Audrey berbaring di kamarnya, ia menatap langit-langit kamar sambil memikirkan ucapan kakek tadi.
Flashback on
"Kau dan Rangga adalah nacre kami." mata kakek berkaca-kaca. "Entah bagaimana kalian membuat luka kami sembuh. Semakin menyayangi kalian semakin membuat kami mempunyai harapan. Tiara kami tidak pergi selamanya, dia ada dalam diri kalian."
Audrey bergetar, "Apakah kakek melupakan perbuatan Rebecca begitu saja?" tangannya mengepal.
"Siapa bilang kami melupakan?" Kakek balik bertanya. "Saat pasir masuk dan mulai proses pembentukan mutiara, apakah hasil proses itu keluar dari cangkang?" Audrey menggeleng.
"Begitu pun dengan kami. Luka itu sembuh, tapi tetap ada di hati kami. Mungkin kau berpikir mudah bagi kami untuk tak mempedulikan Rebecca." lidah kakek kelu untuk melanjutkan.
"Percayalah, itu tak mudah. Tapi membenci tak akan bisa mengembalikan putri kami satu-satunya." Air mata kakek mulai menggenang di pelupuk mata.
"Kami berharap dengan cinta dan kasih sayang yang kami curahkan, perlahan dapat memudarkan benci dan menyembuhkan luka."
"Lihatlah Rangga, berapa banyak orang yang ia tolong dengan gratis melalui usaha pengawal pribadinya? Ia memanfaatkan bekas luka itu untuk menjaga orang lain agar tak mengalami kejadian yang sama dengan dirinya."
"Kau merasa paling terluka karena melihat secara langsung. Lalu bagaimana dengan nenekmu yang melahirkan mamamu, kemudian ia juga yang mengantarnya masuk ke liang lahat?"
"Dengan kedua tanganku aku menggendongnya saat ia baru lahir, membaringkannya dengan lembut di samping nenekmu, dan dengan tanganku aku menggendongnya dan membaringkannya di dalam peti mati." suara kakek mulai tercekat.
"Tidak ada orang tua yang mau menguburkan anak mereka Audrey, tidak ada." air mata kakek tumpah, pundak Audrey semakin bergetar hebat, ia menangis sambil menunduk, menutupi kedua wajahnya dengan telapak tangannya.
Hening, mereka berdua larut dalam kesedihan masing-masing. Nenek, Sebastian dan Rangga yang melihat dan mendengar juga tak mampu menahan air mata mereka. Bertiga mereka saling merangkul, menguatkan satu sama lain.
"Tiara telah melahirkan bidadari ke dunia ini, bukan monster." kata Kakek setelah tangisnya dan Audrey mulai reda.
"Rebecca melenyapkan mamamu, dan kau akan membalasnya. Lalu, apa bedanya kau dan Rebecca? Kalian berdua sama-sama hidup dalam dendam, kalian berdua sama-sama....monster." kata terakhir diucapkan dengan lirih, seolah itu adalah kata terlarang yang menakutkan untuk diucapkan.
"Aku hanya ingin mencari keadilan untuk mama, apakah aku salah?" Audrey membela diri.
"Salah jika cara kau mengadilinya sama dengan cara ia melenyapkan Tiara."
Kakek menatap Audrey dengan lembut lalu menarik tangan yang bergetar itu dan menggenggamnya dengan lembut.
Audrey balas menatap kakek dengan air mata yang masih mengalir.
"Lalu harus bagaimana aku melakukannya? Tidak adil jika hukumannya ringan."
"Tidak adil bagi siapa? Bagimu? Lalu bagaimana menurut Rebecca? Apakah menurutnya itu adil?" Kakek balik bertanya, Audrey berhenti menangis, ia bingung bagaimana harus bersikap.
"Audrey, Pencipta semesta memiliki cara sendiri dalam membalas setiap perbuatan buruk yang kita lakukan. Dan jika Sang Pencipta yang melakukannya, maka akan adil bagi kita semua."
"Sampai kapan aku harus menunggu pembalasan itu?" Audrey mulai emosi.
"Waktu kita bukan waktu Sang Pencipta, Ia tahu kapan waktu terbaik. Lagipula selama enam belas tahun kita tak pernah tahu kabar apapun dari Rebecca. Apa yang ia alami selama ini, kita tidak pernah mengetahuinya."
Kakek menghela nafas. "Jika kau membalas dengan caramu, maka kau akan menimbulkan dendam baru pada hati orang lain yang menjadi bagian hidup Rebecca. Dan di masa depan orang itu akan mencarimu dan membalasnya. Kejahatan tanpa batas, melelahkan." Kakek mendengkus.
Flashback off
Jadi, selama ini Papa dan Kak Rangga ingin aku berhenti karena mencegah pembalasan di masa depan. Mereka ingin aku hidup nyaman tanpa bayang-bayang rasa takut.
Ya ampun, aku selalu memojokkan mereka karena tak melihat secara langsung bagaimana mama dilenyapkan. Aku tak sadar mereka sedang mempersiapkan masa depan yang tenang.
Aku jadi merasa bersalah pada mereka, secara tak langsung aku menganggap hanya diriku yang kehilangan, dan mereka tidak. Aku sama dengan Rebecca, astaga!!! Aku sungguh mengerikan. Audrey bermonolog.
Ia lantas memukul dahinya sendiri, menyadari kesalahan yang dilakukannya.
Audrey duduk di pinggir tempat tidur, menarik dan menghembuskan nafas secara perlahan, ia berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Kemudian matanya menatap potongan karang mati di atas nakas. Audrey bangkit dan mengambil benda itu. Ia mengamati benda yang dipegangnya dan tersenyum tipis. Ada perasaan asing menyusup ke hatinya.
Siapa laki-laki itu? Dua kali bertemu dan tingkahnya sungguh konyol, dan dia...tampan.
Pemikiran terakhir membuat Audrey refleks memukul kepalanya.
Apa yang aku pikirkan, rutuknya dalam hati.
Tok..tok..tok..
"Audrey, bolehkah kakak masuk?" Rangga yang mengetuk pintu.
" Ya kak, masuklah."
"Kau baik-baik saja?" tanya Rangga sambil duduk di sofa dalam kamar itu. Audrey hanya mengangguk.
"Aku baru tahu kalau kak Rangga memberikan pengawalan secara gratis."
"Tidak ke semua orang. Kalau pengawalan pebisnis kelas kakap dan selebriti, aku akan memberi tarif. Yang gratis hanya untuk kalangan menengah ke bawah."
"Memangnya apa masalah mereka hingga memerlukan perlindungan?"
"Banyak, yang paling sering adalah intimidasi jika mereka tidak mau menjual tanah." Rangga menarik nafas. "Drey, maaf kita harus kembali ke kota lebih awal. Ada yang harus dikerjakan."
"Aku akan mengemasi barang-barangku, jadi kapan saja mau pulang aku sudah siap."
"Kau yakin baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi. Rangga tampak khawatir.
"Aku masih bingung, aku butuh waktu untuk mencerna perkataan kakek. Tapi aku baik-baik saja." kata Audrey penuh keyakinan.
"Kita semua butuh waktu, tapi tolong jangan menyimpan bebanmu sendiri. Bagilah dengan kami." Rangga melangkah keluar kamar.
Drrtt...Drrtt...Drrttt
Audrey mengambil ponsel, tampaknya panggilan video dari Isabela.
"Hai sweety." wajah Isabela, Nabila dan Yura terlihat sumringah.
"Hai, aku merindukan kalian."
"Kami juga drey. Kapan pulang?"
"Secepatnya, dalam beberapa hari ini. Mmmm, Ra, hentikan pencarian informasi tentang Rebecca." pinta Audrey.
Ketiga sahabat itu tampak saling melihat dengan heran.
"Kau serius?"
"Iya Isa, aku serius." jawab Audrey sambil menatap Isabela.
"Baiklah, dengan senang hati kami menghentikannya." Nabila berbinar-binar.
"Kita harus merayakan hal ini." usul Isabela.
"Sippp, aku traktir." Audrey kemudian melambai dan memutuskan sambungan.
"Aku penasaran apa yang akan terjadi setelah ini. Dan kau tuan batu karang, siapa namamu?" Audrey berbicara pada karang mati yang sedari tadi dipegangnya.
"Kau lebih tertarik pada benda itu Audrey?" Nenek berdiri di ambang pintu.
"Eh, nenek. hehe" Audrey hanya meringis.
Nenek melangkah mendekati Audrey. "Pelan-pelan saja. Kau perlu waktu untuk memahami perkataan kakekmu. Jika ada yang membuatmu bingung. tanyakan langsung, hmm."
"Aku mengerti nek." Audrey memeluk sang nenek. "Hhhhh...ini adalah liburan terbaik." nenek mengecup pipi cucunya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Hulatus Sundusiyah
lanjuut Thor...😃
2024-08-25
0
renjana biru
nyicil like maak😃
2021-12-06
0