Rangga mengusap wajahnya dengan kasar, ia ingin segera tiba di rumah sakit. Tapi jauh di depan sana sedang ada evakuasi truk pengangkut barang yang terbalik.
Drrtt...Drrtt...Drrtt....
"Ya. Halo Audrey. Ada apa?"
"Kak Rangga sudah dimana?"
"Masih dijalan menuju rumah sakit. Mungkin beberapa menit lagi baru bisa keluar dari kemacetan ini."
"Syukurlah, aku pikir kakak masih di kota Y."
"Apakah semua baik-baik saja?"
"Iya, cepatlah datang. Kak Riana rindu."
"Dia istri orang Drey."
"Yapp, orang brengs*k."
"Audrey! Berhentilah mengumpat"
"Iya deh iyaaa, kakakku yang tampan."
"Sejak kapan Riana siuman?"
"Kak Riana belum sadar."
"Lalu, bagaimana kau bisa bilang dia rindu?"
"Aku menebak saja. Hehehe."
Rangga mendengkus
"Kau ingin makan apa? Kakak akan membawanya."
"Terserah kakak saja. Asalkan jangan racun."
"Tidak mungkin, itu kematian yang terlalu mudah untuk adik menyebalkan seperti dirimu."
"Tidak lucu."
Rangga tersenyum, ia mendengar Audrey mendengkus.
"Masih macet?"
"Tidak, ini sudah mulai bergerak walaupun perlahan."
"Syukurlah, aku tidak mau makan terlalu malam."
"Kenapa?"
"Nanti aku makin gemuk."
"Baguslah, biar kau semakin tidak laku."
"Kejam!" nada bicara Audrey terdengar putus asa.
Rangga tertawa renyah kemudian memutuskan sambungan.
Pikirannya melayang mengingat kembali hubungannya bersama Riana yang kandas. Rangga patah hati namun tak berdaya. Terlebih lagi setiap hari ia masih harus berhadapan dengan Riana yang tetap bekerja di perusahaan mereka.
Apapun alasan awal pernikahan Riswan dan Riana, pernikahan tetaplah sebuah pernikahan. Hubungan sakral yang tak dapat diganggu gugat. Baik Rangga dan Riana sadar betul akan hal itu.
Oleh sebab itu perlahan mereka belajar untuk memadamkan rasa cinta yang ada di hati mereka masing-masing.
Tak mudah, namun bukan berarti tak bisa.
Beberapa rekan Rangga menyarankan agar Rangga mencari gadis lain, tapi jawaban Rangga selalu sama.
"Aku tak ingin menyembuhkan luka di hatiku dengan cara membuat luka baru di hati gadis lain. Aku bukan pengecut, aku akan menghadapinya."
Di samping itu ia memikirkan adik kesayangannya. Bagaimana jika di masa depan Audrey dijadikan tempat pelarian saja. Ia tak mau hal itu terjadi, ia tak ingin adiknya merasa tak dihargai oleh pasangannya.
Jadi sekarang, disinilah ia, duduk di samping Riana yang masih memejamkan mata dengan sejumlah luka di wajahnya. Ia memegang tangan wanita yang pernah ada di hatinya itu.
"Nyonya Riana, bangunlah. Tak sopan membiarkan pimpinanmu menunggu terlalu lama. Pekerjaanmu menumpuk, kau ingin Juan mati berdiri? Bangunlah dan cepat bantu dia dan tim kerja yang lain."
Tak ada respon sama sekali, Rangga melepas tangan Riana dan menunduk. Ia merasa iba melihat wanita yang cerdas dan loyal itu terbaring tak berdaya seperti ini.
Audrey melihat interaksi itu sambil terus melahap makanannya.
Rangga memilih menjauh dari brankar Riana dan bergabung dengan adiknya.
"Anak gadis, umur sudah mau 22 tahun tapi makannya masih berantakan begini." Rangga mengusap sudut bibir adiknya dengan tisu. "Dasar singa gunung."
Audrey hanya mencebik dan memilih melanjutkan makannya, ia sedang tak berselera untuk berdebat dengan kakaknya itu.
"Terima kasih kak, makanannya enak." kata Audrey setelah menghabiskan makanannya. Ia membereskan meja dengan cekatan.
Tok..Tok..Tok..
Rangga melangkah membukakan pintu, ia sedikit terkejut dengan sosok yang nampak di hadapannya.
"Selamat malam."
"Selamat malam pak."
"Apakah ini ruang perawatan nyonya Riana?" tanya orang asing itu.
"Ya benar, ada yang bisa saya bantu pak polisi?"
