Puluhan tahun berlalu dunia berubah, kota Karisidenan Malang kini sudah menjadi sebuah kabupaten, dalam wilayah provinsi Jawa timur. Pembangunan terus tumbuh, kenangan kelam masa lalu kini sudah hilang dari ingatan orang.
Indonesia menatap masa depan dengan optimis, namun tidak dengan para warga di desa Purwosari. Ucapan Laksmi kala itu masih melekat dalam ingatan. Kalimat kutukan penuh amarah dan dendam benar-benar menghantui pikiran mereka.
Sejak peristiwa berdarah di malam tahun 1942, rumah-rumah peninggalan para tuan tanah yang menjadi korban pembantaian, dibiarkan kosong, tanpa seorangpun berani melintas apalagi masuk ke dalam.
Penduduk desa yang dekat dengan perkebunan milik para tuan tanah lebih memilih pindah meninggalkan tanah mereka untuk kemudian membangun rumah ditempat lain yang lebih jauh dari perkebunan.
Desa disekitar perkebunan itu benar-benar kosong hingga menjadi tempat berkumpulnya arwah penasaran yang menjadi korban dari tragedi berdarah di malam tahun 1942.
Dari cerita masyarakat yang pernah mencari pakan ternak sampai ke daerah perkebunan, mereka sering mendengar suara derap langkah prajurit, atau penampakan Noni Belanda dari bangunan kosong yang ada disana.
Bahkan menurut kesaksian warga desa yang sehari-hari mencari kayu bakar, dirinya pernah disesatkan sampai ke perkebunan teh. Di sana ia mengaku melihat sosok wanita tanpa kepala, mengenakan kebaya merah berdiri menghadap perkebunan teh yang terbengkalai.
Cerita-cerita seram tentang perkebunan teh itu berkembang luas menjadi legenda urban yang menakutkan. Tidak ada orang yang berani datang kesana, sampai akhirnya seorang gadis cantik, mahasiswi sebuah perguruan tinggi di kota Malang mendapatkan sebuah mimpi aneh yang membuatnya penasaran.
Dia adalah Wanda mahasiswi semester satu yang baru berusia delapan belas tahun. Malam itu, Wanda bermimpi tentang perkebunan teh yang luas dengan para pekerjanya yang tampak aneh.
Wajah mereka datar tanpa ekspresi. Sementara disekitar perkebunan banyak bangunan besar yang kosong tidak berpenghuni. Hanya ada satu rumah yang tampak dihuni seorang wanita cantik.
Wanita itu menatap wajah Wanda dengan tatapan tajam, penuh amarah. Dia terbangun dengan rasa penasaran, tentang arti dari mimpinya.
Pagi hari Wanda pergi ke kampus dengan berjalan kaki, dia langsung menuju perpustakaan untuk mencari letak perkebunan teh di kota Malang, banyak buku sejarah tentang Malang yang ia turunkan, tapi tidak ada keterangan tentang kebun teh yang ia maksud.
Wanda memutuskan untuk bertanya kepada Rasti pegawai yang bertugas di perpustakaan. Dia berharap mendapatkan informasi tentang kebun teh yang dia maksud.
Rupanya dia bertanya kepada orang yang tepat, petugas perpustakaan yang bernama Rasti tahu tentang perkebunan teh milik Belanda yang sudah ada sejak tahun 1910 itu.
"Saya tahu tempatnya dik, tapi lumayan jauh dari sini, tepatnya ada di lereng gunung Arjuno. Kalau boleh saya sarankan, adik jangan pergi ke sana, perkebunan teh itu angker." kata Rasti setengah berbisik kepada Wanda.
"Angker?" maksud mbak Rasti bagaimana?" memangnya di kebun teh ada setan yang suka minum teh ya mbak?" ujar Wanda sambil bercanda.
Mbak Rasti jangan suka nakut-nakuti orang deh, saya nggak mempan di takut-takuti!" Ucap Wanda sambil cengengesan.
Wanda memang tipe wanita yang logis dan tidak percaya setan atau hantu sebelum ada bukti yang pasti tentang keberadaan mereka.
"Sssstt..!" hati-hati kalau bicara Wanda, ini bukan masalah sepele yang bisa kamu buat bercanda. Bahaya!" salah-salah kamu ketiban sial!" saran mbak kamu jangan ke sana!" Mbak takut ada apa-apa sama kamu."
"Hehehe" ya sudah mbak saya percaya, jangan marah, nanti cepat tua." Wanda pergi sambil menahan tawa. Menurutnya Rasti terlalu berlebihan menanggapi mitos.
Jam satu siang Wanda menunggu Ratmoko, dipinggir jalan. Dia berniat mengajaknya untuk mencari lokasi kebun teh, seperti yang telah diceritakan Rasti.
Lima belas menit menunggu akhirnya Ratmoko datang dengan sepeda motor keluaran terbaru masa itu. "Wan, kamu benar mau ke kebun teh?" ada rumor yang mengatakan kalau perkebunan milik Belanda itu angker lho!"
"Ah.. kamu sama saja sama mbak Rasti, penakut!" sudahlah kalau kamu tidak berani aku cari teman lain saja!" ucap Wanda merajuk. Dia sudah tidak bisa dicegah, dengan alasan apapun.
