap Lani dalam hati.
“Kamu alumni mana? “
“UNAND, Mas. “
“Wow…perjalanan kamu panjang juga ya. Tinggal di Medan, kuliah di Padang dan
sekarang merantau ke Jakarta. “ komentar Andre tanpa menatap Lani.
Sepertinya laki-laki ini dilahirkan untuk menjadi seorang komentator yang handal, kata Lani dalam hati.
“Kenapa jauh-jauh ke Jakarta? Di Medan kan banyak juga kantor advokat. Apa kamu nggak tertarik untuk buka kantor sendiri disana nantinya? “
“Saya rasa setiap orang punya rencana dalam hidupnya, dan mereka punya alasan tersendiri untuk membuat rencana tersebut. Keberadaan saya disini juga merupakan bagian dari rencana hidup saya dan tentunya sudah dipikirkan matang-matang sebelum mengambil sebuah keputusan. “ jawab Lani tenang.
“Jawaban yang bagus, tapi abstrak. “ ujarnya.
“Tidak semua hal bisa diceritakan kepada orang lain Mas, karena setiap kita punya privasi. Saya menganggap alasan saya memilih Jakarta untuk tempat merantau adalah bagian dari privasi saya yang tidak perlu diketahui oleh orang lain.“ jawab Lani jengkel.
Andre tersenyum samar. “Tahu nggak, Jakarta itu udah padat, sekarang malah nambah pendatang baru. “Andre memasukkan tangannya ke saku celana. “Kamu juga pasti pernah dengar ungkapan Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri kan, apa kamu tidak takut.“ Kata Andre sambil sedikit membungkuk.
Gigi Lani gemerutuk menahan kesal. “Itu berlaku bagi orang yang tidak punya keahlian apa-apa dan bukan buat saya.“ Lani menatapnya tajam.
Andre terkekeh. “Tingkat ke-PD-an kamu tinggi juga ya. “ujarnya pelan. “Memangnya keahlian kamu apa? “ Tanya Andre setengah mengejek.
Lani bangkit dari duduknya. “Permisi…” Lani beranjak pergi.
“Mau kemana? “
Lani berbalik menatap si pengacara yang sedang tersenyum penuh kemenangan, “Saya mau shalat Dhuha, perlu saya laporkan juga ya." sahut Lani ketus.
“Oo…” Andre manggut-manggut.
Usai menunaikan shalat Dhuha di mushalla kantor itu, Lani bersandar di dinding. Hati Lani masih kesal melihat Andre. Tadi dia begitu senang karena seluruh pengacara dan pegawai yang ada di kantor itu sangat ramah, tapi tiba-tiba dia harus bertemu Andre yang sepertinya suka sekali membuat orang lain menderita. Lani menghembuskan nafasnya ke udara. Hari pertama saja sudah tidak menyenangkan bekerjasama dengan si Andre itu, apalagi hari-hari selanjutnya.
“Kayak nggak punya kerjaan aja ngurusin orang. Nyebelin banget sih. “ gerutu Lani sambil mengepalkan
tinjunya.
Lani bangkit dari duduknya dan melangkah dengan gontai meninggalkan mushalla. Ia merasakan perutnya perih, oh…Lani lupa kalau dia belum sarapan. Seketika ia teringat, tadi kan Latifah sudah menyiapkan bekal untuknya. Lani mengeluarkan kotak makanan dari dalam tas nya, disuapnya nasi dan lauk-pauk dengan perlahan, ia ingin meresapi cinta yang ada dalam makanan itu, cinta seorang sahabat. Ia tersenyum membayangkan wajah Latifah.
“Kamu kayak anak TK ya, bawa bekal segala. “Seseorang mengejutkan Lani yang sedang mengunyah makanannya. “Dan lagipula ini belum jam makan. “
Lani mengangkat kepala, ternyata Andre. Selera makannya lenyap dalam sekejap.
“Maaf, tadi pagi saya tidak sempat sarapan. Makanya bawa bekal. “
“Kamu tinggal dimana sih? “
“Jakarta Pusat, Mas. “
“Jauh. Kenapa nggak nyari kost-an di sekitar sini aja? “
“Saya tinggal disana dengan sahabat saya, kebetulan kantornya dekat dengan kontrakan kami. “
Andre manggut-manggut. “Kamu dikasih tugas apa sama Pak Marbun. “
“Saya dimintai tolong ngetik, Mas. “
“Ya udah, kamu selesaikan dulu tugas itu. Sekarang saya mau keluar, ketemu klien. Besok kamu bantu saya
menganalisa kasus ya. “
“Baik, Mas.“
Andre meninggalkan Lani, tapi kemudian dia berbalik lagi.
“Oh, ya…kalau habis shalat jangan suka ngomong sendiri ya. Ntar kamu dikira gila sama orang yang dengar.” ujarnya sambil tersenyum mengejek.
Lani melongo. Hah?! Kok dia bisa tahu Lani tadi ngomel-ngomel sendiri di Mushalla, apa mungkin dia ada disana? Sejurus kemudian ia menggaruk-garuk kepalanya yang dibalut jilbab biru.
“Mas Andre memang suka rese sama anak magang. “ tukas seseorang.
Lani menoleh, ternyata Farah salah seorang peagawai kantor itu. Lani tersenyum.
“Mbak Lani yang sabar aja, ya. Sebenarnya Mas Andre orangnya baik kok. “
“Dan sangat berbakat jadi komentator bola. “ kata Lani
Farah tertawa. “Mbak Lani bisa aja deh, emang lagi nonton bola. “
Lani tergelak. “Habisnya kesal banget. Kenapa juga ya aku dapat pembimbing seperti dia. “
“Dia itu hebat lho,Mbak. Pak Tobing sayang banget sama dia. “
“Oh, ya? “
“Pak Tobing kan nggak punya anak cowok, jadi beliau menganggap Mas Andre sudah seperti anak sendiri. Malah menurut gosip yang beredar Pak Tobing punya niat mau menjodohkan Mas Andre sama
anak gadisnya. “
“Masih niat kok orang udah
tahu. Bukannya niat masih dalam hati ya Mbak? “ kata Lani.
“Ah, Mbak Lani ini bisa aja." Farah menepuk pundak Lani pelan. “ Tapi beneran lho, Mbak, malahan kelihatannya anaknya Pak Tobing itu juga suka, kalau kebetulan dia main kesini saya perhatiin suka ngelirik-lirik Mas Andre gitu, tapi Mas Andre nya cuek aja.“
Oalah…kok malah jadi ngegosip sih?
“Wajar aja ya, Mbak. Mas Andre kan ganteng, pintar, pengacara hebat lagi, udah gitu dia juga sholeh. “ Puji Farah.
“Mbak Farah naksir juga ya?" Goda Lani.
Wajah Farah bersemu merah. “Ya nggak lah. Mbak Lani ngawur. “
Lani tertawa dan tadi diasempat menangkap kilatan mata Farah yang menunjukkan kalau dia juga sebenarnya
menyukai Andre.
...@@@...
Lani melempar tasnya keatas tempat tidur menyusul tubuhnya yang lelah. Sebenarnya pekerjaan hari ini tidak melelahkan justru perjalanannya lah yang membuat Lani sangat lelah. Maklum ia belum terbiasa dengan kehidupan ibu kota yang terkenal macet. Lani melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah hampir maghrib.
Latifah muncul dari dapur dengan sendok goreng ditangannya, ia pasti sedang masak.
“Hei..!! ” serunya girang. “Calon advokat kita udah pulang. “ Latifah duduk disamping Lani. “ Gimana hari pertamanya? “
“Nyebelin. “
“Kok? “
“Ntar deh aku ceritain. Kamu lagi masak, ya? Aduh, maaf ya aku nggak sempat bantuin. “ Lani merangkul pundakLatifah.
“Nggak pa-pa lho. Kebetulan aku pulang lebih cepat ya udah aku masak. Kalau kamu yang pulang duluan pasti
kamu melakukan hal yang sama kan. “ Latifah tersenyum.
Lani membalas senyum sahabatnya itu.
“Aku mandi dulu ya. Gerah banget nih. “ Lani beranjak.
“Ya udah buruan sana. “
Makan malam mereka nasi putih, ikan sarden dan mie instant rebus, anak kost banget deh. Maklum dua-duanya pulang sore jadi nggak sempat belanja.
“Ceritain dong, hari pertama kamu. “
Lani berhenti mengunyah. “Oh, iya aku kan udah janji. “ Lani meneguk air putih, kemudian ia pun mulai bercerita tentang insiden ‘tabrakan’ tadi pagi.
“Dan kamu tahu nggak Fah, siapa yang aku tabrak? “
Latifah menggeleng. “Mana mungkin aku tahu."
Lani tersenyum. “Ternyata dia advokat yang kerja di kantor itu juga. Namanya Andre. Awalnya kan aku nggak tahu, trus Pak Tobing memperkenalkan dia sebagai pembimbingku. Aku kaget banget sekaligus malu, soalnya kan aku udah ketus gitu sama dia. “
Latifah tertawa.
“Dan menurut aku ya Fah, dia itu emang berbakat banget jadi komentator. “
Alis Latifah terangkat.
Lani pun menceritakan percakapannya dengan Andre di kantor tadi pagi tidak ketinggalan gosip yang
dikatakan Farah. Latifah mendengarkan sambil sesekali tertawa.
“Nyebelin banget tahu nggak. Tapi, eh…kok malah ghibah sih. “ Lani istighfar menambah geli di hati Latifah.
“By the way, cakep nggak? “ Tanya Latifah sambil menyipitkan sebelah matanya.
“Uh…dasar ganjen, lu! “ Lani melempar Latifah dengan serbet.
“Sesekali boleh dong.”
“Kalau kata Farah sih, dia ganteng. “
“Kalau kata kamu? “
Lani berpikir sebentar, dia membayangkan Andre, lumayan juga sih; Andre punya postur yang lumayan dengan tinggi kurang lebih 180 cm, kulitnya putih, wajahnya juga bersih, rambutnya lurus dan dipotong pendek. Nggak jelek-jelek amat, kata hati Lani. Ups, ketahuan dong Lani merhatiin juga. Ia terkekeh dalam hati.
“Hmm…ganteng itu kan relatif, Fah. Tergantung orang yang melihatnya. Tapi yah,, bisa dikatakan nggak jelek lah.“ Seperti biasa, Lani selalu berdiplomasi.
Latifah manggut-manggut.
“Sikapnya itu lho bikin aku kesal, komentarnya suka pedas, omongannya juga asal. Tapi, ada yang bikin aku heran, dia kalau ngomong nggak langsung natap aku gitu, terus dia juga nggak ngajak aku salaman. Santun banget, tapi di sisi lain, dia judes. Trus, yang bikin aku makin geram, dia ngejek namaku, katanya aku Lani temannya Tayo dan Rogi. ” Wajah Lani memerah menahan marah.
Latifah sampai terpingkal-pingkal mendengar cerita Lani. "Serial Tayo The Little Bus itu?"
Lani mengangguk. Latifah terus tertawa sampai mengeluarkan air mata. Ini benar-benar lucu. "Berarti dia sering nonton." Ucapnya di sela-sela tawa.
"Ih, Latifah. Kamu kok malah ketawa sih?" Lani cemberut.
"Ini beneran lucu, Lan. Asli lucu."
"Nggak lucu!! Selera humornya hanya sebatas Tayo dan Lani."
"Lucu Lani, lucu ini. Sabana lucu."
"Ndak ado lucu, doh. Garing tu nyo." Lani membalas dengan bahasa Minang juga.
"Kok, bisa lah dia kepikir sama Tayo Little Bus, coba. Aku aja nggak pernah mikir sampai kesitu, lho." Latifah mengusap matanya yang dari tadi berair karena ketawa.
Lani melempar serbet sekali lagi. Mereka tertawa bersama.
@@@
Lani melipat mukenanya, wajahnya terlihat cerah, dia baru saja selesai menunaikan shalat dhuha. Yah, di sela-sela kesibukannya di kantor dia masih menyempatkan diri untuk shalat dhuha, dan mengawali harinya dengan bacaan dzikir ma’tsurat, semua itu membuat hati Lani menjadi tenang. Nyatalah apa yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an bahwa jika kita mengingat Allah maka hati kita menjadi tenang. Tidak ada tempat yang paling nyaman untuk melarikan diri ketika ada masalah kecuali lari kepada Allah dan mengadukan semuanya kepada-Nya. Ketika hati sedang gundah, lelah, marah dan seketika itu juga ingat Allah maka segalanya akan lenyap. Lani menarik nafas dalam-dalam lalu tersenyum. Tiba-tiba dahinya berkerut, di sebelah ada suara seseorang sedang membaca Al-Qur’an. Suara itu seperti sudah tidak asing lagi di telinganya. Lani mempertajam pendengarannya, tak salah lagi, itu adalah suara Andre. Hummm...ternyata dia...
Lani termangu di meja kerjanya, dari tadi komputer menyala tapi Lani tidak tahu harus mengerjakan apa. Andre belum memberikannya tugas setelah dua hari lalu memarahinya habis-habisan.
Saat itu,
“Apa sih yang kamu buat ini? “ Andre melemparkan kertas ke meja Lani.
Lani terkejut. “Jadi, segini aja kemampuan kamu? Kalau begini terus sih, nggak akan ada yang
mau pakai jasa kamu. “
Lani melongo. Dalam hati dia berkata, wajar dong…kan baru belajar.
“Waktu kuliah kamu serius nggak sih? “
Lanimenggigit bibir bawahnya menahan perih di hati. “ Maaf, Mas. “ Lani mengambil
kertas di hadapannya.
“Cuma bikin rancangan pledoi aja kamu nggak bisa. Sebenarnya kamu serius tidak mau jadi advokat? “ wajah Andre kelihatan sangat sangar di mata Lani. Ketampanannya menguap.
“Akan saya perbaiki lagi, Mas. “ ujar Lani pelan.
Andre mendengus. “ Nggak usah, saya udah bikin sendiri. Kalau kamu perbaiki juga bakalan tetap begitu hasilnya. Saya tidak mau klien saya lari gara-gara kamu. “
Lani menunduk. Andre meninggalkannya dengan wajah yang masih menyiratkan kemarahan.
“Jangan dibentak-bentak gitu dong, Ndre. Kasihan dia. “ terdengar suara Mardin.
“Habisnya aku kesal banget. Masa cuma ngerjain itu aja nggak bisa. “ Andre geleng-geleng kepala.
“Wajarlah…dia kan masih magang. Justru karena belum bisa makanya kamu ajarin. Lagipula kamu kan
nggak bisa dong menyerahkan sepenuhnya sama dia, kan kamu advokatnya, kamu yang megang kasus itu, dia cuma belajar. “
“Tau deh.” Andre menghela nafas.
“Kalau kamu begitu terus, mana betah dia belajar sama kamu, yang ada juga dia bakalan kabur. “
“Kalau dia kabur, bukan aku dong yang rugi. Dia lah. “
Mardin tertawa. “Kamu harus sabar, Bro. Gimana sih pak guru kita ini. “
“Kamu aja deh, Din yang jadi pembimbingnya. Aku nggak kuat. “
“Pak Tobing kan mempercayakna dia sama kamu. Kalau aku perhatikan, dia pintar kok, hanya saja masih perlu banyak latihan.“
Lani mendengar semua pembicaraan itu dengan hati yang pedih, kalau bukan karena dia butuh sekali dengan magang ini, bakalan dia kasih satu jurus buat si Andre yang sombong itu. Lani meleletkan lidahnya kearah Andre, tapi Andre nggak lihat. Hal itu membuat Farah tertawa.
Mungkin Andre jera memberi Lani tugas, jadi dia lebih sering disuruh membaca kasus-kasus yang pernah ditanganinya ataupun yang ditangani pengacara lain. Tak jarang hal itu membuat Lani ngantuk, matanya pegal membaca terus. Bisa-bisa minus matanya bertambah dari setengah menjadi dua setengah. Tapi yah…demi cita-cita apapun rela dia lakukan.
“Lani.” Tiba-tiba saja Andre sudah berdiri dihadapannya.
“Ya, Mas.“ Demi kesopanan, Lani langsung bangkit dari duduknya.
“Ini buat kamu. “ Andre menyodorkan sebuah kotak pada Lani.
Lani heran. “Ini apa Mas? “
“Itu donat. Kamu nggak bisa baca ya? Kan ada tulisannya tuh. “
Lani nyengir. “Tapi, buat apa Mas? “
“Ya buat kamu lah, buat dimakan. Masa buat dipajang. Tadi klien ngasih saya donat itu, tapi saya sedang puasa. Jadi, buat kamu saja. “ Jelasnya dengan wajah setengah menunduk.
“Saya juga lagi puasa, Mas. “ Kata Lani
Alis Andre terangkat. “Oh, ya?“ Diam sejenak. “Ya udah, buat berbuka aja. “
“Makasih ya Mas. Mas nggak mau? “
Andre tersenyum. “Nggak, buat kamu aja.“
Lani tersenyum juga.
Andre mengeluarkan kertas dari tas ransel nya lalu disodorkannya pada Lani.
“Tolong kamu pelajari kasus ini, kamu analisa, lalu coba kamu buat rancangan surat gugatannya. “
Lani menerimanya. “Mas lagi megang kasus ini ya? “
“Nggak, ini cuma contoh aja saya ambil dari internet. “
“Mas kapok ya ngasih kasus yang Mas tangani sama saya? “
“Kamu kan masih belajar, kalau masih belajar, jadi dikasih contoh soal dulu. Kasus ini sudah ada putusannya kok, jadi saya pengen lihat sejauh mana kemampuan kamu. “
Lani manggut-manggut.
“Saya tinggal dulu ya. “ Andre berbalik
Lani mengangguk. Tumben hari ini baik, ngasih donat pula tuh?
"Mas Andre!!" Seru Lani setelah Andre berlalu beberapa langkah.
Andre menoleh. "Ya?"
"Kalau saya Lani si bis kecil, Mas Andre jadi Tayo-nya ya." Ujar Lani.
Andre mengerutkan dahinya. "Maksud kamu?"