Polisi itu masuk, ternyata ia tak sendiri. Ada dua orang rekannya mengikuti dan berjalan sampai ke tengah ruangan. Tak lama kemudian muncul seorang polisi menggandeng seorang pria yang penampilannya terlihat berantakan.
Rangga menegang, ia mengepalkan kedua tangannya. Polisi yang berbicara dengan Rangga dipintu tadi menyadari hal itu, ia lantas mendekati Rangga dan memegang pundaknya. Audrey yang sempat terkejut cepat menguasai dirinya dan mendekati sang kakak.
"Apakah kau puas Riswan?" suara Rangga terdengar menyeramkan.
Riswan hanya menunduk, tak berani mengangkat wajahnya.
"Maaf." lirihnya.
Rangga memalingkan wajah dan menatap ke arah Riana berbaring.
"Katakanlah padanya, bukan padaku."
Mendengar itu Riswan langsung mendongak, ia menatap Riana dan melangkah ke samping tempat tidur wanita itu.
Rasa bersalahnya semakin menjadi-jadi saat melihat wajah Riana yang bengkak dan terluka di beberapa tempat. Belum lagi selang-selang yang terhubung di tubuh istrinya.
Entah benda apa itu, yang jelas semua peralatan itu membantu Riana untuk tetap bertahan hidup.
"Ri, ini aku, Riswan." ucap Riswan pada akhirnya.
"Maaf aku memperlakukanmu seperti ini Ri. Aku khilaf. Aku sudah mempertanggung jawabkan perbuatanku. Aku menyerahkan diri ke polisi. Tolong maafkan aku Riana, ampuni aku."
Flashback On
"Toni, antarkan aku ke temanmu yang polisi itu."
"Untuk apa?"
"Aku harus mempertanggung jawabkan perbuatanku."
"Kalau begitu aku akan mengantarmu ke kantor polisi saja."
"Jangan, nanti aku tidak bisa menjenguk Riana untuk terakhir kalinya. Aku ingin minta maaf dulu sebelum ditahan."
"Baiklah, setelah makan siang aku akan mengantarmu. Tapi aku heran, sejak semalam kita sudah tiga kali berpindah tempat. Ada apa?"
Riswan tersenyum mengejek. "Kau benar-benar tak mengenal siapa gadis yang kau goda ya."
Flashback off
Riswan melangkah mendekati Rangga dan Audrey.
"Aku benar-benar menyesal, maafkan aku." matanya berkaca-kaca.
"Air mata buaya." desis Audrey geram.
"Aku sungguh-sungguh." Riswan menatap ke arah Riana sekali lagi, ia ingin menemani hingga Riana pulih. Tapi ia sadar, itu hal yang mustahil.
"Kami akan segera memproses kasus ini." kata Polisi tadi pada Rangga, sedangkan yang lain telah membawa Riswan keluar ruangan.
"Saya akan mengutus pengacara. Akan di proses di kantor mana?"
"Kantor di pusat kota."
"Baiklah, terima kasih pak." Rangga menjabat tangan polisi itu.
"Sama-sama, kami permisi. Selamat malam." polisi itu berlalu setelah melepas tangan Rangga.
Audrey dan Rangga masih berdiri di tempat yang sama setelah kepergian rombongan tadi. Mereka diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Akhirnya Rangga merengkuh pundak adiknya dan memeluk Audrey dengan erat.
"Kalian ini!"
Rangga dan Audrey serempak menoleh ke arah pintu, terlihat Yura sedang mengatur nafas sambil berpegangan di gagang pintu.
"Kamu kenapa?" Rangga menghampiri Yura dan menuntun gadis itu untuk duduk di sofa.
"Yura berulang kali telpon kakak dan Audrey, tapi tidak diangkat. Chat juga tidak dibaca."
"Maaf Ra, ponselnya aku silent. Habis makan tadi ada tamu." Audrey menyodorkan air mineral pada sahabatnya.
"Kak Riswan di rumah sakit ini." kata Yura setelah meneguk minumannya.
Kakak adik itu mengangguk.
"Tadi sudah datang dengan beberapa polisi."
"Terus?"
"Apanya yang terus?" Rangga mengernyit.
"Kalian apakan dia?"
"Mau diapain Ra? Banyak polisi yang temani." Audrey mengerucutkan bibir, tak suka karena tak dapat menghajar Riswan.
"Yahhh, nggak seru ah."
"Kamu itu ya." Rangga menyentil dahi Yura.
"Aduh kak, sakit." Yura meringis memegangi dahinya.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments