Emely dengan tergesa-gesa berlari untuk mengindari Keil, tanpa ia sadari jika sebenarnya Keil mengejar wanita itu hingga pada saat hendak masuk ke dalam kamar hotel dan menutup pintunya, seseorang telah menahan pintu tersebut lebih dulu.
"Eme....." Suara bariton Keil menghentikan pergerakan tangan Emely. Suara yang sudah lama sekali tidak ia dengar.
"Ke-Keil....." Emely terkejut melihat Keil sudah berdiri di hadapannya. "Apa yang kau lakukan disini?" Sebisa mungkin Emely berusaha bersikap tenang namun tubuh dan jantungnya mendadak bergetar.
"Apa kau masih harus berpura-pura lagi? Bukankah kau tadi melarikan diri saat melihatku?!" Keil tersenyum mengejek. Sudah lebih dari 3 tahun berlalu, tapi rasa kesal Keil terhadap wanita itu masih membekas.
"Kau ini bicara apa," bantahnya. "Sebaiknya kau pergi dari sini!" Emely berusaha menutup pintunya, tetapi Keil menahan dengan salah satu tangan dan kakinya.
"Ada yang harus kau jelaskan kepadaku, Eme." Sorot mata Keil terlihat sendu, namun penuh ketegasan disana.
"Berhenti memanggilku seperti itu!" Entah kenapa Emely merasa tidak nyaman jika Keil memanggil dirinya seperti dulu. Hanya pria itu yang selalu memanggilnya dengan panggilan 'Eme'. "Tidak ada yang harus aku jelaskan kepadamu." Dan kemudian mendorong tubuh Keil untuk menjauhi pintu, tentu saja Keil menolak, tubuh pria itu lebih besar dari Emely sehingga dengan mudah Keil menerobos masuk ke dalam dan menutup pintu dengan kasar.
Emely reflek menjauhkan tubuhnya ketika Keil berjalan mendekat, langkahnya semakin mundur hingga kini kedua kakinya berbenturan dengan sofa. Dengan terpaksa langkah Emely terhenti karena saat ini ia tidak bisa meloloskan diri. Terlebih lagi Keil sudah menggenggam tangannya.
"Katakan padaku, kemana saja kau selama ini?!" Lagi-lagi Keil memasang tatapan sendu, tatapan yang selalu membuat Emely tidak berdaya.
Manik mata Keil yang berwarna biru keabu-abuan itu selalu bisa menembus jantungnya, hingga Emely memilih menghindari kontak mata dengan Keil. "Ak-aku tidak pergi kemana-mana." Emely masih mengelak. Tidak mungkin ia memberitahukan kemana dirinya pergi saat itu.
"Aku tidak bodoh, Eme." Keil terus mendesak dan semakin kuat mencengkram lengan tangan Emely. "Sekali lagi aku akan bertanya, kemana saja kau selama ini?! Kenapa kau menghilang begitu saja saat itu, KENAPA?!!" Tiba-tiba suara Keil meninggi, ia sangat kesal saat justru Emely tetap tidak ingin memberitahukan dirinya.
"Sudah ku katakan aku tidak pergi kemana-mana, aku juga tidak menghilang!" Emely berusaha melepaskan genggaman tangan Keil tetapi justru yang dilakukan Keil adalah memperpendek jarak di antara mereka dengan membawa wanita itu ke dalam dekapannya. "Keil lepaskan aku....." lirihnya dengan suara yang bergetar.
"Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau menjelaskannya kepadaku." Keil semakin mempererat dekapannya, ia tidak akan membiarkan Emely lolos dengan mudah, sudah cukup dirinya bersabar dan mencari wanita itu kemana-mana namun tidak kunjung menemukan hingga kini akhirnya ia dapat bertemu kembali dengan Emely.
"Apa yang perlu aku jelaskan, Keil? Hubungan kita sudah berakhir dua tahun lalu, jadi ku mohon lepaskan aku." Sekuat tenaga Emely berusaha membendung air mata yang hendak lolos, ia tidak ingin lemah di hadapan pria yang kini mendekapnya, meskipun sebenarnya ia ingin membalas pelukan Keil tetapi semua itu sudah tidak mungkin ia lakukan. Seketika Emely menjadi gelisah, bagaimana jika suaminya melihat dirinya bersama dengan pria lain di dalam kamar. "Keil...." Emely kembali mengguncang tubuh Keil saat justru Keil diam saja dan tetap tidak ingin melepaskan dirinya.
"Sudah aku katakan aku tidak akan melepaskanmu." Pelan namun tegas, suara Keil terdengar begitu lembut jika berhadapan dengan Emely baik di masa lalu dan juga saat ini.