Lani tersenyum. "Lani dan Tayo kan bersahabat, Mas. Nggak pernah berantem."
Andre tersenyum simpul. "Humor kamu hanya sebatas Tayo Little Bus, ya."
Bukannya humor kamu, kata Lani dalam hati. Andre membalikkan badannya, dan segera melangkah masuk ke ruangan. Lani mengendikkan bahu.
“Udah damai ya, Mbak.” goda Farah.
“Saya juga heran Fa, kok hari ini dia baik banget. “
“Lagi senang kali Mbak.“
“Mungkin juga.“
"Mbak Lani beneran mau jadi Tayo dan Lani sama Mas Andre? " Goda Farah.
"Harus, Fa. Biar dunia persilatan ini damai. Eneg juga kalau saban hari berantem mulu. Saya takut hilang kesabaran, ntar jadi keluar jurus-jurus karatenya."
Farah tertawa, ia tahu Lani hanya bercanda. Baru sebentar Lani bergabung di kantor itu, tapi Farah sudah akrab dengannya. Ia menyukai Lani yang supel, ramah, baik hati, lucu dan rajin beribadah. Penampilannya juga anggun dengan selalu memakai atasan tunik atau kemeja, rok, kerudung lebar, dan kaos kaki. Farah kagum padanya.
@@@
Menjelang maghrib Lani baru tiba dirumah. Latifah sudah duduk manis di meja makan menunggu waktu berbuka tiba, dihadapannya sudah tersedia dua gelas teh es dan dua piring mie goreng.
“Berapa menit lagi Fah? “Tanya Lani dan langsung duduk didepan Latifah.
“Tujuh menit lagi. Tuh, aku udah buatin teh hijau pakai es kesukaan kamu. “
“Aduh…Ifah baik banget deh. Oh, ya aku ada donat, nih. “ Lani mengeluarkan donat pemberian Andre dari dalam tas nya.
“Kamu beli? “
“Nggak, dikasih nih sama Sang Komentator Sejati; Andre Maulana sarjana hukum.“ Lani tertawa kecil.
“Kok tumben dia baik sama kamu? “
“Aku juga heran. Udah gitu nggak ada acara marah-marah, ngomongnya juga pakai kata tolong. “
“Syukur deh kalian bisa damai. Tapi, kok sampai ngasih donat segala? “
“Katanya ini dikasih sama klien nya, kebetulan dia lagi puasa, trus dia kasih ke aku, aku bilang lagi puasa juga katanya buat berbuka aja. “
“Dia puasa senin-kamis juga? “
Lani mengangguk. “Malahan tadi aku dengar dia baca Al-Qur’an di mushalla, kelihatannya habis shalat dhuha juga. “
“MasyaAllah."
"Kenapa? Kamu kagum? Pengen kenalan? Atau mau di-ta'aruf-in sama dia?"
"Ih, apaan sih, Lan."
Adzan maghrib berkumandang. Lani dan Latifah segera berbuka puasa. Alhamdulillah, puasa hari ini kesampaian juga. Waktu berbuka puasa adalah waktu yang paling menggembirakan bagi orang yang berpuasa, bukan semata-mata karena akan bebas makan dan minum, tapi juga merasa bahagia karena puasanya sampai pada maghrib.
@@@
Lani menekuni kertas-kertas ditangannya. Sesekali tangan kanannya memperbaiki letak kaca mata minusnya. Contoh kasus yang Andre berikan tadi siang adalah tentang wanprestasi. Ceritanya sebuah perusahaan swasta mendirikan sebuah pabrik. Untuk keperluan tersebut perusahaan itu memerlukan seperangkat mesin. Perusahaan itu pun membeli mesin-mesin tersebut dari sebuah perusahaan lain. Cara pembelian, penjualan, pembayaran dan penyerahan serta pemasangan mesin dituangkan dalam sebuah
kontrak.
Selanjutnya perusahaan swasta tersebut membuat perjanjian pinjaman atau loan agreement dengan salah satu bank. Bank berdasarkan loan agreement telah memberikan pinjaman/kredit kepada perusahaan swasta tersebut untuk pembayaran 90% dari nilai kontrak pembelian mesin-mesin. Pembayaran hargamesin-mesin oleh perusahaan swasta tersebut selain kredit yang diperoleh dari bank, juga dibayar dengan cara 10% down payment (dibayar tunai). Berdasarkan loan agreement, perusahaan swasta tersebut berkewajiban membayar pinjaman/kredit dimaksud kepada bank dalam 10 kali cicilan yang sama besarnya dibayar setiap setengah tahun secara beruntun sebagaimana dinyatakan dalam repayment schedule disamping beberapa kewajiban lainnya menyangkut bunga dan denda. Ternyata perusahaan tersebut sama sekali belum melakukan kewajiban pembayaran sesuai dengan loan agreement kepada bank, meskipun hutangnya sejak lama jatuh tempo dan telah ditagih berulang kali. Perusahaan tersebut hanya melakukan pembayaran sebagian bunga yang terhutang kepada bank. Lalu pihak bank melayangkan gugatan atas wanprestasi nya perusahaan swasta tersebut.
Lani tersenyum. Ini kasus yang tidak terlalu sulit, pikirnya. Sepertinya Andre sengaja memberikannya kasus-kasus yang mudah agar selanjutnya Lani terbiasa. Lani menyalakan lap-top nya dan mulai menganalisa kasus di tangannya. Kali ini dia bertekad, tidak akan membuat Andre marah-marah lagi. Andre harus tahu, bahwa dia tidak sebodoh yang Andre kira, bahwa dia pasti bisa menjadi seorang advokat yang handal. Lani ingin membuat kedua orang tuanya bangga. Alunan musik Kenny G mengiringi Lani yang sedang bekerja. Di meja belajar seberang Latifah tak kalah seriusnya didepan lap-top.
Lani menggerak-gerakkan tangannya yang mulai pegal, diliriknya Latifah yang memasang tampang serius. Lani mengambil tutup pena, lalu melemparkannya kearah Latifah.