"Heh kamu jangan gila, jam segini mana ada angkutan!" dikota ini yang punya sepeda motor tidak banyak. Baru beberapa orang saja termasuk aku. Ya sudah ayo naik, kita pergi ke sana sekarang." ujar Ratmoko terpaksa menuruti keinginan Wanda.
Siang itu mereka berdua berangkat menuju perkebunan teh, sekitar setengah jam keduanya sampai di gapura desa. "Maaf Pak permisi jalan ke kebun teh lewat mana?" tanya Wanda sopan.
"Kamu mau apa ke sana?" lebih baik kalian pulang, tempat itu terkutuk!" Banyak arwah penasaran yang bergentayangan disana. Salah-salah kalian bisa mati!" ujar pria itu kasar.
"Tapi Pak saya perlu melihat tempat itu walau hanya sebentar saja. Tolong beri tahu kami jalan ke sana." Wanda memaksa agar pria tua itu bersedia menunjukkan jalan menuju kebun teh.
Dengan berat hati pria itu menunjukkan arah menuju perkebunan teh. Dia sudah tidak perduli dengan dua anak muda itu. Wanda dan Ratmoko berjalan kaki menuju batas desa.
Sepeda motornya terpaksa harus dititipkan di rumah warga desa karena tidak kuat menanjak naik. Jalan menuju perkebunan masih berupa tanah keras berbatu, sempit, dan menanjak dengan kemiringan empat puluh lima drajat.
Satu jam berjalan kaki akhirnya mereka sampai di ujung desa. Dari sana mereka jalan menanjak selama lima belas menit, dan kemudian melihat gubuk-gubuk reot milik warga yang sudah tidak berpenghuni.
Wanda dan Ratmoko langsung merinding saat melintasi beberapa rumah kosong. Mereka berdua merasa sedang diawasi oleh banyak mata.
"Rat, aku takut!" desa ini seram sekali."
"Sama Wan, aku juga takut, sebaiknya kita pulang, perasaan ku tidak enak."
"Jangan, kita sudah ada disini. Aku harus sampai di perkebunan Rat!" kalau tidak aku akan terus penasaran." ujar Wanda gemetar.
Mereka berjalan dengan hati-hati dan saling bergandengan tangan. Jam empat sore akhirnya Wanda berhasil sampai di area perkebunan yang sunyi, dan suram.
Wanda melihat banyak bangunan besar yang letaknya saling berjauhan. Berselang-seling dengan taman dan pohon-pohon besar yang menambah angker suasana.
Wanda dan Ratmoko memberanikan diri untuk memeriksa keadaan, dia melewati sebuah komplek sekolah berlantai tiga yang sangat luas, kemudian beberapa rumah yang jaraknya cukup jauh antara satu sama lain.
"Wan kita pulang sekarang, aku merasa disini sudah tidak aman, ada orang yang mengawasi kita disini". Ayo pergi sebelum terjadi sesuatu." Ratmoko Baru menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba saja Wanda berteriak histeris.
"Haaaahhh..!"
Wanda dan Ratmoko melihat banyak tentara Belanda dengan wajah yang rusak keluar dari sebuah bangunan mirip barak tentara. Mereka berlari sekencang-kencangnya, melewati beberapa rumah.
Bangunan besar yang tadinya tampak kosong kini dipenuhi hantu Belanda yang berdiri mematung memandang mereka dengan wajah marah.
Keadaan semakin tegang ketika mereka melewati bangunan sekolah. Ratmoko melihat biarawati tanpa kepala berjalan masuk ke bangunan sekolah. Sementara di depan menara lonceng terlihat seorang anak kecil berpakaian seragam memainkan tali lonceng.
"Teng..teng...teng..!"
Suara lonceng itu membuat Wanda dan Ratmoko semakin kacau. Mereka terus berlari menuruni area perkebunan untuk sampai di desa.
Di gubuk-gubuk kosong, kini terdengar ramai suara orang sedang beraktivitas. Wanda mendengar tawa menyeramkan. dari dalam rumah, cekikikan anak kecil, dan suara wanita Jawa yang menembang.
Beruntung mereka bertemu Pria yang tadi menunjukkan arah di gapura. Pria itu masuk jalan sempit diantara rumah yang rapat, lalu langsung membantu Wanda dan Ratmoko keluar dari kampung itu.
"Sudah aku katakan tempat itu terkutuk, kalian masih saja ngotot ingin pergi ke sana!" sekarang lihat akibat perbuatan kalian." Untung saja kalian masih selamat. Pria itu memarahi Wanda dan Ratmoko habis-habisan.
"Maafkan kami Pak, teman saya hanya ingin membuktikan mimpinya. Terima kasih Bapak sudah menolong, kalau tidak ada Bapak saya tidak tahu apa yang terjadi."
Setelah mengobrol beberapa waktu tentang riwayat kelam perkebunan itu. Mereka jadi sadar kesalahan yang diperbuat. Wanda dan Ratmoko minta maaf sekali lagi, kemudian pamit pulang kembali ke kota Malang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
MamiihLita
trs kelanjutannya apalagi ?
2021-09-02
2