Emely menyerah, wanita itu tidak lagi meronta. "Jangan seperti ini Keil. Aku... aku sudah menikah...." Perkataan dengan nada lirih itu mampu mengguncang telinga dan hati Keil bersamaan.
"Apa maksudmu?" Berusaha memastikan jika dirinya tidak salah mendengar. Keil menuntut penjelasan saat itu juga.
Emely mendongakkan wajahnya, memberanikan diri untuk menatap wajah Keil. "Aku sudah menikah sejak satu bulan yang lalu, karena itu aku berada di hotel ini karena suamiku sedang merayakan pesta bersama teman-temannya disini."
Dekapan tangan Keil yang melingkar di tubuh Emely perlahan mengendur. Apa yang baru saja disampaikan oleh Emely sejenak menghentikan detak jantungnya. "Apa kau sedang tidak membohongiku?" Sekali lagi Keil memastikan, ia berharap jika wanita di hadapannya ini hanya berusaha mencari alasan, namun melihat keseriusan di wajah Emely dan tidak ada jejak kebohongan disana, Keil perlahan melepaskan pelukannya.
"Saat itu kau tiba-tiba menghilang dan kini saat aku menemukanmu, kau sudah menikah dengan pria lain! Apa kau benar-benar menguji kesabaranku, Eme? Katakan padaku, heh? Apa kau benar-benar bangga karena telah berhasil mempermainkanku!!" Untuk pertama kalinya setelah mereka bersama, Keil membentak Emely.
Emely terdiam, kedua matanya terpejam sejenak. "Siapa yang mempermaikan siapa? Apa kau tidak bercermin pada dirimu sendiri Keil?" Emely berdecak, ia melipat kedua tangan di depan dada.
"Apa yang kau katakan heh?!" Keil tidak terima, langkahnya kembali mendekati Emely.
Meskipun takut ketika melihat sorot mata Keil yang berubah penuh amarah, Emely berusaha menahan tubuhnya agar tidak gemetar ketakutan. "Tidak ada yang perlu dikatakan lagi, jadi sebaiknya kau pergi saja."
"Jangan mengalihkan pembicaraan." Keil menarik kasar tangan Emely hingga wanita itu memekik kesakitan. Sadar akan sikapnya yang kasar, Keil melepaskan tangannya. "Ulangi apa yang baru saja kau katakan?!" Pernyataan Keil membuat Emely tidak berani menatap pria itu. Namun suara dering ponsel menggangu berdebatan mereka dan menyita perhatian Keil.
Emely menghempas tangan Keil, kemudian mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Sejak tadi ia memang tidak menyentuh ponselnya. Melihat jika suaminya yang mengubungi dirinya, Emely segera menjawab panggilan itu. Benar saja suaminya menanyakan keberadaan dirinya.
"Aku berada di kamar hotel." Emely mendengarkan perkataan suaminya di seberang sana.
Kedua mata Keil menggelap, tubuhnya memanas. Entah siapa yang menghubungi Emely, sudah pasti itu adalah suami dari wanita itu. Ck, Keil tersenyum masam, sebelum kemudian ia memutuskan keluar dari sana.
Brraakk
Pintu yang tertutup dengan kasar menghentak telinga Emely, ternyata Keil sudah keluar dari kamar hotel, sudah dipastikan jika Keil dalam keadaan marah dengannya. Kedua mata Emely mendadak melemah, ia menatap pintu tersebut dengan tatapan sendu sehingga ia tidak menghiraukan suara sang suami di seberang sana.
***
Nico berusaha membawa Jennifer ke tempat yang lebih aman. Keduanya masuk ke dalam lift menuju Ballroom dan meninggalkan hotel. Pada saat pintu lift terbuka, langkah mereka terhenti saat berpapasan dengan Daniel dan empat anak buah yang juga akan memasuki lift.
"Dimana posisi Tiger saat ini?" tanyanya pada Nico tanpa menyapa Jennifer yang sedang menatapnya. Karena wanita itu menerka-nerka seperti pernah melihat Daniel sebelumnya.
"Lantai dua, VIP room." Setelah menjawab pernyataan Daniel, Nico kembali menarik tangan Jennifer keluar dari Lift.
Daniel sudah paham jika Nico akan mengantarkan Nona Jennifer terlebih dulu, keduanya tidak saling berbicara lagi. Daniel dan keempat anak buah masuk ke dalam lift, sementara Nico menyusuri ballroom hotel yang di penuhi akan pengunjung.
"Bos Nico...." Dua bodyguard Jennifer sebelumnya menghampiri Nico.
"Kalian tetap disini. Bereskan Tiger dan teman-temannya. Daniel menuju kesana," bisiknya kepada dua anak buahnya yang memang di tugaskan menjaga Jennifer menggantikan dirinya.
"Baik." Keduanya sudah paham dan menjawab serentak.