Latifah menjerit. “Aduh, Lani!! Orang lagi serius malah digangguin.“
Lani nyengir. “Jangan terlalu serius dong…ntar cepat tua, malah nggak laku. “
“Pekerjaan ini butuh keseriusan Lan, menyangkut hajat hidup orang
banyak. “
“Alah, lagak lo udah kayak anggota dewan aja. “
“Lho…masih mending kan aku kayak anggota dewan yang mikirin hajat hidup orang banyak, gimana kalau aku niru anggota dewan yang cuma mikirin hajat hidup diri sendiri. “
"Emang ada ya? “ Lani berlagak bodoh.
“Di negara ku sih nggak ada, tapi kayaknya kalau di negara mu ini ada deh Lan.“ Ucap Latifah sarkas.
Lani tergelak. Kalau pembicaraan ini diteruskan bisa nyerempet kemana-mana, karena Latifah pasti akan mengeluarkan semua isi kepalanya bahkan isi perutnya. Bisa-bisa mereka nggak akan tidur semalaman.
“Emang tugas kamu udah selesai? “ Tanya Latifah.
“Hampir. “
“Gugatannya udah? “
“Belum. “
“Kok nyantai? “
“Santai itu perlu dong… “
“Emang batas waktunya kapan? “
“Mas Andre nggak bilang, tuh. “
“Nggak bilang bukan berarti nggak dikasih batas waktu, Lan. “
“Aku kan ngikutin apa kata dia aja, Fah. Kalau dia bilang satu hari, dua hari, satu minggu ya…aku turutin. Kalau dia nggak bilang, ya…aku tunggu dia ngingatin aja. Kalau dia ngamuk, aku bilang aja; ‘Mas kan nggak ngasih batas waktu, tuh. ‘ he…he…” Lani terkekeh.
“Kebanyakan KALAU lo ah…dasar!!! “
Lani tertawa.
“Katanya kamu nurutin apa katanya kan, kalau misalnya dia nyuruh kamu terjun ke laut, mau? “
“Kalau itu sih, aku bakalan bilang, ‘ terjun aja sendiri ‘ atau aku bakalan bilang, ‘Andre ye? Ke laut aje deh…’. Habis perkara. “
“Tapi, katanya kamu nurut sama dia. “
“Nggak semuanya juga kali Fah. “
“Kalau dia ngajak kamu nikah? “
“Mulai ngaco nih…mulai…”
Latifah tertawa. “ Aku jadi penasaran pengen kenal Andre tuh yang nana. “
“Kalau udah kenal mau diapain? “
“Nggak mau diapa-apain, cuma pengen lihat aja. “
“Besok deh, aku suruh dia kirimin fotonya ke whatssapp kamu. Mau? “
“Ih…ngaco. Nggak mau ah. “
“Lho, kenapa? Mana tahu kalian berjodoh. Kalau iya, aku mau kok jadi comblang nya. “
“Lani jelek…aku nggak kenal tapi kok malah dipanas-panasin gini sih?“
“Panas ya? Dikipas dong, percuma ada kipas angin. “
Latifah melemparkan bantalnya pada Lani, Lani tertawa. Sukses dia membuat Latifah salah tingkah.
“Kenapa nggak buat kamu aja sih? “
“ Aku? “ Lani menunjuk hidungnya sendiri. “ Nggak ah. Aku dapat pelajaran berharga, sedapat mungkin
jangan menikah dengan orang yang profesinya sama dengan kita. “
“Emang kenapa? “
“Bakalan sering berantem. Aku udah lihat Papa sama Mama. Mereka berdua kan basic -nya sama-sama orang pendidikan, kebetulan aja Papa lima tahun terakhir dipindahkan ke kantor kecamatan, dulu kan Papa di Dinas Pendidikan malahsebelumnya guru SD. Nah, kalau udah ngomongin masalah sekolah, atau pendidikan sering banget bentrok. Soalnya sama-sama ngerti sih. “
Kening Latifah berkerut. “Bukannya bagus tuh sama-sama ngerti, jadi obrolan kita nyambung."
“Kita kan perlu suasana baru, Fah. Masa sih saban hari ngomongin hukum melulu. Perlu penyegaran dong…”
“Lah, aku kan anak hukum juga ngapain mau kamu jodohin segala sama si Andre itu. “
“Beda lah, kamu kan PNS, kerjaannya juga beda. Kalau aku? Sama banget kan. “
“Berarti bukan latar belakang pendidikannya dong tapi profesi nya. Jadi, maunya kamu apa?"
“Aku mau arsitek aja deh, atau nggak pengusaha gitu. “
“Pengusaha ayam bakar? “
“Kok ayam bakar terus sih yang kamu ejekin ke aku? “
“Habisnya kamu suka banget kan makan ayam."
Lani mencibir. “Nggak mesti kan nikah sama pengusahanya, bisa beli atau bikin sendiri. “
“Biar puas…tiap hari ada. “
Lani melemparkan kembali bantal yang tadi dilemparkan Latifah kepadanya.
“Eh, kriteria calon suami kamu seperti apa sih? “ tanya Lani iseng.
“Yang pastinya dia harus taat pada perintah Allah, nggak merokok dan bisa membuat aku semakin dekat dengan Allah. Kamu sendiri? “
“Cuma empat kok, nggak banyak-banyak; dia harus lebih sholeh dari aku, harus lebih pintar dari aku, lebih tinggi dari aku dan cuma satu yang nggak boleh lebih…dia nggak boleh lebih cakep dari aku. “ jawab Lani asal
Tawa Latifah berderai. “Allahu Akbar! “ didorongnya kepala Lani. Lani tertawa juga.
“Pada dasarnya, aku ingin dia lebih dari aku, karena aku sadar aku punya banyak kelemahan. Jadi,dia harus menutupi kelemahan itu.“
“Trus, kenapa dia nggak boleh lebih cakep dari kamu? Kamu kan jelek, jadi harus diimbangi sama yang cakep dong. “
“Aku nggak mau dia digandrungi banyak orang. Dia cuma buat aku. Ntar kalau dia cakep, gampang banget buat dapetin yang baru. “
Latifah terpingkal-pingkal, Lani memang suka asal.
“Jangan-jangan kamu malah dapat kebalikan dari semua yang kamu inginkan.”
Lani tertawa.
@@@
“Ini, Mas. “ Lani menyodorkan tugasnya kepada Andre yang sedang serius membaca berkas perkara ditangannya.
Andre mengangkat wajah sekilas lalu kembali menekuni bacaannya. “Sudah kamu buatkan surat gugatannya?“
“Sudah, Mas. Ini hasilnya. “ Lani sedikit kesal karena Andre seperti tidak menghiraukan dirinya.
“Taruh saja diatas meja.“
Lani menurutinya lalu segera meninggalkan ruangan Andre.
Lani kembali ke mejanya. Lani termangu, mau ngapain ya? Tangannya memain-mainkan pensil. Ingat percakapannya semalam dengan Latifah membuat Lani senyum-senyum sendiri. Latifah sama Andre kira-kira cocok nggak ya? Kalau beneran mereka nikah bakalan black and white dong kayak blackforest. Lani tertawa
kecil, soalnya Latifah kan hitam manis kayak bolu karamel (tega banget sih, nggak sampai kok. He..he..) sedangkan Andre putih kayak susu. Lani tertawa lagi. Tiba-tiba Lani tersentak, ponselnya berdering. Lani tersenyum melihat nama yang tertera di layar; Indah sahabatnya saat kuliah.
“Jangan bilang kamu lagi mengkhayal atau lagi bengong karena nggak ada kerjaan. “ kata Indah.
“Emang aku lagi bengong. Kok tahu sih? “
Terdengar suara tawa Indah. feeling dong…”
Lani tersenyum.
“Gimana magang kamu? Asyik nggak? “
“Asyik banget. “
“Orang-orang disana baik-baik, kan?“
“Ya…gitu deh. Tapi aku dapat pembimbing yang sok cool, rada nyebelin dan komentator sejati. “
“Bapak-bapak ya? “
“Disini emang advokatnya hampir semua kaum Adam, cuma satu yang perempuan.“
“Trus? “
“Baru ketemu aja dia udah bikin aku kesal. “ Lani pun bercerita tentang Andre, keluar lah semua uneg-uneg
yang ada di hatinya.
Terdengar suara seseorang mendehem. Lani tidak menghiraukan, paling-paling salah seorang pegawai yang lagi bermasalah dengan tenggorokan, pikir Lani. Dia tetap saja ngomongin Andre. Deheman itu semakin keras. Lani merasa sedikit terganggu, akhirnya ia menoleh ke asal suara itu. Lani terperanjat saat melihat siapa yang mendehem tadi, ternyata Andre. Orang yang sedang ia omongin dengan Indah.
“Eh, Ndah. Udah dulu ya. Orangnya ada nih. Sebentar lagi aku pasti bakal dimarahi. “
Andre melotot, sementara Lani cengar-cengir. Farah yang mejanya dekat dengan meja Lani terpingkal-pingkal melihat kejadian tersebut.
“Ada tugas lagi, Mas? “ tanya Lani
“Udah selesai ngegosipnya? “
Lani tersenyum, dia merutuki dirinya sendiri dalam hati. Stupid!
“Bukannya kalau meng-ghibah sama seperti kita memakan bangkai saudara sendiri? “ Tanya Andre kalem.
Lani istighfar dalam hati. “ Tapi, Mas. Saya nggak bermaksud begitu, saya cuma mau cerita aja. “ tukas Lani pelan.
“Ghibah memang nggak pernah kita sadari. Saya sih nggak masalah kamu ceritain ke orang-orang, toh
mereka nggak kenal saya. Jadi, reputasi saya sebagai seorang advokat nggak akan hancur. Yang hancur itu kamu, pahala kamu terkikis sedikit demi sedikit. “
Lani semakin merutuki diri sendiri. Digigitnya bibir bawahnya keras-keras. Baru kali ini Lani merasa begitu berdosanya terhadap seseorang. Ucapan Andre barusan memang benar. Lani merasakan dadanya sesak. Muslimah macam apa dia ini?
“Saya minta maaf, Mas. “
Andre menghela nafas. "Oh, ya. Tugas kamu sudah saya periksa. Bagus.“ komentarnya.
“Terima kasih, Mas.“
“ Jam sepuluh nanti kamu ikut saya ke kantor polisi, kita ketemu klien. Kasus pembunuhan. “ kata Andre.
Kantor polisi? Wajah Lani berubah cerah, dia memang sangat ingin melihat langsung seorang advokat berbicara dengan kliennya.
“Kamu bisa naik taksi. “
“Baik, Mas. Dan…terima kasih sudah mengingatkan saya. “
“Sesama muslim seharusnya memang saling mengingatkan. Apalagi kita Tayo dan Lani, kan?" kata Andre sambil tersenyum samar, tapi Lani bisa menangkap senyum itu. Wajah Lani memerah.
Andre meninggalkannya. Lani menghela nafas. Sungguh, dadanya sangat sesak. Dia merasa sangat berdosa sekaligus merasa bersalah pada Andre.
@@@
Lani menatap wanita yang duduk dihadapannya lekat. Usianya sekitar 60 tahun, memakai seragam tahanan polisi, rambutnya kusut, wajahnya bersimbah air mata. Wanita itu terisak-isak.
“Ibu Niar, kenalkan saya Andre, pengacara yang akan mendampingi Ibu dalam kasus yang ibu hadapi. Dan ini Lani, asisten saya. “ Andre memperkenalkan diri.
Lani senang, karena Andre memperkenalkannya sebagai asisten.
“Ibu tidak usah takut pada saya. Insya Allah saya akan membantu Ibu dalam kasus ini. Jadi, saya harap kita bisa bekerja sama. “ Andre tersenyum ramah.
Lani membuka laptop Andre, bersiap untuk mengetik hal-hal yang akan Andre bicarakan dengan Ibu Niar.
“Saya kesini ingin menanyakan beberapa hal pada Ibu. “ Andre menatap Ibu Niar lembut. “ Bisa ibu ceritakan dengan jelas kejadian saat itu? “
Ibu Niar mengusap air matanya. “ Saya bukan pembunuh. “ ujarnya pelan.