Jennifer terlihat bingung apa yang di bisikkan oleh Nico kepada dua bodyguardnya tersebut. Mereka terlihat sangat menghormati Nico.
"Ayo Nona, kita pergi dari hotel ini," tutur Nico.
"Hem...." Jennifer hanya mengiyakan saja. Ia hanya bisa pasrah saat Nico tidak melepaskan genggaman tangannya hingga keduanya masuk ke dalam mobil.
Tidak ada percakapan selama di dalam perjalanan, hingga mobil yang mengangkut mereka tiba depan Mansion Utama Romanov. Nico membantu membukakan pintu mobil untuk Jennifer. Seperti biasa, tanpa memasang wajah ramah Jennifer keluar dari mobil.
"Apa Nona yakin tidak perlu di antar masuk ke dalam?" Nico kembali memastikan, karena sebelumnya Nona Jennifer memintanya untuk berhenti di depan gerbang utama saja.
"Aku bisa jalan sendiri, lagi pula aku bukan anak kecil yang harus selalu diantar," cetusnya.
Nico tersenyum. Sikap menyebalkan Jennifer sudah membuatnya terbiasa. "Aku hanya menjalankan tugas, Nona. Lagi pula kedua orang tua Nona masih berada di Los Angeles."
"Iya, aku tau. Tidak perlu mengingatkanku lagi." Jennifer mengantungkan tali tas pada pundaknya. "Kau pergilah!" perintahnya kemudian.
"Aku akan memastikan Nona masuk lebih dulu, setelah itu baru aku akan pergi."
Jennifer menggeleng heran. Menyebalkan sekali, batinnya.
"Iya baiklah." Jika berdebat dengan Nico maka tidak akan ada ujungnya. Jennifer tergesa-gesa berlalu dari sana, namun baru beberapa langkah, kakinya tersandung karena tidak berhati-hati, beruntung Nico segera mengamankan Jennifer sehingga wanita itu tidak terjatuh mengenai aspal.
Tubuh Jennifer lebih dulu ditangkap oleh Nico, tidak ada jarak diantara keduanya, wajah mereka berdekatan, dengan pandangan yang saling bertemu dan mengunci, bahkan Jennifer dapat merasakan hembusan napas Nico yang menyapu wajahnya.
"Apa Nona baik-baik saja?" Nico menyadarkan Jennifer dari lamunannya.
"Ak-aku baik-baik saja, terima kasih." Dan kemudian Jennifer berdiri dengan benar, masih dibantu oleh Nico. Kecanggungan melingkupi keduanya. "Kau pergilah!" Setelah mengatakan hal itu, Jennifer buru-buru masuk ke dalam begitu gerbang sudah dibuka oleh anak buah sang kakak. Beruntung dua anak buah tidak melihatnya berdekatan dengan Nico dengan jarak yang begitu dekat.
Setelah memastikan Jennifer masuk dengan aman dan pintu gerbang sudah di tutup rapat seperti semula, Nico melayangkan kepalan tangan di udara.
"Shitt!" Nyaris saja Nico terbawa suasana, dan ingin mencium bibir ranum Nona Jennifer yang menggoda. Nico melirik ke arah cctv terpasang, ia bergidik ngeri, untung saja akal sehatnya masih menguasai dirinya, sehingga ia bisa menahan diri. Jika tidak, habislah jika bos melihat rekaman cctv tersebut.
Nico masuk ke dalam mobil dan kemudian berlalu dari kediaman Mansion Utama Romanov. Namun di mobil yang lainnya, seseorang menatap penuh kelicikan, ia melihat hasil potret yang berhasil ia abadikan di kamera ponselnya, terpampang jelas Nico dan Jennifer yang nyaris berciuman.
.
.
To be continue
.
.
Gak bosen2 loh author Yoona ingetin kalian buat like dan vote nya hihi 🤭✌️
Yang kangen baba Xavier bisa baca ulang Elleana And The King Of Mafia, bahasa dan tulisannya masih aburadul wkwk
Yang kangen Bang Zayn bisa baca ulang Tawanan Bos Mafia, masih banyak kekurangan juga hihi
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Kuro
sudah baca kakk... bagus2 semua...😍😍❤️❤️❤️😘😘💞💞
2023-12-24
0
Stevani febri
yg tawanan bos mafia aku udh baca
tapi yg xaviernya aku blm baca, langsung lompat jadi ngk tau alur ceritanya Xavier 😢
heehee. ceritamu bgs koq Thor
bukan amburadul tapi kebalikannya sangat rapi dan mudah di fahami. sgtt best dan juga sgtt hot😁😂👍
aku padamu Thor cemungut up-nya 😘
2021-11-16
1
Berdo'a saja
siapa tuh
2021-10-19
2