Alis Lani terangkat. Kalau bukan dia pembunuhnya kenapa ditangkap? Lani melirik Andre yang duduk disampingnya, lelaki itu tampak fokus pada Ibu Niar.
“Saat itu saya hendak berwudhu, mau shalat Subuh. Saya terkejut mendengar ada suara erangan di dapur, saya menyalakan lampu. “ Ibu Niar kembali terisak. “Saya terkejut melihat Nyonya terkapar bersimbah darah dengan pisau tertancap di ulu hatinya. Saya panik. Lalu Tuan datang, kami membawanya ke rumah sakit. Setelah itu polisi menangkap saya. “ tangis Ibu Niar semakin kencang.
“Polisi menemukan sidik jari di pisau itu. “
“ Ya tentu saja. Saat melihat Nyonya mengerang kesakitan saya mencabut pisau itu. Saya tidak menyangka tuduhan malah akan jatuh kepada saya.“
“Tapi, hanya ada sidik jari Ibu. “
“Tapi saya tidak membunuh Nyonya!! “ teriak Ibu Niar.
Lani mendekati wanita itu, berusaha menenangkannya. “ Ibu, yang sabar ya. “ ujarnya. Entah mengapa Lani merasa begitu iba pada wanita itu. Sebersit rasa percaya hinggap di hati kecil Lani, dia yakin wanita itu tidak mungkin membunuh. Lani mengusap-usap pundak Ibu Niar, tak disangka wanita itu malah memeluknya.
“Tolong saya Pak Pengacara, saya tidak mau dipenjara. Saya tidak membunuh. “
Andre berusaha tersenyum. “ Saya akan coba Ibu, kalau memang Ibu tidak bersalah dan Ibu jujur kepada saya, saya akan berusaha semampu saya. “
Lani merasakan matanya memanas. Ia teringat mamanya.
“Pada malam hari sebelum kejadian itu, apa yang ibu lakukan? “ Tanya Andre sambil memberi isyarat agar Lani kembali duduk dan mengetik apa yang akan dibicarakannya. Lani menurut.
“Seperti biasa, setelah Den Bagas selesai makan malam, saya mencuci piring dan membereskan dapur. Lalu saya menemani Den Bagas belajar. “
“Bagas itu anaknya Nyonya Amalia? “
Ibu Niar mengangguk. “ Den Bagas umurnya 6 tahun, masih kelas satu SD. “
“Tuan Wijaya dan Nyonya Amalia kemana? “
“Mereka memang biasa pulang larut malam. “ Ibu Niar menyusut air matanya dengan tisu yang diberikan Lani." Jam sepuluh Nyonya pulang, saya disuruh tidur. Katanya biar Nyonya saja yang nanti membukakan pintu untuk Tuan. Saya pun tidur. Itulah terakhir kali saya melihat Nyonya. “
“Jadi Ibu tidak melihat Tuan Wijaya pulang? “
Ibu Niar menggeleng.
“Apa Tuan Wijaya dan istrinya sering bertengkar? “
Ibu Niar menggeleng. “ Mereka sangat akur. “
Andre menghela nafas.
“Oh, ya berapa orang yang tinggal dirumah Tuan Wijaya? “
“ Cuma berempat; Tuan, Nyonya, Den Bagas dan saya. Tukang kebun dan sopir tidak tidur disana mereka pulang kerumahnya. “
Andre manggut-manggut. Lani menatap pengacara muda itu, dia sangat berwibawa kalau sedang berbicara dengan klien. Ups, kok malah merhatiin Andresih?
“Baiklah Bu Niar, untuk hari ini cukup. Beberapa hari lagi saya akan datang lagi. Ibu yang tabah ya, serahkan semuanya pada Allah. Jangan takut kalau memang merasa tidak bersalah. “
Ibu Niar mengangguk.
“Jangan tinggalin shalat ya Bu. “
“Saya tidak punya mukena disini. Tidak ada yang datang menjenguk saya dan membawakan mukena “ ujarnya lirih. “ Saya minta ke bapak-bapak polisi katanya tidak ada. “
Hati Lani terenyuh mendengar ucapan Ibu Niar, segera dikeluarkannya mukena yang selalu dibawa kemana-mana dari dalam tasnya.
“Ini buat Ibu.“ Disodorkannya mukena itu pada Ibu Niar.
Ibu Niar menerimanya dengan linangan air mata. “ Terima kasih, ya, Mbak. “
Lani merengkuh Ibu Niar kedalam pelukannya. Ibu Niar memeluknya erat sambil sesenggukan. Andre memperhatikan mereka dengan tatapan penuh haru. Ternyata Lani mudah tersentuh hatinya, pikir Andre.
@@@
Hujan turun sangat deras saat mereka keluar dari kantor polisi. Lani melirik Andre yang berdiri tidak terlalu jauh darinya. Andre menatap lurus ke depan, memandangi genangan air di halaman kantor. Tangan kanannya memegang tas dan tangan kirinya memegang jas, Andre seperti sedang memikirkan sesuatu. Lani gelisah, dari tadi ia sudah pesan taksi online, tapi belum ada yang menerima permintaannya sementara waktu sudah menjelang Zhuhur, belum lagi perutnya keroncongan minta diisi.
“Kamu sudah pesan taksi onlinenya? “ Tanya Andre
Lani menoleh."Sudah, Mas. Tapi belum ada yang menerima pesanan saya."
“Ini jam sibuk, jam makan siang, mungkin banyak yang pesan. “ gumam Andre.
Lani mengangguk.
"Taksi biasa juga tidak ada yang lewat." Kata Andre lagi. “Kamu ikut naik mobil saya saja. “ kata Andre dengan suara berat.
Lani tahu, Andre sangat berat hati memberinya tumpangan. Saat pergi tadi pagi saja mereka sendiri-sendiri. Lani sendiri pun tidak ingin berduaan saja di mobil dengan orang yang bukan muhrim-nya.
“Nggak usah, Mas. Mas duluan aja. “
“Saya ngerti, tapi ini darurat. “
Lani mengangkat wajah.
“Tolong pegangin, saya ambil mobil dulu. “ Andre menyerahkan tas dan jas nya pada Lani, Lani menerimanya kemudian Andre berlari-lari kecil menuju parkiran. Lani menyesal tidak menghiraukan saran Latifah untuk membawa payung. Beberapa menit kemudian Andre muncul dengan mobilnya.
Mereka sama-sama diam, larut dalam pikiran masing-masing. Andre konsentrasi menyetir sementara Lani asyik memandang keluar jendela, hujan bertambah deras.
“Mas Andre”
“Lani.”
Mereka tertawa kecil.
“Ya udah kamu duluan. “ kata Andre
“Mas Andre aja.“
“Kamu aja.“ ujar Andre tanpa menoleh.
Lani menarik nafas. “ Tentang Ibu Niar tadi, Mas yakin nggak kalau bukan dia pembunuhnya? “ Tanya Lani.
Andre menoleh sekilas. “ Kalau kamu? “ Andre balik bertanya.
“Ditanya kok malah balik nanya. “
“Boleh dong..” canda Andre.
“Kalau saya percaya. “
“Kenapa? Apa karena tadi Bu Niar nangis-nangis? “
“Nggak juga. “
“Jadi, karena apa? Kamu kan baru kenal. Kamu aja baru tahu kasus nya. “
“Ya…percaya aja. Naluri saya bilang begitu. “
“Sebagai advokat kamu jangan cepat percaya sama orang, semua harus berdasarkan bukti. Saya tahu kamu kasihan sama beliau. “
“Jadi, Mas Andre nggak percaya. “
Andre tertawa. “Saya kan nggak ngomong begitu. “
Lani manyun.
“Ketika saya menyatakan setuju untuk membela, berarti sekian persen sebelumnya saya sudah yakin yang akan saya bela tidak bersalah atau berada di pihak yang lemah. Saya sudah yakin kalau orang tersebut pantas saya bela.”
“Jadi, intinya Mas percaya kan sama Ibu Niar. “
Andre tersenyum. “ Kalau saya tidak percaya tentunya saya tidak akan bersedia untuk membelanya. “
“Tapi kan, semua orang berhak mendapatkan seorang penasihat hukum sekalipun dia bersalah.“
“Tentu saja. Tapi, seorang advokat berhak menentukan siapa yang ingin dia bela. Saya tidak akan mempertahankan seseorang agar dinyatakan tidak bersalah padahal sudah jelas-jelas dia bersalah. Saya bekerja semata-mata bukan karena uang, tapi karena dorongan nurani. “
Lani manggut-manggut.
“Kamu pasti lapar. “ kata Andre. “Di tas saya ada roti, kamu ambil aja. “
“Oh, nggak usah. Mas. Ntar aja di kantin kantor. “
“Nggak usah malu-malu. Dari wajah kamu kelihatan kok kalau kamu lapar. “ Andre tersenyum.
Lani tersipu.
“Udah…nggak usah sungkan. “
Lani menurut, ia mengambil tas Andre di jok belakang lalu mengeluarkan dua buah roti dari dalamnya.
“Kamu nggak nanya kenapa saya suka bawa roti? “
Lani tidak menyahut.
“Kebiasaan sejak kuliah. “ jawab Andre tanpa ditanya. “ Saya sering nggak sarapan dari rumah, sok sibuk sih…” Andre tertawa. “ Makanya selalu sedia roti dan air minum. Air minumnya ada di laci dashboard. “
“Saya ada kok, Mas. “ Lani mengunyah rotinya perlahan. “ Mas nggak makan?”
“Saya kan lagi nyetir, ntar aja. “
“Mas tahu dari siapa kasus ini? “
“Yang namanya advokat atau pengacara itu harus banyak tahu, kalau nggak, nggak bakalan laku. “ Andre tertawa lagi. “ Kebetulan Kasat Reskrim diPolres tadi sepupu saya, dia yang cerita bahwa ada kasus seperti ini dan nanya apakah saya bersedia menjadi penasihat hukumnya. Demi kemanusiaan, saya bersedia meski tidak dibayar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.“
“Oo.” Lani kembali sibuk dengan makanannya. Kali ini satu poin darinya untuk Andre.
“Mas dulunya kuliah dimana? “
“UI. Saya wisuda tahun 2013, begitu tamat langsung ambil pendidikan advokat. “
“Tahun 2013 saya baru masuk kuliah. “ kata Lani. “Oh, ya Mas tadi
mau nanya apa? “
“Yang mana? Dari tadi saya udah banyak nanya kan? “
Wajah Lani memerah. “ Tadi, waktu kita barengan mau ngomong. “
Andre berpikir sejenak. “Oh, itu… Saya malah jadi lupa. “
Lani geleng-geleng kepala.
“Kayaknya saya mau bilang itu, hmmm…kamu kelihatannya keras, tapi gampang tersentuh juga ya. “
Dahi Lani berkerut. “ Maksudnya? “
“Saya terharu melihat sikap kamu sama Bu Niar. “
Lani menghela nafas. “ Saya ingat Mama. Saya juga kasihan dan berpikir, kemana ya anak-anaknya kenapa membiarkan ibu mereka menjadi pembantu di kota. “
“Mungkin saja hidup mereka juga susah. “
“Tapi, tidak harus membiarkan ibu yang sudah tua bekerja keras begitu kan? “
“Setiap orang punya alasan tersendiri kan dalam menentukan kehidupannya. Seperti kamu. “
Lani tersenyum, itu kata-katanya di hari pertama bertemu Andre.
“Ngomong-ngomong nggak ngerasa sayang nih mukenanya dikasih sama Bu Niar? “
“Nggak lah. Bukannya kita harus bermanfaat bagi orang lain? Barusan Mas ngomong begitu. “
Andre tergelak. “Kamu suka membalikkan kata-kata ya. “
“Mas juga begitu. “ balas Lani.
Andre tertawa renyah. “Yah, satu sama lah. Ternyata kamu penganut teori pembalasan. “
“Masalah mukena, saya kan bisa beli lagi. Sedangkan Bu Niar kapan mau beli, hidupnya terkungkung gitu. “
Andre tersenyum.
@@@
catatan :
sabana lucu : beneran lucu
ndak ado lucu doh, garing tu nyoh : nggak lucu, itu garing.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!